PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

06 September 2009

Namaku Surti

KOMPAS, OASE, Jumat, 31 Juli 2009 | 14:39 WIB

Cerpen Dian Septi Trisnanti

Namaku Surti. Surti, itu saja. Nama lengkapku ya, Surti, sampai ketika aku nikah dengan mas Joko Susilo. Ya, hari ini nama lengkapku menjadi Surti Susilo atau bisa juga dipanggil Ny. Susilo. Aneh, namaku menjadi Ny. Susilo, ke mana perginya Surti?

Namaku Surti, usiaku 16 th. Mungkin bagi kalian, usiaku masih terlalu dini untuk menikah, tapi di kampungku, di pelosok kota Jogja, usiaku merupakan usia yang sudah pantas untuk membentuk keluarga. Kata ibuku, sebagai anak perempuan, aku harus segera mempunyai suami sehingga hidupku terjamin, sampai nantinya aku akan melahirkan seorang anak untuknya, meneruskan keturunan keluarga besar Susilo, tuan tanah di desaku.

Ibuku bilang aku adalah orang paling beruntung di desa karena dipersunting oleh orang kaya lagi terhormat. Di pikiranku terbayang sebuah pernikahan yang bahagia, suatu babak hidup yang baru, lembaran baru dan keluarga baru, keluarga besar Susilo. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku. Malam ini pula, aku menunggu suamiku membuka pintu kamarku yang sampai sekarang masih tertutup. Beberapa saat kemudian, bunyi pintu kamar yang terkuak menggugah lamunanku. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku, kulihat sosok lelaki merengkuhku, merenggut kesucianku yang memang kusediakan untuknya, suamiku.

Namaku Surti, ah bukan, Ny. Susilo. Kemanakah Surti? tiba-tiba aku harus menyandang nama lain yang asing sama sekali bagiku. Kata Ibuku, nama itu cocok kusandang. Namaku Ny. Susilo, usiaku sekarang 21 tahun dan aku belum melahirkan seorang anakpun bagi suamiku. Aku melihat ibu mertuaku sering menatap tajam ke arahku, mulutnya nyinyir, mengeluarkan kotoran kemana ia suka, mengeluarkan bau busuk dimanapun ia berada, di ruang tamu, di dapur, di kamar, di WC, bahkan di rumah tetangga. Bau busuk, hanya itulah yang keluar dari mulutnya dan aku tetap diam, begitu juga suamiku. Suamiku bahkan mulai jarang pulang, bukan aku tidak tahu, kemana ia pergi. Ke kompleks pelacuran, itulah tempat yang paling ia suka.

04 September 2009

Women's Liberation and the Struggle for Socialist Politics in Indonesia

By Sam King

The National Network for Women’s Liberation (Jaringan Nasional Perempuan Mahardika - JNPM) is an Indonesian women’s liberation organisation consisting of local women’s committees, coordinating bodies and women’s sections of labour, student, peasant and urban poor organisations committed to the liberation of women. JNPM aims to develop direct involvement of women in struggling against capitalism, patriarchal culture and militarism in Indonesia and argues there can be no separation between the generalised struggle of Indonesia’s majority poor population and the struggle for women’s liberation. On August 22 Direct Action interviewed JNPM national coordinator Vivi Widyawati, who will be in Australia in September and October speaking at public meetings organised by Direct Action. Widyawati is also an activist in the Committee for the Politics of the Poor-People’s Democratic Party (KPRM-PRD), a socialist party formed two years ago by expelled members of the leftist PRD.

What are the main campaigns JNPM has focused on since it was founded?

Since its foundation there have been many actions undertaken by JNPM such as organising rallies every March 8 for International Women’s Day, developing a program of feminist education, and publishing the fortnightly bulletin Mahardhika. We campaign very broadly on the need to build a nationwide, independent women’s organisation. We also strive for unity between the women’s movement and the broader struggles of the poor majority. We also respond to government decisions or political attacks on women as they arise.