PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

24 Desember 2008

JNPM Ternate Memperingati Hari Ibu 22 Desember 2008

Oleh Ama dan Ina

Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM) Ternate, dalam memperingati Hari Ibu 2008 mengonsolidasikan berbagai organisasi perempuan di Maluku Utara. Dalam konsolidasi menjelang Hari Ibu tersebut, dibicarakan berbagai persoalan perempuan yang akan dituntut pada tanggal 22 Desember 2008.

Di dalam setting aksi, turut terlibat berbagai organisasi demokratik seperti PMII Ternate, Lingkar Studi Mahasiswi, LMND-PRM, dan BEM-Sastra Universitas Khairun. Forum bersepakat membentuk komite aksi bersama, dengan nama FRONT PEREMPUAN dan MAHASISWA BERSATU. Forum juga menyepakati bahwa tuntutan utama yang akan diperjuangkan adalah penolakan terhadap UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Karena kepentingan kaum perempuan, kaum ibu, dan seluruh pelajar-mahasiswa, dipersatukan melalui perjuangan menolak pendidikan komersil dan mahal.

"Rakyat Bersatu Tolak BHP" adalah tuntutan yang dikampanyekan pada aksi bersama tanggal 22 Desember lalu. Disamping itu, mereka juga menuntut kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat miskin, menolak swastanisasi pendidikan, serta mengusut tuntas berbagai kasus perdagangan anak dan perempuan.

Dalam aksinya mereka juga menekankan jalan keluar rakyat Indonesia, yakni antara lain:

1. Nasionalisasi aset vital di bawah kontrol rakyat untuk pendidikan gratis dan berkualitas.
2. Nasionalisasi perusahaan tambang asing di bawah kontrol rakyat
3. Penghapusan hutang luar negeri.

Massa aksi juga menyerukan untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat; sekaligus menegaskan bahwa tak ada kesetaraaan dan kesejahteraan perempuan tanpa mengganti kekuasaan elit politik agen modal asing.

Aksi berhasil memaksa DPRD untuk melakukan audiensi dengan massa. Hasil dari audiensi antara lain menyepakati untuk melakukan Judicial Review; menggugat UU BHP ke Mahkamah Agung. DPRD berjanji akan membuat perangkat peraturan daerah yang akan mengantisipasi penerapan UU BHP di Propinsi Maluku Utara. Dalam audiensi tersebut anggota dewan juga menjanjikan bahwa dalam rapat-rapatnya nanti akan mengundang organ-organ yang tidak setuju dengan UU BHP termasuk institusi-institusi yang terkait dengan pendidikan.

Mengantisipasi potensi kebohongan para anggota dewan, Front Perempuan dan Mahasiswa Bersatu akan segera mengonsolidasikan berbagai organisasi demokratik untuk menyatukan persepsi dalam menyikapi jalan keluar dan metode perjuangan penolakan UU BHP tersebut.*

17 Desember 2008

TAK ADA KESETARAAN DAN KESEJAHTERAAN PEREMPUAN TANPA MENGGANTI KEKUASAAN ELIT POLITIK AGEN MODAL ASING!

Catatan Perempuan dalam Peringatan Hari Ibu 22 Desember 2008

TAK ADA KESETARAAN DAN KESEJAHTERAAN PEREMPUAN TANPA MENGGANTI KEKUASAAN ELIT POLITIK AGEN MODAL ASING!

SAATNYA MEMBANGUN KEKUATAN PEREMPUAN DAN RAKYAT MANDIRI!


Empat puluh tujuh tahun sudah Hari Ibu ditetapkan [1], atau tujuh puluh delapan tahun sesudah Kongres Wanita Indonesia pertama dilangsungkan [2]. Tiga puluh sembilan tahunnya berbuah kesengsaraan [3], dan delapan tahunnya berbuah krisis ekonomi dan politik yang tak berkesudahan. Memang, gerakan demokratik 1998 telah membuka jalan bagi peningkatan kesadaran dan meluasnya organisasi perempuan, hingga tak lagi sekedar kumpulan ibu-ibu PKK atau Dharma Wanita pendamping suami. Tuntutan kesetaraan meluas, walau belum berbuah gerakan yang berkarakter kerakyatan. Gerakan demokratik yang menumbangkan kediktatoran adalah kunci bagi peningkatan kesadaran perempuan saat ini.

Namun celakanya, 8 tahun sejak reformasi, para aktivis dan partai-partai yang mengaku reformis, kini berhenti berjuang menegakkan reformasi. Partai-partai sisa-sisa Orde Baru dan mantan tentara malah beramai-ramai menumpang bendera reformasi. Para aktivis yang sempat berpanas-panas di jalanan, kini juga ramai berteduh di bawah bendera-bendera reformis gadungan dan sisa-sisa Orde Baru. Termasuk aktivis perempuannya. Sementara kesengsaraan terus bergelayut di pundak perempuan, walau kuota perempuan (di bawah bendera partai-partai sisa Orde Baru dan reformis gadungan) meningkat di parlemen.

Semuanya takluk, tak berkutik dihadapan penjajahan modal asing. Bahkan banyak yang berlomba menjadi agen barunya, dengan berpura-pura anti modal asing di parlemen, tapi tak sungguh-sungguh memobilisasi kekuatan partainya dan massa rakyat untuk melawan penjajahan modal asing. Padahal penjajahan modal asing adalah sumber pokok kesengsaraan perempuan Indonesia saat ini, yang mematikan potensi kemajuannya; menghinakan martabatnya; menghancurkan masa depannya sebagai manusia. Penjajahan modal asing mematikan produktivitas rakyat dan lebih banyak menghancurkan tenaga produktif perempuan; menghancurkan produktivitas industri nasional, sehingga menyebabkan kemiskinan berkepanjangan, yang paling banyak mengorbankan perempuan.

Dampak penjajahan yang paling membebani pundak perempuan (yang mayoritas miskin di negeri ini) adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat, terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal―kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup di bawah Rp. 19.000/hari, porsi kaum perempuan lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Kaum perempuan lah yang menjadi korban terbesar dari kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif (feminisasi kemiskinan) akibat penjajahan ini.

Deindustrialisasi juga menyebabkan terus meningkatnya angkatan kerja buruh migran perempuan, hingga mencapai 72% dari jumlah laki-laki dalam 10 tahun ini, di mana setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 400.000 buruh ke luar negeri tanpa ada status hukum dan perlindungan yang jelas. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan.

Tak cukup sampai disitu, pendidikan dan kesehatan, yang merupakan landasan bagi kemajuan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa, semakin tak menjangkau perempuan. Semakin sulit pula bagi mayoritas kaum ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas yang murah, karena rumah-rumah sakit besar yang berteknologi tinggi, mayoritas dimiliki asing dan tidak bisa diakses oleh rumah tangga miskin. Program-program semacam Askeskin dan Gakin, selain tak mudah diakses perempuan, juga syarat pengurusannya semakin dipersulit; rumah sakit tetap meminta kontribusi; PT. Askes menunggak membayar klaim; obat-obatan yang diberikan adalah obat kelas dua yang lebih lama menyembuhkan daripada obat-obatan untuk pasien kaya. Menteri kesehatan, yang berjenis kelamin perempuan, tak punya keberanian untuk mengatasi persoalan ini, selain menyuruh masyarakat untuk bersabar dan memaklumi.

Perempuan juga merupakan lapisan masyarakat dengan tingkat melek huruf dan rata-rata sekolah paling rendah. Namun pendidikan berkualitas hanya menjadi milik rumah tangga-rumah tangga kaya. Sehingga masuk akal lah jika perempuan terjerumus ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang rentan eksploitasi, kekerasan, pelecehan seksual, termasuk rela dipoligami karena tergantung secara ekonomi. Celakanya, bukan akar persoalannya yang diatasi (yaitu kemiskinan perempuan), tapi perempuannya yang dihukum. Perempuan menjadi objek yang disalahkan, dikejar-kejar, digaruk, bahkan dilecehkan dalam perda-perda syariah dan RUU pornografi.

Memang, beberapa kemajuan politik sudah ada, seperti kuota 30%, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU kewarganegaraan dan sebagainya, yang menjadi pembuka jalan bagi perjuangan kesetaraan perempuan (affirmative action) selanjutnya. Namun, tanpa mengatasi persoalan kemiskinan yang berwajah perempuan (feminisasi kemiskinan) yang bersumber dari rendahnya kualitas tenaga produktif perempuan, maka pekerjaan legislasi pun hanya akan menguntungkan segelintir elit perempuan yang bermimpi bisa merubah nasib perempuan tanpa gerakan massa perempuan.

Lawan Penjajahan Modal Asing; Bangun Gerakan Massa Perempuan

Hal yang paling menggembirakan adalah, kesengsaraan ini tidak lagi diterima dengan lapang dada. Itulah mengapa perlawanan (gerakan) spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat―peningkatan GOLPUT, penjatuhan pimpinan daerah, dan sebagainya (apapun alasannya, GOLPUT adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif).

Kaum perempuan Indonesia yang sedang melawan, mulai sadar, bahwa pemerintah dan seluruh partai-partai peserta pemilu 2009, termasuk kaum perempuan yang terkooptasi di dalamnya, sudah tak bisa diharapkan dapat memberi kesejahteraan. Dari kekuatan yang sadar itulah, kita akan mengajak seluruh rakyat dan kaum perempuan berjuang untuk membangun kekuasaan baru; alat politik alternatif baru; yang bersih dari unsur-unsur sisa Orde Baru dan reformis gadungan. Hanya kekuatan seperti itulah yang lebih berkemampuan menjalankan kebijakan untuk mengangkat harkat dan kesetaraan sejati perempuan. Kekuasaan tersebut akan dibentuk bersama seluruh elemen rakyat yang juga sedang berjuang melawan penjajahan modal asing, yang akan bekerja untuk:

1. MEMENUHI TUNTUTAN-TUNTUTAN DARURAT RAKYAT, seperti kenaikan upah; harga murah; kesehatan dan pendidikan gratis; perumahan murah; makanan bergizi; pelayanan administrasi gratis; modal dan teknologi untuk pertanian; lapangan kerja, mencabut semua produk hukum yang menindas harkat perempuan, dan pembaruan lingkungan.

2. MENGAMBIL ALIH PERUSAHAAN TAMBANG, dan industri yang vital lainnya di bawah kontrol rakyat; MENOLAK PEMBAYARAN HUTANG LUAR NEGERI; mengadili dan menyita harta-harta koruptor sejak berdirinya Orde Baru, sebagai sumber-sumber pendapatan utama bagi kesejahteraan rakyat serta pembangunan industri nasional.

3. MEMBANGUN INDUSTRI NASIONAL YANG MODERN SEBAGAI LANDASAN MENINGKATKAN HARKAT KAUM PEREMPUAN. Alih teknologi, kenaikan upah, kesehatan dan pendidikan gratis, serta kontrol rakyat atas kerja-kerja produksi adalah landasan terbangunnya industri nasional. Dengan industrialisasi nasional, kaum perempuan menjadi pandai dan meningkat harkatnya. Lapangan pekerjaan yang membangkitkan produktivitas kaum perempuan akan bisa disediakan, sehingga ketergantungan ekonomi kaum perempuan terhadap laki-laki juga akan berkurang, dengan demikian, kadar kesetaraan yang lebih sejati dapat tercapai, sehingga akan mengurangi praktek poligami, perdagangan perempuan, kekerasan rumah tangga, hingga pelacuran. Anak-anak pun tidak akan terlantar dijalanan karena negara akan produktif dan memiliki uang untuk membangun tempat-tempat penitipan anak gratis di tempat kerja, dan taman-taman bermain untuk meningkatkan kreativitas anak.

Bila mobilisasi kekuatan politik gerakan yang spontan-ekonomis-fragmentatif bisa disatukan, yang statistik aksinya sudah puluhan per bulannya (dimana perempuan sering berada di garis terdepan dan paling militan), maka pergantian kekuasaan tidaklah mustahil dilakukan. Perjuangan pergantian kekuasaan di Bolivia dan Venezuela memberikan pelajaran pada kita, bahwa berjuang untuk sebuah kekuasaan baru dengan persatuan dan mobilisasi rakyat, tanpa kekuatan lama dan reformis gadungan, tidak mustahil dilakukan dan akan menguntungkan bagi perjuangan kaum perempuan. Oleh karena itu, Pemilu 2009 harus dilawan, karena hanya akan menguntungkan para pelanggar HAM, koruptor, kaum kaya, dan para aktivis oportunis, termasuk elit politik perempuan yang hanya memanfaatkan suara perempuan untuk memperbesar kursi partai politik elit penyebab kesengsaraan perempuan.***

Catatan Kaki:

[1] Oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No 316 tahun 1959.
[2] di Yogyakarta, 22 Desember 1928.
[3] Sejak berkuasanya Soeharto, dengan disyahkannya UU penanaman modal Asing 1967, dimulailah penjajahan modal asing di Indonesia; dan agar jangan ada gangguan terhadapnya maka gerakan politik perempuan diberangus hanya sebatas pendamping suami yang patuh.

29 November 2008

Form Pendaftaran

Formulir Pendaftaran


Nama Lengkap: ___________________________________________



Nama Panggilan: __________________________________________



TTL: ___________________________________________________



Alamat Tinggal: _______________________________________________



Alamat Asal: __________________________________________________



Telpon/HP: _______________________________________________



Email: ___________________________________________________



Kampus/Sekolah/Instansi asal: ____________________________________
(sebutkan dengan lengkap)



Organisasi yang pernah diikuti: _________________________________



Organisasi yang sedang diikuti:_____________________________________




Motivasi: _______________________________________________________




Opini tentang kondisi perempuan saat ini: ____________________________




Opini tentang perkembangan gerakan perempuan saat ini: _______________

________________________________________________________________

________________________________________________________________


Opini tentang makna organisasi: _____________________________________

_________________________________________________________________

_________________________________________________________________

Kirimkan form ini ke alamat-alamat email berikut:

Jakarta: mahardhika.kita@gmail.com
Yogyakarta: jogja.mahardhika@gmail.com

PROFIL JNPM Yogyakarta


Keberhasilan gerakan demokratik 1998 dalam menggulingkan rejim suharto berdampak pada terbukanya ruang demokrasi termasuk arus informasi tentang kondisi perempuan yang sebenarnya sedang terjadi di Indonesia. Hal ini mendorong munculnya berbagai macam komunitas, kelompok, ormas dan NGO yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Menjamurnya organisasi-organisasi dan komunitas perempuan ini juga terjadi di Jogjakarta yang disebut-sebut sebagai kota pelajar.

Sebagai kota pelajar, jogjakarta memiliki banyak kampus dengan prosentase jumlah mahasiswa 30% dari seluruh penduduk asli kota jogjakarta. Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda yang dekat dengan arus informasi dan haus akan ilmu pengetahuan.juga merupakan kaum yang paling cepat mendapatkan informasi tentang isu-isu perempuan. Nampaknya inilah yang mendorong munculnya kelompok-kelompok diskusi lokal kampus yang menjamur mulai tahun 2003.

Tersebut diantaranya adalah:

  • Kupu-Kupu Pemberontak (UPN)
  • Kelompok Diskusi Perempuan untuk Demokrasi (ATMAJAYA)
  • Wadah Pembebasan Perempuan (UMY)
  • Gerakan Perempuan Merdeka (UII)
  • Gerakan Pembebasan Perempuan (UGM)
  • Perempuan Bergerak (SANATADHARMA)

Menjamurnya organisasi perempuan lokal kampus ini merupakan satu aspek positif bagi perjuangan hak-hak kaum perempuan, namun sayangnya pada waktu itu belum ada satu kesatuan atau jaringan yang dibangun antar kelompok perempuan ini dan belum ada perspektif kelompok perempuan ini untuk mengolah potensi-potensi perjuangan perempuan ke masyarakat luas. Evaluasi inilah yang mendorong kelompok perempuan lokal kampus yogyakarta untuk ikut serta dalam konfrensi nasional I yang diselenggarakan oleh Pokja Perempuan Mahardhika dan konfrensi nasional II , dan resmi sebagai pendiri Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika Jogjakarta.

Penggabungan diri dengan JNPM ini diharapkan mampu membentuk sinergitas gerakan antar kelompok perempuan untuk memaksimalkan perjuangan perempuan, dan sebagai jalur kelompok-kelompok diskusi kampus ini untuk terjun ke masyarakat karena JNPM merupakan ormas yang berjaringan dan bervisi meluaskan organisasi perempuan lintas sektor.

Paska bergabung dengan JNPM banyak kelompok-kelompok perempuan yang mengalami kemunduran dan hilang karena tidak ada kaderisasi dan sebagian besar anggota kelompok-kelompok ini sudah lulus dari Universitas. Kelompok-kelompok perempuan yang mengalami kemunduran itu adalah: KKP UPN, WAPER UMY, GPM UII,GPP UGM, PERAK SANATADHARMA, hanya KDPD ATMAJAYA yang masih bertahan sampai sekarang.

Namun menghilangnya beberapa kelompok perempuan di kampus-kampus ini tidaklah menyurutkan dinamika perjuangan perempuan di kampus, karena pada tahun 2007 mulai berkembang kembali kelompok-kelompok dan komunitas perempuan di kampus bahkan meluas ke kalangan pelajar, diantaranya:

  • Komunitas Studi Perempuan (UNY, UGM, UIN)
  • Komunitas Pembebasan Perempuan (UMY)
  • Suara Perempuan dan Kesetaraan (UPN)
  • Brondong Manis Community (individu dari beberapa SMA negeri dan Swasta di Jogjakarta).

Dinamika gerakan perempuan di kalangan kaum muda intelektual ini, terutama berkaitan dengan evaluasi kemunduran kelompok perempuan yang pernah terjadi merupakan satu tantangan besar yang harus diselesaikan oleh JNPM Yogyakarta agar gerakan perempuan semakin berkembang khususnya di kampus-kampus. Namun perkembangan kelompok perempuan di kalangan intelektual ini haruslah terus diluaskan, dan harus menjadi gerakan perempuan lintas sektor, mampu menjadi motor penggerak pembangunan organisasi-organisasi perempuan di masyarakat pada umumnya, sehingga perjuangan pembebasan perempuan mampu sepenuh-penuhnya diwujudkan.

Visi dan Misi

· Visi

  • Mewujudkan tatanan kehidupan sosial politik masyarakat yang sejahtera, modern, bersih, demokratik, internasionalis, produktif, adil dan setara secara gender. Agar setiap orang memiliki kesamaan dalam pilihan hidup dan kesempatan terlepas asal usul ras, kelas, dan jenis kelamin.
  • Mewujudkan tatanan kehidupan bernegara yang anti terhadap praktek-praktek militerisme.
  • Bersama-sama seluruh elemen masyarakat memperjuangkan perubahan tatanan budaya masyarakat yang patriarki menjadi budaya yang setara secara gender jender (gender mainstreaming).
  • Turut serta di dalam setiap perjuangan politik yang bertujuan meningkatkan kualitas demokrasi agar lebih partisipatif dan setara secara gender.

· Misi

  • Meningkatkan kesadaran gender perempuan miskin perkotaan dan pedesaan, kaum muda perempuan (pelajar dan mahasiswa), melalui pembangunan berbagai wadah-wadah perempuan di berbagai tingkatan.
  • Meningkatkan partisipasi sosial dan politik perempuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di komunitas tempat tinggal, organisasi, sekolah/universitas dan tempat kerjanya.
  • Meningkatkan kapasitas kepemimpinan dan komunikasi perempuan.
  • Membangun organisasi payung perempuan yang demokratik dan meluas.
  • Membangun kemandirian perempuan dengan menyelenggarakan berbagai model pendidikan dan pelatihan hak-hak perempuan yang sesuai dengan kebutuhan pewadahan.
  • Membangun persatuan-persatuan dengan berbagai sektor rakyat yang memiliki persoalan sama; sekaligus sebagai sarana saling belajar persoalan masing-masing sektor.
  • Turut serta di dalam setiap arena perjuangan demokrasi dan legislasi (reformasi politik dan ekonomi) yang berpihak pada perempuan, sebagai pembuka jalan, sekaligus bagian tak terpisahkan dari perjuangan untuk mewujudkan tatanan kehidupan bernegara yang lebih setara.
  • Mendesakkan pelaksanaan yang konsisten terhadap ratifikasi CEDAW (Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan) melalui UU No.7 Tahun 1984; termasuk mendesak Negara untuk meratifikasi protokol opsional CEDAW, serta berbagai produk perundangan yang terkait dengan perlindungan hak-hak perempuan.
Sebagian Program Yang Pernah Dilakukan:

  1. Menyelenggarakan program Sekolah Feminis untuk Kaum Muda yang diikuti oleh mahasiswa/i dari berbagai kampus.
  2. Menjadi peserta sekaligus pendiri Pokja Perempuan Mahardhika dan Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika.
  3. Menyelenggarakan rangkaian agenda merespon Hari Perempuan Internasional 2005 dengan tema “Perempuan dalam bingkai” di gedung Societet.
  4. Menyelenggarakan diskusi publik memperingati Hari Perempuan Internasional 2006 dengan tema “Perempuan dan Virginitas” di UAJY.
  5. Melakukan aksi massa memperingati Hari Perempuan Internasional baik sendiri maupun front setiap tahunnya.
  6. Terlibat aktif dalam front-front persatuan demokratik yang ada di Yogyakarta
  7. Terlibat aktif dalam front-front perempuan yang ada di Yogyakarta
  8. Terlibat aktif dalam aksi-aksi perjuangan pembebasan perempuan, kesejahteraan dan demokrasi.
  9. Menyelenggarakan diskusi publik road show dengan tema “Kuota 50% Mungkin atau Tidak? “Belajar dari Gerakan Perempuan Amerika Latin” di FIB UGM, UPN dan UAJY.
  10. Menyelenggarakan pendidikan politik perempuan secara reguler
  11. Menyelenggarakan diskusi regular untuk internal dan eksternal
  12. Terlibat aktif dalam front Tolak Penggusuran di kawasan pantai Parangtritis
Jaringan JNPM Yogyakarta:

1. Suara Perempuan dan Kesetaraan (SUPERSTAR) UPN
2. Kelompok Diskusi Perempuan untuk Kesetaraan (KDPD) Atma Jaya
3. Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi-Politik Rakyat Miskin (LMND-PRM) DIY
4. Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM) DIY
5. Serikat Pengamen Indonesia (SPI) DIY

Struktur JNPM Yogyakarta:

Koordinator: Niken Dwi Ismoyowati, SIP.

Div. Pendidikan dan Bacaan: Linda Sudiono, Staf: Sista Oktaviani, Cholis Annasir

Div. Jaringan Mahasiswa: Christina Yulita P

Div. Jaringan Rakyat: Aslihul Fahmi Aliya

Kesekretariatan dan dana: Mutiara Ika Pratiwi, Staf: Adrianus Sugihadi, Fx. Andy Permana

[Dokumen Konfernas] Membangun Organisasi Perempuan Nasional--Bentuk & Tahapan Organisasi ***

Sudah hampir dua tahun pembangunan ormas perempuan demokratik disusun dan dikerjakan. Berangkat dari pembentukan seksi perempuan di masing-masing organisasi kita, diharapkan kemudian melahirkan organisasi perempuan tingkat local, untuk kemudian berlanjut sampai dengan terbangunnya ormas perempuan secara nasional. Walaupun beberapa teritori berhasil terbangun wadah-wadah perempuan dari proses tersebut, namun secara keseluruhan, proses pembangunan ormas perempuan yang diharapkan belum tercapai. Inilah realita yang harus diterima sebagai evaluasi kepentingan untuk membangun ormas perempuan nasional itu sendiri. Bukan hanya kelemahan kaum perempuan di dalam setiap organisasi sektor yang ada, namun terutama kelemahan setiap organisasi demokratik itu sendiri, secara politik dan organisasi.

Tanpa melemahkan posisi organisasi perempuan yang bukan bagian (secara organisasi dan atau individual) dari suatu organisasi demokratik yang lain, terutama yang terlibat dalam Konferensi Nasional kita, adalah penting untuk memastikan setiap organisasi demokratik yang mendukung pembangunan ormas perempuan agar jelas dan konkret program dan proses kerjanya dalam tanggung jawabnya terhadap pembangunan ormas perempuan. Sebab tanpa dibicarakan terus menerus sebagai agenda rapat, tanpa dimasukkan sebagai program kerja di semua tingkatan teritorial, tanpa dijadikan bagian materi pendidikan, tanpa distrukturkan, dan sebagainya, tentang pembebasan perempuan dan pembangunan ormas perempuan di setiap organisasi demokratik tersebut, maka akan terus lambat dan kesulitan pembangunan ormas perempuan demokratik kita. Atau, dalam posisi persoalan yang lain, bisa terbangun organisasi perempuan tapi terpisah secara politik dan organisasi dari organ gerakan demokratik.

Gerakan perempuan kita adalah bagian dari gerakan demokratik. Secara prinsip saling membutuhkan dan harus saling menguatkan. Kalaupun secara organisasional organisasi perempuan kita bukan bagian dari suatu organisasi yang lain, tetap penting untuk saling mendukung penstrukturan masing-masing organisasi, dan tetap penting untuk secara politik menjadi kekuatan bersama untuk pembebasan rakyat. Adalah menguntungkan dan sama sekali tidak ada kerugiannya, jika di semua teritori yang terdapat organisasi buruh, parpol, mahasiswa, tani, organisasi kaum miskin kota, dibangun organisasi perempuan dari anggota organisasi tersebut bersama kaum perempuan setempat. Demikian juga sebaliknya nanti jika organisasi perempuan meluas, jika di teritori organisasi perempuan belum terbangun organisasi demokratik lain, anggota organisasi perempuan di pedesaan akan terlibat membangun organisasi tani, di perkotaan membangun organisasi KMK, di kawasan industri membangun serikat buruh, di kampus membangun organisasi mahasiswa, dan seterusnya.

Konferensi Nasional Perempuan yang dilakukan sekarang, penting untuk segera menyimpulkan dan memutuskan beberapa berkaitan dengan pembangunan organisasi nasional perempuan, sekaligus tahap-tahapnya, sejak dari sekarang. Marilah sekarang dibahas beberapa hal yang penting untuk diputuskan, dalam hal organisasi.


Di Setiap Teritori: Mengisi Panggung Politik dan Membangun Ormas

Belum terjadi kemajuan politik pembebasan perempuan dalam proses demokrasi di Indonesia, dengan berbagai kelemahan di kalangan gerakan demokratik, realita politik nasional malah menunjukkan adanya proses yang akan mendorong jauh ke belakang gerakan pembebasan perempuan. Bahkan di beberapa daerah, hal ini bukan lagi hanya sebagai ancaman, tapi sudah mewujud dalam berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan dan demokrasi itu sendiri (terutama dengan munculnya peraturan daerah dan aparatus kekerasannya). Politik terbelakang dan anti demokrasi, yang diusung oleh berbagai kekuatan politik besar (termasuk kaum perempuan yang menjadi anggotanya), semakin hari semakin kuat mengisi panggung politik nasional dan local, bukan untuk berlomba berkampanye membebaskan perempuan dari penindasan, namun saling berlomba mengatur, membatasi, mengekang, dan memberangus kebebasan perempuan, sampai pada hilangnya martabat kemanusiaan perempuan.

Maka mendesak sekarang, dalam situasi bahaya bagi demokrasi dan bagi perempuan sekarang, untuk adanya propaganda legal seluas-luasnya oleh organisasi perempuan demokratik, juga oleh keseluruhan gerakan demokratik. Segera dibutuhkan alat politik bersama kaum perempuan yang akan mengisi seluruh panggung propaganda di setiap tingkat teritori, dengan program-program demokratik yang membebaskan kaum perempuan. Alat politik berupa organisasi bersama ini bukan lagi hanya menjadi ajang konsolidasi dan persatuan diam-diam diantara aktivis feminisme, tapi betul-betul menjadi alat politik berpropaganda secara legal, termasuk dengan bacaan. Panggung politik yang sekarang banyak diisi oleh politik anti demokrasi dan anti perempuan, harus diterobos dengan propaganda sekuat-kuatnya oleh organisasi perempuan demokratik, baik di nasional, wilayah, kota hingga di teritori terkecil massa.

Selain kemampuan untuk mengisi dan mengambil panggung politik, alat politik ini harus mampu menjangkau maksimal kaum perempuan di berbagai teritori basis. Agar benar-benar menjadi wadah kaum perempuan kebanyakan, dan dengan kekuatan massa tersebut akan sanggup memenangkan pertarungan propaganda di panggung politik. Kebutuhan organisasi untuk kepentingan ini adalah dengan membangun komite-komite atau bahkan ormas-ormas perempuan. Baik berupa komite/ormas perempuan territorial (komite/ormas perempuan kampung, serikat ibu-ibu desa, ormas perempuan kota dll) ataupun komite/ormas perempuan sektoral (komite perempuan mahasiswa, ormas perempuan buruh dst), semua peluang bentuk diambil sebagai pewadahan massa perempuan secara luas. Tidak mencukupi lagi kerja pembangunan gerakan perempuan yang hanya menjadikan ibu-ibu miskin sebagai peserta diskusi atau peserta sosialisasi-sosialisasi semata, namun harus dilanjutkan dengan penstrukturan yang konkret dalam ormas-ormas.

Komite dan Ormas-ormas ini ini akan menjadi wadah ibu-ibu dan terutama perempuan miskin, untuk mendapatkan kesadaran politik dan kesadaran pembebasan perempuan, sekaligus melatih diri dalam berbagai bentuk kerja organisasi. Bagaimanapun kesulitan mendorong maju massa perempuan --karena begitu lama tertindas secara politik, ekonomi, budaya, social yang melebihi ketertindasan terhadap rakyat yang laki-laki, sehingga secara luas penindasan sering dianggap sebagai posisi lumrah dan tidak perlu dipersoalkan, atau kalaupun sadar untuk harus dipersoalkan tidak perlu kaum perempuan terlibat dll—pengorganisiran dan pewadahan ini harus segera secara serius dikerjakan. Penerimaan awal bentuk organisasi oleh massa, dari yang paling moderat (misalnya paguyuban kesehatan ibu-anak Kampung A), harus diambil penting dalam setiap kerja pengorganisiran, untuk kemudian didorong maju hingga menjadi ormas dan atau menjadi bagian ormas perempuan.

Terutama di kampus, untuk pengorganisiran kaum perempuan di kampus, tanpa menolak bentuk kelompok diskusi, namun harus diperjelas kepentingan untuk dimajukan strukturnya sebagai komite bahkan hingga ormas. Bentuk kelompok diskusi menjadi bagian taktik untuk terus dimajukan. Sebab dengan bentuk organisasi yang lebih maju, terutama sebagai ormas, maka akan lebih banyak lagi kesanggupan aspek kerja (kampanye, front, perluasan, radikalisasi, agitasi propaganda, dll) yang bisa diemban oleh wadah perempuan tersebut. Percepatan yang positif dalam pengorganisasian gerakan perempuan di kampus ini, juga mempunyai posisi penting untuk bisa menopang pembangunan dan perluasan struktur perempuan di luar kampus. Selain secara khusus ormas perempuan mahasiswa bisa melibatkan dan menjadi ajang pendidikan kaum perempuan di luar kampus (terutama dari perempuan di teritori sekitar kampus dan kos), juga dalam bentuk ormas akan semakin memungkinkan diterimanya kesadaran di internal feminis kampus untuk menjadi organiser di luar kampus. Atau bahkan sejak awal bisa saja pembangunan ormas perempuan kampus, konsep organisasinya tidak menutup diri untuk menerima keanggotaan di luar mahasiswa, walaupun diawali dari penstrukturan di kampus, agar target utama pembangunan gerakan perempuan dengan basis ibu-ibu rumah tangga atau perempuan miskin bisa tercapai (minimal arah pencapaiannya terlapangkan)

Menyatukan dalam JARINGAN

Dalam kepentingan politik mendesak untuk melawan kekuatan politik anti demokrasi dan anti perempuan, pilihan yang paling memungkinkan adalah menyatukan kekuatan politik gerakan perempuan dalam satu bentuk ormas payung. Sehingga ada penyatuan kekuatan dalam mengusung suatu program, sehingga capaian politik yang diperoleh lebih besar. Dalam bentuk payung ini juga seluruh organisasi yang tergabung akan duduk bersama memimpin organ payung ini. Dengan tanpa menghilangkan atau meleburkan suatu organisasi perempuan yang tergabung, namun berada dalam wadah bersama, dengan organ payung ini akan memungkinkan meluaskan keanggotaan dari ormas-ormas perempuan yang sudah ada atau yang akan muncul kemudian.

Dalam tahap sekarang, dimana belum berdiri ormas-ormas perempuan teritorial dan atau ormas perempuan sektoral, ormas payung ini belum bisa dijalankan sebagaimana bentuk seharusnya, belum sebagai ormas payung sesungguhnya. Sebab basis organisasi yang akan dipayungi belum jadi. Walaupun demikian, sejak awal bentuk penyatuan ini penting untuk mulai dijalankan, dengan bentuk dan sifat yang masih sederhana. Selain untuk diambil untung dalam kepentingan politik organisasi bagi ormas-ormas yang akan dibangun segera, penyatuan pada bentuk dan tingkat awal ini juga akan memudahkan kebutuhan penyatuan di waktu mendatang.

Bentuk awal penyatuan pada waktu sekarang yang mungkin di ambil adalah jaringan. Konferensi Nasional ini penting untuk menyepakati pembangunan wadah perempuan nasional, dalam bentuk jaringan. Jaringan sebagai bentuk paling longgar dari suatu konsepsi organisasi, ini adalah lanjutan dari proses kerja menuju pembangunan ormas perempuan nasional. Jaringan ini tugas utamanya adalah menyiapkan Kongres Nasional Perempuan untuk membentuk ormas payung perempuan nasional, dengan sebelumnya memastikan pembangunan organisasi/komite perempuan demokratik di berbagai teritori dan sektor.

Kelonggaran organisasi dalam bentuk jaringan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya untuk menguatkan organisasi masing-masing, sampai dengan penstrukturan yang konkret kaum perempuan di manapun, sesuai potensi di tiap teritori. Namun dengan jaringan ini juga, tidak lagi masing-masing bekerja sendiri sama sekali. Sebab dengan jaringan ini akan dimunculkan bentuk-bentuk kerja bersama, baik untuk mendapatkan kemudahan daripada dikerjakan sendiri, ataupun karena kepeloporan yang mendorong maju adanya persatuan dalam pembebasan perempuan.

Sebuah jaringan yang tidak semata menyatukan organisasi-organisasi melalui bentuk-bentuk komunikasi dan agenda kerja, tapi jaringan yang bertugas untuk menyiapkan suatu Kongres Nasional. Maka jaringan ini akan memimpin dan melakukan proses kerja sebagai suatu kepantiaan. Kepanitiaan nasional yang bertanggung jawab dengan luasnya organisasi dan massa perempuan yang akan terlibat Kongres, sekaligus menyatukan pemahaman atau landasan politik tentang gerakan dan organisasi perempuan yang akan dibangun.

Oleh karenanya, jaringan ini membutuhkan struktur, terutama di nasional dan di kota. Jaringan ini juga akan dilegalkan secara maksimal, dan bukan menjadi kepanitiaan tertutup yang hanya diketahui internal, tapi harus populer di depan massa, secara politik dan organisasi. Bentuk struktur di dalam jaringan ini juga adalah wujud penyatuan kerja dari masing-masing organisasi anggota.

Struktur jaringan ini, karena masih akan ditopang oleh struktur masing-masing organisasi yang tergabung, belum begitu perlu untuk sangat lengkap sebagaimana organisasi nasional pada umumnya. Bahkan struktur jaringan akan juga diisi bersama oleh wakil organisasi pendukung, untuk masing-masing fungsi kerja. Dalam pengertian tersebut, struktur kerja jaringan (agar lebih mudah penjelasan, diambil missal dulu nama jaringan adalah Jaringan Perempuan Mahardhika) adalah sebagai berikut:

Di Nasional

KOMITE NASIONAL JARINGAN PEREMPUAN MAHARDHIKA, dengan struktur:
· Koordinator (satu orang), bertugas memimpin Jaringan Perempuan Mahardhika secara nasional, juga merupakan juru bicara utama
· Div. Kerjasama (Koordinator dan anggota, wakil masing-masing organisasi), bersama Koordinator melakukan kampanye dan kerjasama untuk memperluas keanggotaan jaringan dari organisasi di nasional ataupun membangun kerjasama/aliansi dengan pihak lain. Salah satu juga merangkap kerja mengurusi dana, yang dicari bersama-sama
· Div. Jaringan Daerah (Koordinator dan anggota, wakil masing-masing organisasi), bertugas mengkoordinasi Jaringan Perempuan Mahardhika di daerah2
· Div. Bacaan (Koordinator dan anggota, wakil masing-masing organisasi), bertugas menyiapkan dan memproduksi bacaan Jaringan Perempuan Mahardhika untuk kebutuhan secara nasional

Organisasi yang tergabung dan berhak menempatkan wakilnya dalam Komite Nasional adalah organisasi perempuan tingkat nasional dan atau organisasi demokratik tingkat nasional yang mendukung penuh Jaringan Perempuan Mahardhika, dengan salah satu bentuk dukungan adalah menjadikan seluruh organisasi dan anggota perempuannya sebagai anggota Jaringan Perempuan Mahardhika.

Di Kota

KOMITE KOTA JARINGAN PEREMPUAN MAHARDHIKA, dengan struktur:
· Koordinator (satu orang), merupakan juru bicara tingkat kota, memimpin Jaringan Perempuan Mahardhika tingkat kota.
· Div. Jaringan (Koordinator dan anggota, wakil masing-masing organisasi), bertugas mengkoordinasi komite/organisasi parempuan basis, juga membuat program perluasan teritori yang pelaksanaannya bisa dilakukan dengan organisasi-organisasi pendukung (tergantung potensi sektor di tiap teritori).
· Div. Bacaan (Koordinator dan anggota, wakil masing-masing organisasi), bertugas menyiapkan dan memproduksi bacaan untuk kebutuhan kota

Untuk penempatan kawan bisa dilakukan berdasarkan situasi masing-masing organisasi dan seefektif mungkin. Dalam arti bisa saja tidak pada semua divisi ada perwakilan organ, sekalipun secara prinsip masing-masing berhak menempatkan wakilnya, termasuk organ yang baru tergabung. Baik di tingkat nasional dan di kota, struktur bersama ini tetap harus seefektif mungkin.

Tentang perumusan kerja bersama, selain rapat komite (Komite Nasional ataupun Komite Kota), dikenal juga Konferensi Jaringan. Dalam konferensi ini memungkinkan melibatkan seluruh organisasi pendukung (sesuai tingkatnya), sekalipun wakil organisasi tersebut tidak masuk dalam struktur komite.

Struktur di tingkat wilayah tidak menjadi kepentingan mendesak, sehingga tidak masuk dalam program penstrukturan awal. Namun secara prinsip tidak menolak adanya Komite Wilayah Jaringan Perempuan Mahardhika, terhadap suatu wilayah yang telah berdiri struktur kota dan yang telah mendesak kebutuhan penstrukturan wilayah.

Kerja Mendesak Jaringan

Kerja mendesak Jaringan hasil Konferensi Nasional, secara umum selama enam (6) bulan ke depan adalah sebagai berikut:

I. Legalisasi Struktur

Setelah Konferensi Nasional dan terbentuk organisasi kita (termasuk minimal memilih Koordinator Komite Nasional), maka segera secepatnya dicari waktu yang tepat untuk launching organisasi baru ini, dengan prinsip diekspos luas oleh media. Selanjutnya diikuti dengan pembentukan dan launching Komite Kota. (Dari jumlah kota yang terdapat struktur organisasi yang mendukung Konferensi Nasional ini, maka minimal segera bisa dibangun Komite Kota Jaringan Perempuan Mahardhika di 50 kota). Legalisasi struktur ini diarahkan untuk mempermudah pembangunan komite atau bahkan ormas perempuan tingkat basis dan kota, selain untuk kepentingan propaganda. Masing-masing kota akan membuat konferensi dengan diikuti oleh struktur organisasi demokratik pendukung, untuk menghasilkan struktur Komite Kota Jaringan Perempuan Mahardhika

II. Propaganda kepada Perempuan Miskin dan Ibu-Ibu Rumah Tangga

Munculnya Jaringan Perempuan Mahardhika harus segera menjelaskan posisi sebagai alat perjuangan kaum perempuan, dan terutama untuk perempuan miskin dan ibu-ibu rumah tangga. Inilah posisi politik organisasi perempuan yang belum diambil oleh kelompok perempuan yang lain secara serius. Isi propaganda melalui bacaan dan agenda-agenda kampanye yang lain (di radio, Koran, seminar dll) selalu menegaskan posisi ini. Bahkan sekalipun ajang propaganda dilakukan bukan di basis-basis rakyat miskin (misalnya di kampus atau agenda tingkat kota), tekanan propaganda tentang persoalan dan jalan keluar bagi kaum perempuan miskin dan ibu-ibu rumah tangga terus harus dilakukan. Seluruh struktur akan diikat dalam agenda kerja terjadwal nasional, misalnya dalam satu bulan setiap kota harus melakukan agenda kerja atau radikalisasi propaganda (dalam bentuk radikal ataupun moderat) terbuka di tingkat kota minimal satu (1) kali dan di basis rakyat miskin minimal satu (1) kali.

III. Pembentukan Komite Perempuan atau Komite Ibu-Ibu, atau Bahkan Omas Perempuan Teritorial

Pembentukan organisasi perempuan di teritori kampung/desa pertama kali, yang paling mudah, adalah di teritori basis organisasi demokratik pendukung Jaringan Perempuan Mahardhika. Di setiap teritori basis ini, organisasi tersebut dengan seksi perempuannya harus segera membangun komite-komite perempuan, baik sektoral (Komite Perempuan Tani A, Komite Ibu-Ibu Buruh B, Komite Perempuan Kampus C dll) ataupun teritorial (Komite Ibu-Ibu Kampung A, Komite Perempuan Desa B dll). Seluruh Komite ini secara organisasional dan legal tergabung dalam Jaringan Perempuan Mahardhika Kota. Bahkan bisa juga dibangun ormas perempuan, misalnya dari berbagai kelompok diskusi perempuan kampus membentuk satu ormas perempuan kota. Ormas perempuan ini juga terus mengorganisir di kampus-kampus, juga mengerjakan potensi pembangunan Komite Perempuan Kampung di basis miskin. Masing-masing Komite dan Ormas Perempuan ini akan memiliki agenda kerja sendiri untuk memajukan dan meluaskan organisasinya, tapi juga akan selalu terlibat dalam agenda-agenda Jaringan Perempuan Mahardhika.

Konsolidasi organisasi yang lebih maju di kampus/mahasiswa sekarang, sebaik-baiknya bisa menopang perluasan dan penguatan organisasi di luar kampus. Baik berupa pengorgansiran dalam jangka waktu tertentu, ataupun hanya pelaksanaan program tertentu (misalnya advokasi, diskusi, pengobatan ibu-anak, dll).

IV. Perluasan Basis dan Jaringan

Perluasan basis yang tersedia dari potensi di masing-masing kota, bahkan kota baru, (baik karena datang sendiri sebagai hasil propaganda, ataupun karena persoalan/kasus rakyat yang kemudian kita datangi) sangat penting dikerjakan. Terhadap potensi perluasan ini akan dikerjakan bersama organisasi demokratik pendukung (sesuai sektornya), sehingga bisa Komite Perempuan terbentuk lalu dibangun cabang organ demokratik tersebut, atau sebaliknya, diorganisir organisasi demokratik dan dibangun organisasi baru kemudian dibangun Komite Perempuan. Selanjutnya bacaan dan agenda basis yang akan mempertahankan dan memajukan wadah yang telah terbentuk tersebut.

Perluasan yang sama juga diarahkan untuk mendapatkan anggota jaringan baru dari organisasi perempuan lain yang sudah ada. Sehingga dibutuhkan berbagai bentuk kerjasama, sebelum organ tersebut mengenal dan masuk Jaringan. Dalam arti, dibutuhkan berbagai ajang-ajang politik bersama kelompok lain (dengan isu perempuan ataupun bukan) yang terus menerus diarahkan pada penerimaan program politik kita. Selain dalam kepentingan untuk bertambahnya anggota jaringan, ajang bersama atau persatuan-persatuan dalam platform minimal sekalipun (dalam bentuk agenda radikal ataupun moderat) tersebut akan terus mendorong maju gerakan perempuan, secara politik dan organisasi. Bahkan walaupun beda ideologi, bukan tidak mungkin kembali bisa dilakukan konsolidasi nasional perempuan oleh beragam organisasi perempuan, sebagaimana Kongres Wanita Indonesia pada masa sebelum Soeharto.

Kerja keras kaum perempuan progresif untuk mendorong maju gerakan dan kaum perempuan, yang akan menentukan kepemimpinan politik dan perluasan struktur dari organisasi kita, bahkan juga bagi gerakan demokratik. Situasi objektif sedang dan akan terus menyediakan potensi-potensi politik-organisasi. Kongres untuk membentuk ormas perempuan nasional, dengan keanggotaan organisasi yang luas dan massa besar, segera akan juga kita sanggup laksanakan, dengan sekali lagi: kerja keras.

*** Dokumen III Program dan Strategi Taktik Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006, “Program dan Strategi Taktik Perjuangan Perempuan” Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika.

[Dokumen Konfernas] Program dan Strategi Taktik  Perjuangan Perempuan***

I. Program

Tak mudah menjadi perempuan di Indonesia sebab perempuan di Indonesia tak berwajah tunggal. Contoh sederhana: di Eropa kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan dijamin. Implementasinya pun dilaksanakan tanpa perdebatan lagi yang mengganggu eksistensi perempuan. Tugas pemerintahlah yang selanjutnya menjaga dan menjamin implementasi kesetaraan hak tersebut dilaksanakan tanpa gangguan. Di Indonesia, walaupun emansipasi perempuan dan kesetaraan hak diakui, keberadaan perempuan di ruang dan waktu tertentu masih dianggap mengganggu moralitas masyarakat, termasuk oleh kaum perempuan sendiri. Dengan begitu dianggap juga sebagai ancaman bagi tegaknya bangunan Negara. Karenanya Pemerintah pun perlu dibebani tugas mengatur tubuh perempuan dalam ruang dan waktu tertentu dan menjaminnya agar tak menghancurkan bangunan Negara. Inilah kegelisahan dari sebagian masyarakat atas merebaknya "pornografi dan pornoaksi". Di sini, tubuh perempuan menjadi wilayah politik yang diperdebatkan. Untuk ini respon gerakan perempuan pun tak berwajah tunggal. Pro-kontra di antara kaum perempuan sendiri terjadi: tubuh perempuan siapakah yang berhak menentukan? aku, sang perempuan sendiri? Atau orang lain?

Wajah ganda perempuan ini telah lama beredar di masyarakat. Dalam masyarakat sendiri sudah beredar watak-watak ganda baik dan buruk dari kaum perempuan. Kita kenal dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih yang sekarang juga ditayangkan dalam bentuk sinetron. Pertentangan dua wajah ini hanya berakhir dengan kehadiran lelaki. Pilihannya pun tak jatuh pada moralitas Bawang Merah yang agresif, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya tapi justru pada moralitas Bawang Putih yang suka mengalah, jujur, tak melawan dan dianggap baik budinya itu. Cerita yang lain yang plotnya sama misalnya cerita Andhe-Andhe Lumut yang populer (baca: merakyat) karena disampaikan dalam bentuk lagu juga. Andhe-Andhe Lumut mengakhiri pertengkaran di kalangan perempuan dengan menerima lamaran Kleting Kuning. Lagi-lagi perempuan yang pintar bekerja dalam urusan rumah tangga, suka mengalah dan jujur dan halus pekertinya itu.

Dari sini dapat kita simpulkan ukuran-ukuran Baik, Buruk, Cantik, Jeleknya Perempuan diukur atas kesimpulan masyarakat tersebut atas nilai-nilai itu. Perempuan di Stereotipe-kan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat dalam ruang dan waktu yang berlaku.

Itulah norma masyarakat yang berlaku. Pandangan inipun sudah ditegaskan oleh Aristoteles:"Perempuan adalah perempuan dengan sifat khususnya yang kurang berkualitas…kita harus memandang sifat perempuan yang dimilikinya sebagai suatu ketidaksempurnaan alam." (Baca: Simone de Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, Cetakan pertama, Januari 2003, Pustaka Promethea, Surabaya;ix) Karenanya kehadiran lelaki menentukan dan memimpin moralitas yang dianut adalah keharusan. Inilah yang disebut Patriarkhi.

Di tengah pandangan-pandangan tersebut, tak heran bila dalam sosok perempuan kita selalu menemukan sifat-sifat yang ekstrem seperti istilah Orde Baru ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Perempuan bisa muncul dengan watak yang sejahat-jahatnya manusia di dunia dan juga sebaik-baiknya manusia di dunia dalam ruang dan waktu yang sama. Selain Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita lain misalnya, Sarpakenaka dan Dewi Sinta dalam cerita Ramayana. Dalam bentuk lain: Calon Arang yang kesaktian dan kejahatannya hanya bisa ditumpas oleh Empu Barada. Ada pula cerita-cerita lain yang berangkat dari khasanah sastra Melayu seperti yang dicatat Denys Lombard yaitu Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan dan Syair Yatim Nestapa. Tiga syair ini semuanya mengisahkan pengalaman-pengalaman pahit dan menyedihkan dari seorang wanita malang yang kena balas dendam seorang wanita saingannya yang iri dan kejam.

Untuk ini Denys Lombard menyatakan: "Jika tokoh-tokoh cerita itu dibandingkan dengan tokoh-tokoh pria dari cerita lain, kontrasnya sangat menonjol; tokoh-tokoh wanita yang ditampilkan bukanlah tokoh-tokoh yang patut diteladani, tetapi tokoh-tokoh yang sesungguhnya menakutkan. Walaupun dalam ketiga syair itu, wanita memegang peran utama, namun peran itu hampir tidak menguntungkannya. Mau tidak mau pembaca bingung menghadapi sifat ganda yang jadi atribut wanita itu, yaitu wanita sebagai orang jahat atau orang sengsara. Semua klise yang akan tampil kembali dalam novel dan cerpen modern sudah terdapat di situ. (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia, Gramedia Pustaka, Jakarta, Cetakan III Maret 2005; 203)

Wajah ganda itu pun meluas dalam gerakan perempuan di Indonesia saat ini. Pertama, mengemuka dalam pro kontra RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi dan Kedua pada Gerakan Kembali ke Rumah bagi ibu sebagai seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seruan ini sudah ditanggapi dan dipertanyakan Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah? sementara kesulitan ekonomi selalu menghantui. (baca: Santi Indra Astuti, Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah? Kompas, 11 Februari 2006) Nampaknya situasi ini tak akan pernah dapat dihilangkan. Hampir semua isu yang menyangkut perempuan di Indonesia selalu akan menampilkan wajah ganda. Situasi ini dimungkinkan sebab isu perempuan bergerak berbarengan dengan isu demokratisasi di segala bidang. Akibatnya terpaksa berhadapan dengan konservatisme. Konservatisme inilah benteng penaklukan cultural Orde Baru terhadap perempuan. Hal penting yang hendak ditanyakan di sini adalah sanggupkah gerakan perempuan menyatu dalam isu tunggal kesejahteraan rakyat dan menaklukan benteng cultural konservatisme? Bukankah ini PR kita yang pokok di tengah deraan neoliberalisme?

Secara ekonomi politik, Gerakan Kembali ke Rumah bagi Ibu (MUI) adalah pembenaran untuk mendomestifikasikan perempuan kembali kepada fungsi lamanya dalam masyarakat konservatif sebagai pekerja dapur, sumur, kasur atau dalam bahasa Jawa biasa disebut "Konco Wingking". Krisis ekonomi, memaksa semua orang, tidak terlepas apapun gendernya, kehilangan pekerjaan. Akan tetapi dalam hal ini, perempuan dianggap useless (tidak berguna) ketimbang buruh-buruh Pria. Meskipun, status pekerja buruh diganti dari buruh tetap menjadi buruh kontrak akan tetapi keterlibatan kaum perempuan dibatasi pada pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan murah gajinya (dan memang secara umum kapitalis merendahkan upah buruh). Dalam persoalan ini, seluruh perangkat-perangkat kekuasaan Borjuasi diupayakan untuk memberikan pembenaran-pembenaran sosial dan budaya.

Begitupun dalam kasus RUU Pornografi dan Porno Aksi. Jika dinilai dari karakternya, pelarangan ini justru tidak menguntungkan bagi iklim neoliberalisme. Sebab, sekecil apapun segala hal yang berkaitan dengan komoditi (perempuan sering dijadikan komoditi oleh Kapitalisme) baik yang bertentangan dengan norma-norma ataupun tidak selama menguntungkan bagi akumulasi kapital akan secara gigih di upayakan oleh Kapitalisme untuk memenangkannya. Tetapi, dalam kasus ini, bukan berarti karakter RUU Pornografi dan Porno aksi merugikan bagi kapitalisme dan berpihak bagi pembebasan perempuan. Justru karakternya tetap dalam bingkai Kapitalisme-Neoliberalisme yang dibungkus dengan kemunafikkan religiusitas dan budaya Patriarkhi. RUU Pornografi dan Porno aksi yang banyak didukung oleh Partai-Partai Islam Tradisional, sesungguhnya, secara ekonomi politik, berupaya membangun budaya konservatisme yang menguntungkan bagi pembangunan Kapitalisme yang bercorak religiusitas. Dalam persoalan ini, Kaum Perempuan yang tercerahkan, harus menjelaskan bahwa duduk persoalannya bukanlah pada pengaturan kebebasan berekspresi kaum perempuan tetapi kepada kesempatan kerja seluas-luasnya kepada perempuan dan peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat miskin. Itulah permasalah pokok perempuan saat ini. Dan, dengan tercukupinya seluruh komponen penting dalam peningkatan kualitas tenaga produktif dari kaum perempuan maka justru akan semakin kuat pondasi bangsa ini. Sebab, tidak akan ada anak-anak yang sehat, kuat dan cerdas jika kualitas pendidikan rendah serta jumlah kematian ibu dan persoalan gizi buruk sangat tinggi. Disitulah pokok persoalannya.

Lagi, sejarah penindasan perempuan sebenarnya bukanlah hanya sejarah penyingkiran tapi penaklukan. Begitulah juga di Indonesia, penaklukan perempuan dilakukan dengan keji dan brutal. Catatan-catatan untuk ini pun sudah banyak. Yang cukup lengkap dan fokus misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, terbitan Garba Budaya, Jakarta. Dengan membaca buku ini saja, kita bisa memahami bahwa pembangunan gerakan ormas perempuan sekarang ini berdiri di atas puing-puing gerakan perempuan pasca kemenangan Orde Baru. Kerusakannya yang parah hampir tak terbayangkan bagi seorang idealis bagaimana mesti memulai membangun gerakan perempuan di Indonesia. Yang ada konservatisme meluas: Dharma Wanita, PKK…Perempuan dipaksa tampil sebagaimana konsepsi patriarkhal: lembut, malu-malu, manja, tak agresif… tak melek urusan machoisme: seperti politik dan kekuasaan.

Penaklukan gerakan perempuan ini menjadi bukti historis yang nyata bahwa Militerisme di Indonesia menghantam kaum perempuan dan gerakannya. Tidak hanya tragedi penghancuran gerakan perempuan di tahun 1965 yang menjadi bukti kejahatan militer terhadap kaum perempuan. Pemerkosaan terhadap kaum perempuan di Timor-timur, Aceh, Papua, Ambon adalah sederetan penindasan militerisme terhadap kaum perempuan. Persoalan demokrasi ini berkelit kelindan dengan sisa-sisa Feudalisme dan kebijakan Neoliberalisme.

Penindasan melahirkan perlawanan. Begitulah sedikit demi sedikit, bersamaan dengan perlawanan rakyat: buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota, pekerja seni-budaya, kaum perempuan yang tak absent dalam perlawanan rakyat itu mulai merumuskan peranannya dalam gerakan perlawanan rakyat, demokratisasi dan tentu pembebasan dirinya. LSM-LSM perempuan didirikan. Isu-isu pembebasan perempuan mulai berhembus. Peluang itu makin membesar pasca keberhasilan gerakan rakyat Mei 1998 memaksa diktator Soeharto mundur. Kita catat: demokrasi melapangkan jalan: Organisasi perempuan pun semakin menemukan jalan. Tak dapat ditolak. Akan tumbuh dan membesar. Kita mencatat: pertemuan, Aksi, konfrensi, dan festival-festival untuk kampanye pembebasan perempuan mulai marak. 8 Maret tak pernah ditinggalkan sebagai ajang pembebasan perempuan. Kaum perempuan pun mulai menyadari betapa penting mengambil posisi pengambil keputusan: parlemen. Quota perempuan pun dituntut. Dengan begitu politik tak lagi asing di telinga perempuan. Ini berarti kesadaran baru: hanya dengan terlibat merebut kekuasaanlah, kaum perempuan akan terbebaskan. Tetapi ini saja belum cukup untuk merebut kemenangan.

Untuk ini kita dihadapkan pada realitas gerakan rakyat umumnya dan gerakan perempuan khususnya. Terhenyak dan sadar bahwa gerakan masih kecil, fragmentatif, tak meluas dan membesar. Problem-problem inilah yang harus dijawab segera dan dicarikan jalan keluarnya. Program dan strategi taktik yang tepat di tengah situasi riil gerakan yang berjalan adalah kuncinya.

Dari diskusi-diskusi yang berjalan dapatlah dirumuskan belenggu-belenggu penindasan perempuan: Neoliberalisme, Militerisme dan sisa-sisa Feodalisme (dalam lapangan budaya). Karenanya TIDAK ADA PEMBEBASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN DI INDONESIA TANPA MENGHANCURKAN IMPERIALISME/NEOLIBERALISME, MILITERISME DAN PATRIARKI (lihat lampiran V). Dan hal tersebut hanya dapat dicapai apabila seluruh gerakan perempuan terlibat aktif dan konsisten dalam upaya bersama untuk menuntaskan agenda-agenda demokrasi dan kesejahteraan melawan neoliberalisme.

Semakin terbukanya ruang demokrasi (Democratic Space), maka propaganda untuk menuntut persoalan kesejahteraan dan mengikis belenggu budaya konservatisme Orde Baru serta membangun embrio-embrio Pemerintahan Persatuan Rakyat akan semakin kongkret. Dan secara lebih nyata, penuntasan Revolusi Demokratik melalui terbangunnya Pemerintahan Persatuan Rakyat akan dapat mengeluarkan perempuan dari belenggu penindasan Neoliberal, Militerisme, dan belenggu budaya konservatisme (Sisa-sisa Feudalisme).
Karena itu juga program-program yang dapat menghancurkan belenggu-belenggu itulah yang harus diajukan-dituntut. Program-program ini juga bisa dijadikan platform kerja bersama dengan kelompok lain. Antara lain:

1. Menolak UU Perkawinan No. 1/1974

* Undang-Undang ini berwatak patriarkhis (lihat pasal 3,4, 5 tentang hak suami berpoligami sementara perempuan tidak; pasal 31 ayat 3 tentang suami sebagai kepala rumah tangga dan ibu dengan tugas-tugas domestik) dalam hal lain undang-undang ini juga tidak demokratis: pasal 1 mengakibatkan tidak sahnya perkawinan sejenis.

2. Menolak RUU Pornografi dan Porno aksi

* Undang-undang ini berkecenderuangan mengatur wilayah privat, penyeragaman budaya, memasung kreativitas seni, dan lagi-lagi mempersalahkan tubuh perempuan.

3. Menolak Kriminalisasi pelacuran

* Pelacuran adalah penyakit sosial yakni akibat dari sistem ekonomi politik yang tak adil. Sistem yang kriminal inilah yang seharusnya diperangi, bukan pelacurnya (yang seringkali juga di tengah masyarakat patriarkhis kaum perempuan yang menjadi korban).

4. Menolak poligami yang secara jelas merendahkan kaum perempuan

* Di tengah masyarakat patriarkhis, tak adanya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, poligami harus ditolak sebab keberadaanya akan semakin merendahkan kaum perempuan. Ini berkaitan juga dengan keberadaan UU Perkawinan No 1/1974.

5. Menolak segala bentuk eksploitasi terhadap kaum perempuan

* Segala bentuk eksploitasi terhadap kaum perempuan harus ditolak: trafiking (perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak), serta kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan ini merendahkan martabat perempuan.

6. Menolak militerisme

* Militerisme adalah sistem kenegaraan ketika militer mendominasi kehidupan sipil. Di tengah masyarakat yang patriarkhis, kaum perempuan akan semakin menderita akibat ekses dari militerisme: di samping demokrasi yang dilenyapkan, perempuan seringkali menjadi korban perkosaan. Karena itu kaum sebagai bentuk penolakan terhadap militerisme, maka perempuan berkepentingan untuk menuntut: Pembubaran Komando Teritorial TNI, termasuk di sini Babinsa yang menghambat kemajuan demokrasi. Lembaga Koter selama ini, apalagi pada masa Orde Baru terbukti telah menjadi mesin penghancur demokrasi. Tak terbilang korban-korbannya. Mempertahankan lembaga Koter sama artinya meletakan bom waktu bagi demokrasi, dan pemborosan yang luar biasa dari APBN apapun dalihnya. Mau dalihnya untuk pemberantasan terorisme, menjaga stabilitas, membasmi kekuatan ekstrim kiri dan ekstrim kanan dan ekstrim-ekstrim lainnya Koter terbukti merusak demokrasi karena wataknya yang ekstra yudisial dan latar belakang masih dominannya jenderal-jenderal TNI yang gemar berpolitik. Dibawah pemerintahan SBY-Kalla jumlah Komando Teritorial justru semakin bertambah.

7. Menolak program liberalisasi pasar, privatisasi asset negara dan pembayaran utang luar negeri

* Pasca perang dingin, neoliberalisme telah dijadikan jalan keluar kapitalisme dari krisis. Ini tentu bukan jalan keluar rakyat dari krisis hidup yang dihadapi tapi justru semakin memperparah kemiskinan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia sendiri: SBY-Kalla adalah pendukung proyek neoliberalisme atau liberalisasi pasar ini. Kemiskinan ini semakin dirasakan oleh rakyat Indonesia yang terus dipaksa menelan pil-pil pahit neoliberalisme melalui program privatisasi (swastanisasi) seperti air, pendidikan, kesehatan, BUMN-BUMN. Tindakan ini berarti menstabilkan atau mengembalikan tingkat kesejahteraan kaum kapitalis yang dilanda krisis dan di pihak lain mencabuti kesejahteraan rakyat yang selama ini telah diperoleh termasuk melalui subsidi.

* Penyelamatan aset-aset nasional dari program privatisasi BUMN dan liberalisasi aset-aset ekonomi strategis lainnya (air, migas, listrik, rumah sakit, universitas dan sebagainya) dari Pemerintahan SBY-Kalla. Program ini terbukti merugikan adanya. Apalagi tak seperti yang digembar-gemborkan para penganjur privatisasi bahwa selama ini BUMN membebani Negara, ternyata BUMN-BUMN yang dijual adalah BUMN-BUMN yang justru mendapat laba usaha yang besar. Selain itu privatisasi juga menjauhkan akses rakyat terhadap barang-barang kebutuhan dan jasa yang pokok karena setelah diprivatisasi pemilik modalnya, yang kebanyakan asing demi mengeruk laba yang sebesar-besarnya terus menaikan harga jual produknya. Karenanya kaum perempuan juga harus menolak privatisasi asset Negara.

* Penghapusan hutang luar negeri dan penarikan kembali obligasi rekapitalisasi perbankan. Dua komponen pembiayaan dari APBN ini adalah sumber pemborosan anggaran yang terbesar dan karenanya menghambat potensi anggaran bagi program industrialisasi nasional dan dalam memassalkan dan mengratiskan program-program untuk pembentukan modal sosial --seperti pendidikan, kesehatan-- yang menjadi penunjangnya. Dalam tahun anggaran 2006 ini saja dana APBN yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga dari hutang luar negeri mencapai 25% dari total pendapatan dari APBN. Jika ditambahkan dengan beban pembayaran bunga obligasi total beban hutang yang harus dibayar dari APBN mencapai sekitar 200 triliun, lebih dari 30% dari total pembiayaan APBN. Selain itu beban hutang ini juga bersifat merampok uang rakyat karena manfaat dari hutang luar negeri sebagian besar hanya dinikmati oleh negeri-negeri kreditur dan kaum kapitalisnya, serta minoritas kaum kapitalis birokrat dan kroninya dari pemegang kekuasaan di Indonesia yang menjadi pemasok dan kontraktor dari proyek-proyek yang dibiayai dari hutang luar negeri. Sementara itu dana dan bunga obligasi rekapitalisasi perbankan tidak lain dan tidak bukan merupakan subsidi yang dinikmati para bankir, yang kebanyakan juga banker-bankir asing seperti Temasek, Farallon, dan sejenisnya. Praktek ini telah berlangsung selama puluhan tahun sejak berdirinya Orde Baru, dan akan terus membebani rakyat selama puluhan tahun ke depan tanpa keberanian untuk memperjuangkan penghapusannya.

8. Menuntut Lapangan Pekerjaan

* Semakin luas akses kaum perempuan terhadap pekerjaan-pekerjaan produktif, dan pekerjaan-pekerjaan ‘non-tradisional’ serta melalui sosialisasi pekerjaan-pekerjaan domestik, semakin mudah untuk mengkondisikan (menciptakan syarat-syarat) kaum perempuan mengatasi kebiasaan yang menindas. Kapitalisme dalam upaya akumulasi kapitalnya membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh akses terhadap pekerjaan, namun karakter eksploitatifnya justru menghancurkan tenaga produktif kaum perempuan, ditambah lagi dengan paket kebijakan neoliberalisme saat ini yang menghancurkan kesempatan kaum perempuan memperoleh pekerjaan.

* Adalah keliru jika pembukaan lapangan kerja mengandalkan pada investor asing dan swasta dalam negeri. Hal ini terbukti rentan terhadap gejolak ekonomi ditingkat global dan mengorbankan hak-hak buruh sebagai cara untuk menarik investor asing. Sumber-sumber ekonomi dan capital strategis yang dikuasai Negara harus diarahkan untuk mendirikan secara massal industri di dalam negeri. Pemerintah harus membangun, melindungi dan mengembangkan industri-industri dasar seperti baja, permesinan, kelistrikan, industri pertanian, farmasi, automotif, kereta api, perkapalan, telekomunikasi, optik. Tanpa hal ini adalah tidak masuk akal untuk mengatasi persoalan pengangguran kecuali jatuh pada program belas kasihan, populisme seperti BLT, padat karya bersih-bersih jalan dan selokan yang tidak menguatkan tenaga produktif dalam negeri dan memboroskan anggaran Negara.

9. Menuntut Perumahan Murah

* Sekarang ini, terutama di kampung-kampung kumuh kota-kota besar, selalu ada ancaman penggusuran, tinggal menunggu waktu saja. Pembangunan modern (yang tidak memperhatikan rakyat miskin) selalu pertama-tama menggusur tempat tinggal rakyat miskin. Kita tahu bahwa PEMDA beserta pemerintah pusat telah bersepakat dengan lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan asing (IMF dan Bank Dunia) untuk melaksanakan kebijakan KOTA TANPA PEMUKIMAN KUMUH (city Without Slum). Dimana dalam prakteknya, tidak boleh ada lagi pemukiman-pemukiman kumuh di kota-kota besar di Indonesia. Karena itu, apalagi ada ancaman sewaktu-waktu ada penggusuran (melalui Perpres No. 36 Th, 2005), maka kita wajib menuntut Perumahan Murah (rumah susun harus ditambah) dan jaminan hukum dapat bertempat tinggal dimanapun di Indonesia.

10. Menuntut kepada negara untuk diberikannya jaminan kepada pekerja perempuan paruh waktu mendapatkan upah yang sama seperti full timer (bekerja penuh) untuk setiap jamnya

* Bagaimanapun negara seharusnya menyediakan lapangan kerja yang layak bagi warganya. Perempuan yang bekerja paruh waktu juga harus dianggap bekerja penuh sebab di rumah ia juga melakukan kerja-kerja domestik.

11. Menuntut kepada negara untuk memberikan jaminan bagi setiap pekerja perempuan yang sedang melakukan cuti pemeliharaan anak tetap diberikan upah penuh selama masa cuti

* Tentu ini penting bagi kesehatan Ibu dan anak. Ibu yang cuti untuk pemeliharaan anak ini juga harus dianggap bekerja karena berhak mendapatkan upah penuh selama cuti. Ini juga sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003.

12. Menuntut kepada negara untuk jaminan bagi setiap pekerja perempuan untuk mendapatkan upah penuh meskipun sedang dalam kondisi cuti hamil/haid

* Cuti baik itu haid (2 hari), hamil, dan melahirkan bagi pekerja perempuan bukan merupakan absen. Karenanya upah yang berlaku harus tetap dibayarkan kepada pekerja, karena merupakan hak mereka. Ini juga sudah diatur dalam Undang-undang ketenagakerjaan Tahun 2003 ini.

13.Menuntut kepada negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan gratis dan modern untuk ibu dan anak

* Karena masih tingginya angka kematian Ibu melahirkan, penyediaan fasilitas kesehatan gratis kepada ibu dan anak ini penting didesakkan.

14. Menuntut kepada negara atas kesetaraan pendidikan

* Di tengah masyarakat patriarkhis seringkali perempuan masih dinomorduakan terutama dalam masalah pendidikan. Karenanya negara harus menjamin kesetaraan pendidikan ini.

15. Menuntut pendidikan Gratis yang ilmiah dan demokratis

* Pendidikan dan Kesehatan Gratis untuk seluruh rakyat. Pendidikan gratis ini mencakup segala jenjang pendidikan. Program penggratisan pendidikan hingga SMP oleh Pemerintahan SBY-Kalla terbukti bohong dan tidak mengatasi persoalan. Faktanya sebagian besar TK, SD, dan SMP masih memungut biaya dari murid, dan program pendidikan gratis ini tidak mencakup keseluruhan biaya pendidikan (transportasi, buku-buku, asrama dan sebagainya). Selain itu lulusan SMP juga tidak memadai untuk terserap oleh lapangan industri dan tidak mampu menjadi dasar capital social yang kuat yang dapat menunjang program industrialisasi nasional.

*Demikian juga dengan program kesehatan gratis, semua golongan harus digratiskan dari biaya rawat inap, konsultasi dan jasa dokter atau medis, dan obat-obatannya. Program belas kasihan dengan dalih mengratiskan untuk yang miskin saja hanyalah menciptakan sumber penyelewengan dan korupsi baru. Ditengah standarisasi ukuran kemiskinan yang beraneka ragam dan sarat kepentingan politis adalah jauh lebih sulit menghitung jumlah orang miskin ketimbang orang kaya. Propaganda dari intelektual dan birokrat antek-antek imperialis yang menyatakan bahwa subsidi harus tepat sasaran adalah pura-pura tidak tahu persoalan dan menipu rakyat. Ada seribu macam instrument kebijakan yang dapat digunakan untuk menarik kembali subsidi yang jatuh pada golongan orang kaya ketimbang muluk-muluk menyatakan bahwa hanya untuk orang miskin -yang standar kemiskinannya telah direndahkan sedemikian rupa-- akan tetapi diselewengkan, dikorup. Sehingga yang terjadi adalah orang miskin justru dijadikan industri dan komoditi oleh segelintir kaum pemodal dan birokrat korup untuk berbagai macam program belas kasihan: BLT/SLT Bantuan Langsung Tunai/Subsidi Langsung Tunai), minyak tanah bersubsidi, solar bersubsidi, beras miskin/raskin dsb. Memassalkan, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menggratiskannya adalah mutlak perlu bagi keberhasilan program industrialisasi nasional.

16. Menuntut kepada negara untuk membangun fasilitas tempat-tempat penitipan anak yang gratis dan berkualitas

* Penitipan anak ini penting terutama bagi ibu yang bekerja.

17. Menuntut kepada negara untuk mengkriminalisasikan pelaku kekerasan dalam rumah tangga

* Kaum perempuan di tengah rumah tangga seringkali menjadi obyek kekerasan suami. Masyarakat tradisional yang patriarkhis masih sering menganggap persoalan ini sebagai urusan keluarga karenanya tak berhak ikut campur. Ini tak benar. Karena itu tindakan kekerasan dalam rumah tangga harus dicegah. Dengan sudah diundangkannya UU KDRT, pelaku kekerasan dalam rumah tangga sama dengan pelaku kriminal.

18. Menuntut kepada negara untuk memberikan jaminan kebebasan kepada kaum perempuan menentukan alat kontrasepsinya

* Jaminan kebebasan ini penting sebab kaum perempuanlah yang bersentuhan langsung dengan alat kontrasepsi. Karenanya informasi bahaya setiap alat kontrasepsi bagi tubuh perempuan harus tetap diberikan kepada kaum perempuan agar kaum perempuan dapat dengan bebas menentukan alat kontrasepsi yang mana yang aman bagi tubuhnya.

19. Mendukung dan menyerukan kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam perjuangan politik

* Di tengah masyarakat patriarkhis kaum perempuan dianggap sebagai warga kelas dua. Politik seringkali menjadi wilayah tabu bagi perempuan. Sementara sistem yang menindas perempuan adalah hasil kesepakatan politik. Karenanya seruan yang terus-menerus dan dukungan yang konsisten terhadap kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam perjuangan politik sangat penting dan ini akan mempercepat perjuangan pembebasan rakyat tertindas, termasuk perempuan.

20. Mendukung secara kritis penerapan kuota keterlibatan perempuan dalam jabatan-jabatan publik, sebagai salah satu cara memajukan perjuangan politik kaum perempuan

* Pada situasi tertentu, penerapan kuota keterlibatan perempuan dalam jabatan publik dapat dilakukan terlebih bila kebijakan ini dapat mendorong kemajuan perjuangan politik kaum perempuan.

21. Mendukung secara aktif terciptanya budaya ilmiah, demokratis dan setara

* Dukungan terhadap terciptanya budaya ilmiah, demokratis dan setara ini penting juga diberikan oleh kaum perempuan. Terlebih di tengah masyarakat patriarkhis yang masih sering menomorduakan perempuan. Kesetaraan laki dan perempuan harus terus dikampanyekan di forum-forum apa saja sehingga dapat mengikis budaya patriarkhis. Karenanya kegiatan-kegiatan kebudayaan ilmiah dan kerakyatan haruslah didukung. Tak boleh dilarang. Mendukung terciptanya Budaya yang ilmiah, demokratik, seperti adanya organisasi kebudayaan,kebebasan berpendapat,dll.

22. Mendukung perjuangan rakyat Palestina

* Dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina penting juga dilakukan oleh kaum perempuan. Di samping menunjukkan watak internasionalisnya, Isu Palestina seringkali di Indonesia menjadi isu sektarian agama tertentu. Karenanya kaum perempuan harus membongkarnya dan menjadikan persoalan rakyat yang sesungguhnya.

23. Membangun aliansi anti imperialisme. Menghancurkan penghalang bagi penuntasan Revolusi Demokratik di Indonesia: Pemerintahan Boneka Imperialis, Militer, Golkar, Reformis gadungan, Milisi Sipil Reaksioner

* Penindasan perempuan adalah juga disebabkan imperialisme yang kini berbaju neoliberalisme. Karenanya kaum perempuan juga harus terlibat aktif dalam aliansi anti imperialisme. Di samping itu kaum perempuan juga harus aktif dalam menuntaskan revolusi demokratik.

Organisasi perempuan yang akan kita bangun ini harus terlibat seaktif-aktifnya dalam upaya penuntasan Revolusi Demokratik, dengan mengupayakan integrasi semaksimal mungkin dengan kelompok-kelompok demokratik lainnya. Juga sebaliknya, dengan upaya tanpa ragu-ragu terus meyakinkan berbagai unsur dalam gerakan demokratik agar selalu memberikan dukungan dan solidaritas kepada perjuangan kaum perempuan, dalam bentuk apapun yang memungkinkan. Karena hanya dengan menggenapkan Revolusi Demokratiklah, kaum perempuan akan mendapatkan ruang politik yang jauh luas dan bebas, juga akses ekonomi yang relatif lebih baik, untuk memperjuangkan kesetaraan dan melenyapkan diskriminasi, baik diskriminasi gender, maupun kelas-kelas sosial.

24. Membangun Pemerintahan Persatuan Rakyat

* Kaum perempuan juga harus terlibat dalam menentukan bentuk pemerintahan agar dapat menjamin pembebasan perempuan dengan konsisten. Karenanya terlibat dengan sektor rakyat tertindas lainnya dalam membangun pemerintahan persatuan rakyat yang pro perempuan adalah penting dilakukan.

25. Menuntut kepada negara agar menjadikan 8 Maret sebagai hari peringatan Perempuan Internasional

* Tuntutan ini penting untuk diajukan sebagai tanda perjuangan pembebasan perempuan harus dilaksanakan dengan konsisten dan mendunia.

Agar dapat menjalankan keseluruhan program di atas, maka kerja Mendesak dari Perempuan Indonseia adalah Membangun Organisasi Payung Perempuan yang mewadahi organisasi-organisasi perempuan, seksi-seksi perempuan, kelompok-kelompok diskusi perempuan, LSM-LSM perempuan dll yang sepakat program dan strategi taktik tanpa meleburkan/membubarkan bentuk dan struktur organisasi-organisasi tersebut.

II. Strategi dan Taktik

Membangun Jaringan Nasional Perempuan Menuju Pembentukan Organisasi Payung Perempuan Indonesia

Organisasi perempuan yang akan kita bangun harus terlibat seaktif-aktifnya dalam upaya penuntasan Revolusi Demokratik, dengan mengupayakan integrasi semaksimal mungkin dengan kelompok-kelompok demokratik lainnya. Juga sebaliknya, dengan upaya tanpa ragu-ragu terus meyakinkan berbagai unsur dalam gerakan demokratik agar selalu memberikan dukungan dan solidaritas kepada perjuangan kaum perempuan, dalam bentuk apapun yang memungkinkan. Karena hanya dengan menggenapkan Revolusi Demokratiklah, kaum perempuan akan mendapatkan ruang politik yang jauh luas dan bebas, juga akses ekonomi yang relatif lebih baik, untuk memperjuangkan kesetaraan dan melenyapkan diskriminasi, baik diskriminasi gender, maupun kelas-kelas sosial.

Dengan begitu keterlibatan kaum perempuan mempertahankan ruang demokrasi dan terlibat dalam penuntasan revolusi demokratik adalah mutlak dan tak bisa ditunda-tunda. Hanya dengan jalan ini peluang pembebasan perempuan dapat terwujud sepenuhnya. Langkah-langkah sektarian yaitu cuma bergerak di seputar isu perempuan haruslah ditinggalkan dan dikritik. Justru perempuan harus memassifkan diri dalam pengorganisiran sektoral tempat kaum perempuan mengalami multi penindasan. Dari persoalan-persoalan perempuan yang konkrit di bidang ekonomi (akibat serangan neoliberalisme) terutama, pewadahan-pewadahan untuk perjuangan perempuan terus dilakukan. Wadah-wadah perjuangan perempuan ini terus disatukan baik di tingkat daerah maupun nasional. Inilah jawaban dari kesimpulan bahwa gerakan perempuan yang tak meluas. Dengan kata lain belum menjadi gerakan yang signifikan dibandingkan dengan gerakan-gerakan rakyat demokratik lainnya itu.

Karenanya taktik untuk meluaskan organisasi dan agitasi propaganda pembebasan perempuan inilah yang pertama-tama harus dicari. Dalam konfrensi perempuan lalu, sudah ditegaskan bahwa langkah mula pembangunan ormas perempuan ini adalah pembangunan seksi-seksi perempuan di ormas-ormas. Tapi kerja ini belum maksimal. Ini yang harus dievaluasi dan ditegaskan ulang, termasuk bentuk dan mekanisme kerjanya seperti apakah perlu dibentuk badan kerja harian Pokja Perempuan Mahardika di tingkat nasional dengan fungsi juru bicara, perluasan dan agitasi propaganda. Agar lebih kongkrit bentuk dan struktur kerjanya maka pembangunan Jaringan Nasional merupakan syarat utama menuju kongres perempuan yang akan melahirkan sebuah organisasi payung perempuan. Jaringan nasional ini (bisa tetap menggunakan POKJA MAHARDIKA) memiliki fungsi mengkoordinasikan seluruh seksi-seksi perempuan dari ormas-ormas yang selama ini menjadi tulang punggung Pokja Mahardika, kelempok-kelompok diskusi perempuan dll dan juga membangun organisasi-organisasi perempuan baik berbasiskan sektor atau teritorial. Pewadahan dalam berbagai bentuk itu bisa dikerjakan oleh ormas dengan menfasilitasi sekratriat atau posko Pokja Mahardika. Ormas harus mendorong kaum perempuan memasuki wadah-wadah yang sudah ada atau membangun wadah baru dengan cara semassal mungkin. Misalnya dengan menyebarkan formulir terbuka untuk menjadi anggota Pokja dll.

Kerja penting lainnya adalah mengambil peluang-peluang politik yang ada (berkampanye secara legal atas nama jaringan tersebut dll), baik atas nama jaringan ataupun front. Menjadi penting kerja mempopulerkan Jaringan Nasional ini agar dapat segera mendorong terbentuknya organisasi-organisasi perempuan baik secara sektoral maupun teritorial sekaligus mempropagandakan problem-problem perempuan Indonesia berikut jalan keluarnya.

Pada kesimpulan gerakan, secara umum kita ketahui bahwa saat ini gerakan (secara umum) masih Kecil, Fragmentatif, belum meluas. Dalam hal karakter, masih di dominasi oleh karakter reformisme-moderat. Belum memiliki karakter klas yang kongkret. Padahal untuk menuntaskan revolusi demokratik dan membebaskan kaum perempuan dari ketertindasannya Gerakan haruslah Besar, Kuat, Bersatu, Luas dan memiliki Karakter Perjuangan Klas. Dan situasi saat ini belum sampai pada cita-cita tersebut. Disisi lain investasi politik massa dengan bentuk aksi politik dan ekonomis adalah kemajuan yang harus dihargai. Tetapi, capaian tersebut belum bisa membawa kemenangan yang utuh bagi pembebasan rakyat. Malah, aksi-aksi spontan yang fragmentatif itu kemudian dimanfaatkan oleh elit-elit borjuis untuk menebarkan topeng populisme kepada massa. Yang selanjutnya kembali rakyat ditinggalkan dan mereka (elit borjuasi) kembali menyandarkan diri pada kekuatan lama orde baru dan kapitalisme internasional. Terus menindas rakyat dan kaum perempuan dengan kebijakan-kebijakan ekonomi pro pasar. Janji penerapan kebijakan ekonomi pro publik hanyalah topeng yang menjurumuskan rakyat. Terilusinya rakyat oleh kampanye sok populis dari elit borjuis ini adalah satu poin kekalahan telak bagi kekuatan demokratik sebagai kekuatan alternatif. Jadi, Persoalan gerakan ini juga merupakan persoalan bagi perempuan dan gerakannya.

Dalam pendiskusian Strategi dan Taktik ini, secara khusus kita berbicara bagaimana agar Program-Program Penuntasan Revolusi Demokratik bisa secara cepat, massif dan luas diterima oleh seluruh rakyat tertindas dan diikuti oleh mereka. Pertanyaan yang patut dilontarkan adalah metoda apa yang paling tepat untuk mempercepat perluasan propaganda program-program mendesak revolusi demokratik kepada rakyat dan bagaimana metoda paling cepat untuk memperluas struktur gerakan dengan kondisi kesadaran massa yang masih rendah ini. Atau dalam bahasa Pejabat Kuba bagaimana jalan paling cepat, masuk dalam kekuasaan dan leluasa berbicara program dihadapan rakyat, no matter it's takes.

Atas kondisi liberalisme saat ini, baik liberalisme dalam lapangan ekonomi, politik dan budaya. Jalan paling cerdik, dengan kelemahan gerakan saat ini, adalah memanfaatkan situasi liberalisme untuk memperluas sekoci-sekoci/kantong-kantong perlawanan demi penuntasan revolusi demokratik. Dan gerakan, tidak boleh lagi menelan pil pahit dengan dicurinya sentimen alternatif oleh SBY-Kalla dalam pemilu 2004 lalu. Gerakan, harus sesegera mungkin bersatu dan menjadi satu-satunya alternatif di mata kaum perempuan dan rakyat tertindas lainnya. Jika tidak, maka itu merupakan pukulan telak bagi gerakan.

Lalu, bagaimana caranya? Dengan kondisi saat ini, pilihannya hanyalah mau atau tidak, berani atau tidak gerakan untuk masuk ke dalam kekuasaan (no matter it's takes) bahkan memenangkan kekuasaan melalui persatuan gerakan rakyat merespon sistem politik liberal, pemilu 2009. Untuk mempermudah Propaganda Program, untuk memperluas Radikalisasi, untuk memperluas struktur gerakan, untuk menyatukan (kohesifitas) gerakan dan untuk memperluas ruang-ruang demokrasi (Demokratic Space) demi penuntasan Revolusi Demokratik.

Dan Kaum Perempuan dan Gerakannya. Demi penuntasan demokratik haruslah semaksimal-maksimalnya bersatu dan mendukung persatuan gerakan ini. Sebab persatuan adalah basis bagi Pemerintahan Persatuan Rakyat yang mampu menjalankan program-program pembebasan perempuan.

Taktik politik ini hanya dapat dijalankan apabila Gerakan Rakyat dan Perempuan secara konsisten menjalankan prinsip 3 tugas mendesak:

Kampanye dan Front:
Bersama dengan gerakan demokratik lainnya melakukan konsolidasi dan penyisiran kelompok demokratik, Individu Progressif yang bersepakat dengan program dan stratak mendesak ini untuk selanjutnya diarahkan membangun Partai front. Membangun front-front lainnya untuk mewadahi dan mengolah kelompok-kelompok demokratik yang mau bergerak tetapi belum sepenuhnya bersepakat atas program dan stratak yang kita tawarkan., Bersama dengan gerakan rakyat dan atau mandiri melakukan kampanye program-program minimum revolusi demokratik dengan bentuk Konferensi Pers, Safari Politik. Membangun Panggung-Panggung di semua level (Nasional hingga Basis) yang dihadiri oleh ribuan orang agar terkampanyekan secara luas perihal persoalan kontekstual saat ini dan jalan keluar yang kita tawarkan.

Radikalisasi:
Bersama-sama dengan Front Persatuan yang terbentuk melakukan respon politik atas berbagai kasus baik problem perempuan, problem kesejahteraan, persoalan Aceh, Papua, Poso dan Ambon. Melakukan aksi-aksi terjadwal tingkat Wilayah, Kota dan Kelurahan baik atas nama Front Persatuan maupun atas nama Pokja Mahardika. Melakukan respon-respon politik atas persoalan-persoalan kesejahteran yang muncul. Membuat panggung-panggung budaya untuk mengkampanyekan program dan stratak mendesak saat ini.

Perluasan Struktur:
Melalui Persatuan yang ada ataupun sendiri membangun kelompok diskusi dan komite-komite perempuan baik di kalangan perkampungan buruh, kalangan mahasiswa, perkampungan kumuh perkotaan hingga ibu-ibu pedesaan. Memperluas struktur ke berbagai teritori (Provinsi, Kota, Kecamatan dan Kelurahan) yang belum masuk dalam struktur gerakan untuk membangun struktur gerakan perempuan dan struktur Partai Front sebagai wadah politik bersama. Kerja perluasan tersebut adalah membangun wadah-wadah dan membangun sekretariat-sekretariat sebagai tempat berkumpul, berdiskusi massa yang bersepakat dengan program dan stratak kita.

Pembangunan wadah dapat dilakukan sefleksible mungkin demi kepentingan mengolah massa. Bisa dengan bentuk kelompok latihan bela diri untuk kaum perempuan, kesenian, kelompok diskusi dan berbagai jenis ketrampilan misal jahit-menjahit, bahkan kelompok arisan.

*** Dokumen III Program dan Strategi Taktik Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006, “Program dan Strategi Taktik Perjuangan Perempuan” Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika.

07 November 2008

Aksi ABM: Pemerintahan SBY-Kalla Gagal Mensejahterkan Kaum Buruh



Jakarta (6/11), “Pemerintahan SBY-Kalla Gagal, Jalan Kapitalisme Sudah Gagal Sebagai Jalan Kesejahteraan” begitulah propaganda aksi yang baru saja dilakukan oleh Aliansi Buruh Menggugat (ABM) pada hari ini.

Lima ratusan massa ABM melakukan aksi menuntut agar pemerintah SBY-Kalla segera mencabut SKB 4 Menteri (Menteri Tenaga Kerja, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri) karena SKB tersebut jelas-jelas semakin memperparah kondisi buruh di Indonesia.

Alasan pemerintah menerbitkan SKB tersebut adalah untuk melindungi kaum buruh dibantah oleh Koordinator Aliansi Buruh Menggugat, Sastro. Menurutnya justru dengan adanya SKB tersebut pemerintah lepas tangan dalam memberikan perlindungan terhadap kaum buruh khususnya dalam hal upah. SKB 4 Menteri justru berpihak dan melindungi para penguasa atau pemilik modal.

Di lokasi aksi Budi Wardoyo (Yoyok) salah satu pengurus DPN ABM juga mengemukakan bahwa SKB 4 Menteri tidak menyelesaikan problem krisis keuangan, justru semakin menekan daya beli masyarakat. Untuk menyelesaikan persoalan krisis tidak bisa melalui resep kapitalisme, tetapi harus dengan membangun industri nasional di bawah kontrol rakyat yang berarti penyitaan atau nasionalisasi terhadap asset-aset yang penting dan tidak mungkin dilakukan oleh pemerintahan SBY-Kalla, elit politik dan partai politik yang ada saat ini makanya harus ada segera pergantian kekuasaan dari persatuan gerakan rakyat yang memiliki perspektif anti kapitalis, non kooptasi dan non kooperasi dengan elit dan partai politik saat ini.

Aksi ABM dimulai pada pukul 10.00 di kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, disana ABM meminta pertanggungjawaban Menaker, tetapi setelah dua jam Menaker tidak juga keluar. Aksi di Depnakertrans ini dijaga ketat oleh aparat kepolisian. Pukul 12.00 massa aksi konvoi menuju kantor BUMN, aksi berjalan selama 14 menit kemudian berlanjut ke Istana Negara.

Sebelum sampai di Istana, tepatnya di depan kantor Menkokesra massa aksi ABM dihadang oleh ratusan aparat kepolisian, mereka tidak diperbolehkan untuk aksi di depan Istana Negara. Dipimpin oleh Korlap Aksi John dari FPBJ massa aksi bergerak perlahan menuju kantor kepresidenan.

Aparat polisi tidak mau kalah mereka tetap saja memblokade lokasi aksi, karena tidak menemukan titik temu antara ABM dan aparat polisi, maka massa aksi bergerak meninggalkan istana. Ketika sedang terjadi negosiasi, pihak polisi mendorong massa aksi sehingga ada yang terjatuh. Massa ABM tidak menerima perlakukan polisi kemudian melakukan perlawanan sehingga kemudian sempat terjadi bentrokan.

Aksi diakhiri dengan konfrensi pers yang mengecam tindakan represi aparat dan ABM akan memproses lewat jalur hukum. (VV)

29 Oktober 2008

Aksi: Tolak RUU Pornografi


Jakarta (23/10). Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RUU Pornografi -- Aliansi Masyarakat Sipil Menolak RUU Pornografi adalah sebuah aliansi yang diinisiasi oleh LSM/Ormas Perempuan yang melibatkan LSM/organisasi pro demokrasi lainnya-- menggelar aksi menolak RUU Pronografi yang saat ini sedang menjadi agenda pembahasan di DPR RI. Penolakan terhadap RUU Pornografi—yang sebelumnya bernama RUU APP—yang sudah berlangsung selama empat tahun tidak membuahkan hasil karena DPR RI tetap bersikukuh untuk mensahkan ruu tersebut.

Landasan utama penolakan ruu ini adalah karena walaupun sudah banyak mengalami perubahan tetapi tetap saja secara substansial masih mendiskriditkan perempuan. Pasal yang sangat krusial adalah pasal mengenai definisi pornografi itu sendiri definisi pornografi adalah “materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Jika pasal ini masih dipertahankan ditengah situasi masih kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat maka terjadi adalah penyensoran terhadap tubuh perempuan dan mengkriminalkan banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersila dan dihiburan malam.

Aksi yang diikuti oleh 300 massa aksi bergerak dari Halte Taman Ria Senayan pada pukul 13.30 WIB tiba di depan gedung DPR RI pukul 14.00, dipimpin oleh Korlap Aksi Vivi Widyawati, massa aksi dengan semangat menyuarakan penolakan terhadap RUU Pornografi. Aksi berlangsung selama dua jam walaupun hujan mengguyur tetapi massa aksi tetap tertib sampai dengan berakhirnya aksi jam tiga sore.

Sementara itu konstalasi di DPR tidak mengalami perubahan partai-partai pendukung RUU Pornografi seperti: Partai Golkar, PKS, PPP, PBR, PAN, PBB, Partai Demokrat tak bergeming walaupun penolakan terhadap ruu ini sudah meluas sampai ke daerah-daerah. Pemerintah SBY-Kalla juga mendukung pengesahan RUU Pornografi ini tanpa mau mendengarkan aspirasi dari kelompok yang menolak pengesahannya.(VV)