Oleh: Jessie Blanco-Marea Sosialista
Sumber: venezuelanalysis.com, 3 Agustus 2009
Saat ini di Majelis Nasional sedang dibahas rancangan undang-undang untuk keadilan dan kesetaraan jender, diadopsi dari dari diskusi putaran pertama dan pada poin yang disetujui pada diskusi yang kedua, meskipun kita tidak tahu apakah usulan dari Romelia Matute, MP dan promotor Artikel 8 dari rancangan undang-undang kontrovesial yang menetapkan bahwa “setiap orang memiliki hak untuk melaksanakan orientasi dan identitas seksual dengan bebas dan tanpa diskriminasi, dan sebagai konsekuensinya, negara akan mengakui kehidupan bersama sebagai pasangan antara dua orang yang memiliki jenis kelamin yang sama melalui kesepakatan bersama”. Dalam Artikel itu juga menyatakan bahwa orang yang merubah jenis kelaminnya melalui pembedahan atau prosedur lainnya, memiliki hak untuk diakui identitasnya dan untuk memperoleh atau memodifikasi dokumen-dokumen menyangkut identitas seksual mereka”, ini akan membantu negara untuk menciptakan kondisi bagi integrasi sosial mereka “dalam kondisi setara”.
RUU ini bertujuan untuk memastikan dan mempromosikan hak-hak perempuan dan laki-laki didasarkan pada kesetaraan, keadilan, tanggung jawab dan non-diskriminasi yang ditetapkan dalam undang-undang, perjanjian internasional dan konvensi yang ditandatangani oleh negara. Termasuk didalamnya hak-hak seksual dan reprodusi dan kebebasan untuk memilih apakah mau memiliki anak atau tidak (bersadarkan pada Artike 76 dalam Undang-undang Dasar). Namun, perlu diketahui bahwa draft pertama, yang telah diubah secara substansial dalam pembahasan pertama, termasuk definisi yang lebih luas dan hak-hak reproduksi seksual termasuk "hak untuk tidak mati yang disebabkan kesehatan seksual dan reproduksi oleh karena bisa diprediksi dan dicegah”.
Perlu diingat bahwa salah satu penyebab kematian dikalangan perempuan berkaitan dengan kesehatan reproduksi, bukan hanya ibu, adalah aborsi yang tidak aman dan sembunyi-sembunyi karena status mereka yang tidak sah. Sementara itu perempuan-perempuan kaya bisa membayar klinik swasta untuk melakukan aborsi ilegal mereka atau melakukannya diluar negeri dimana mereka tidak akan mengalami kriminalisasi, sementara perempuan miskin akan meninggal karena melakukan aborsi yang tidak aman dan akan mengalami kriminalisasi.
Dengan cara ini, diskusi mengenai dekriminalisasi aborsi dan isu terkait tentang serikat homoseksual –dengan semua beban berat yang menyertainya—muncul kembali dalam perdebatan publik. Kedua agenda ini, perjuangan feminis dan keragaman seksual bagaikan batu di dalam sepatu yang menyalahi moral hirarki Katolik.
Tetapi perdebatan semacam ini bukanlah hal yang baru dalam negara kami, dan ini penting untuk melihat kembali sejarah: pada tahun 2004 Gerakan Perempuan Luas diperkenalkan untuk bergabung dalam komite Dewan Nasional sebuah proposal untuk dimasukkan dalam reformasi hukum pidana bahwa gangguan kehamilan bisa dikenai sangsi apabila dilakukan tanpa persetujuan perempuan dan dilakukan dalam kondisi yang tidak aman. Kemudian pada reformasi hukum pada tahun 2007 , untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri kami, kaum feminis bersatu dengan gerakan untuk keragaman seksual, melalui pembentukan “kelompok S” untuk menuntut pelaksanaan dari Artikel 88 dari Konstitusi termasuk dana pensiun bagi ibu rumah tangga; keadaan yang sama dalam pemilu pejabat yang pilih secara luas di tingkat nasional, negara bagian, regional dan tingkat lokal; dekriminalisasi aborsi dalam semua kasus kecuali dilakukan tanpa persetujuan perempuan atau tanpa keselamatan medis; hak untuk mendapatkan pengakuan atas identitas seksual secara hukum dan merubah dokumen menyangkut perubahan identitas jenis kelamin dari transgender atau inter-seks; mengakhiri diskriminasi dengan alasan ekspresi identitas dan gender dan pengakuan dari negara untuk serikat homoseksual; juga termasuk hak untuk menjadi ibu bersama dan menjadi ayah bersama untuk anak-anak yang diadopsi atau anak kandung bagi setiap pasangan sesama jenis kelamin. Porposal ini gagal bukan hanya karena hasil negatif dari referendum tetapi juga karena penolakan dan kurangnya pemahaman dari deputi dalam Dewan Nasional.
Dengan munculnya RUU ini yang berusaha untuk membatalkan undang-undang tentang kesempatan yang sama bagi perempuan, melalui dekrit yang mendefinisikan peran INAMUJER (Institut Nasional Perempuan) dengan tujuan untuk menstabilkan fungsi dari kementrian yang baru dibentuk yaitu Menteri Kekeuatan Rakyat untuk Perempuan dan Kesetaraan Gender, dan membuka peluang untuk memasukkan tuntutan tua feminis dan gerakan keragaman seksual, termasuk didalamnya dekriminalisasi aborsi dan serikat sesama jenis kelamin, sebagai penaklukan progresive dari hak-hak tersebut. Ini saatnya untuk mempraktekkan seperti yang dikatakan oleh Presiden,” mulai tanggal 15 Desember tidak ada satupun undang-undang anti-revolusi yang tersisa”. Tetapi di atas segalanya adalah untuk menghapus prasangka dan moralitas yang masih tersebar luas dikalangan deputi. Tidaklah cukup bagi negara untuk menjadi sekular jika wakil-wakilnya masih mengandung moral homopobia, transpobia bahkan misogini yang menghambat pencapaian hak-hak ini bahkan ketika dalam sudut pandang kesetaraan formal.
21 April 2010
Venezuela: Diskusi Mengenai Undang-undang Organik untuk Keadilan dan Kesetaraan Jender
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar