PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

06 September 2009

Namaku Surti

KOMPAS, OASE, Jumat, 31 Juli 2009 | 14:39 WIB

Cerpen Dian Septi Trisnanti

Namaku Surti. Surti, itu saja. Nama lengkapku ya, Surti, sampai ketika aku nikah dengan mas Joko Susilo. Ya, hari ini nama lengkapku menjadi Surti Susilo atau bisa juga dipanggil Ny. Susilo. Aneh, namaku menjadi Ny. Susilo, ke mana perginya Surti?

Namaku Surti, usiaku 16 th. Mungkin bagi kalian, usiaku masih terlalu dini untuk menikah, tapi di kampungku, di pelosok kota Jogja, usiaku merupakan usia yang sudah pantas untuk membentuk keluarga. Kata ibuku, sebagai anak perempuan, aku harus segera mempunyai suami sehingga hidupku terjamin, sampai nantinya aku akan melahirkan seorang anak untuknya, meneruskan keturunan keluarga besar Susilo, tuan tanah di desaku.

Ibuku bilang aku adalah orang paling beruntung di desa karena dipersunting oleh orang kaya lagi terhormat. Di pikiranku terbayang sebuah pernikahan yang bahagia, suatu babak hidup yang baru, lembaran baru dan keluarga baru, keluarga besar Susilo. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku. Malam ini pula, aku menunggu suamiku membuka pintu kamarku yang sampai sekarang masih tertutup. Beberapa saat kemudian, bunyi pintu kamar yang terkuak menggugah lamunanku. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku, kulihat sosok lelaki merengkuhku, merenggut kesucianku yang memang kusediakan untuknya, suamiku.

Namaku Surti, ah bukan, Ny. Susilo. Kemanakah Surti? tiba-tiba aku harus menyandang nama lain yang asing sama sekali bagiku. Kata Ibuku, nama itu cocok kusandang. Namaku Ny. Susilo, usiaku sekarang 21 tahun dan aku belum melahirkan seorang anakpun bagi suamiku. Aku melihat ibu mertuaku sering menatap tajam ke arahku, mulutnya nyinyir, mengeluarkan kotoran kemana ia suka, mengeluarkan bau busuk dimanapun ia berada, di ruang tamu, di dapur, di kamar, di WC, bahkan di rumah tetangga. Bau busuk, hanya itulah yang keluar dari mulutnya dan aku tetap diam, begitu juga suamiku. Suamiku bahkan mulai jarang pulang, bukan aku tidak tahu, kemana ia pergi. Ke kompleks pelacuran, itulah tempat yang paling ia suka.

04 September 2009

Women's Liberation and the Struggle for Socialist Politics in Indonesia

By Sam King

The National Network for Women’s Liberation (Jaringan Nasional Perempuan Mahardika - JNPM) is an Indonesian women’s liberation organisation consisting of local women’s committees, coordinating bodies and women’s sections of labour, student, peasant and urban poor organisations committed to the liberation of women. JNPM aims to develop direct involvement of women in struggling against capitalism, patriarchal culture and militarism in Indonesia and argues there can be no separation between the generalised struggle of Indonesia’s majority poor population and the struggle for women’s liberation. On August 22 Direct Action interviewed JNPM national coordinator Vivi Widyawati, who will be in Australia in September and October speaking at public meetings organised by Direct Action. Widyawati is also an activist in the Committee for the Politics of the Poor-People’s Democratic Party (KPRM-PRD), a socialist party formed two years ago by expelled members of the leftist PRD.

What are the main campaigns JNPM has focused on since it was founded?

Since its foundation there have been many actions undertaken by JNPM such as organising rallies every March 8 for International Women’s Day, developing a program of feminist education, and publishing the fortnightly bulletin Mahardhika. We campaign very broadly on the need to build a nationwide, independent women’s organisation. We also strive for unity between the women’s movement and the broader struggles of the poor majority. We also respond to government decisions or political attacks on women as they arise.

07 Juli 2009

Gerakan Perempuan yang Terpasung

Sejarah Bangsa Indonesia mencatat, bahwa perempuan pernah memegang peranan penting dalam merebut kemerdekaan. Perempuan, tidak hanya menjadi bunga revolusi, namun pelaku dari revolusi itu sendiri, subyek dari perubahan. Seiring waktu melangkah, perempuan kembali terlupakan, ia terpasung oleh kekuasaan yang lalim dengan jutaan rakyat dan perempuan sebagai tumbalnya. Siapapun, tidak akan bisa menyangkal betapa tragedi pembantaian 1965 telah mematikan gerakan perempuan. Peran penting perempuan kembali dipangkas hingga titik nadir. Sejak itulah, perempuan berada di bawah titik enol. Tidak ada lagi gerakan perempuan yang dinamis, yang pernah hidup sebelumnya, seperti Gerwani maupun Perwari. Perempuan hanya dijadikan hiasan di dalam rumahnya yang sempit, sesekali ia keluar dari ranah publik hanya sebagai pendukung suami, bersaing menjadi juru masak terbaik di setiap lomba memasak di momentum hari Kartini, dengan sanggul dan kebaya. Memori, bahwa perempuan pernah maju dan progresif di masa perjuangan terhapus begitu saja. Namun, bukan berarti perempuan hari ini tidak sanggup keluar dari pasungnya. Setiap perubahan pasti akan terjadi, dan hanya kekuatan perempuan yang mampu mendobraknya.

Mendobrak sebuah tatanan social yang terlanjur mengakar kuat di suatu Negara tidaklah mudah. Ia membutuhkan kesabaran revolusioner, ketelitian, kesanggupan dan militansi tiada batas. Itulah yang dibutuhkan bagi gerakan perempuan saat ini dalam menyuguhkan perubahan. Semenjak 1998, pintu demokrasi terbuka, bukan karena kebaikan Orde Baru tapi karena kesanggupan rakyat waktu itu dalam mendobrak pintu demokrasi yang sebelumnya terkunci rapat. Dari gerakan 1998 lah, gerakan perempuan memperoleh kembali ruhnya. Organisasi perempuan mulai bermunculan dari yang berbentuk LSM, Ormas, hingga kelomok-kelompok diskusi di kampus – kampus. Meski masih berjuang di tataran legislasi, namun mesti dihargai sebagai sebuah capaian.

Setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, perempuan belum beranjak dari titik enol. Belum terdapat gerakan perempuan seperti yang pernah diraih aktivis perempuan era Orde Lama. Mayoritas aktivis perempuan masih berkutat dalam perjuangan legislasi tanpa mempunyai kaki yang kuat di basis massa perempuan. Belajar dari perjuangan perempuan di internasional maupun di negeri Indonesia sendiri, perjuangan tanpa gerakan massa perempuan tidak akan berhasil. Dari perjuangan legislasi, memang terdapat beberapa capaian. Katakanlah UU KDRT dan kuota politik 30% bagi perempuan. Hanya, sekali lagi, capaian tersebut sungguh tidak sebanding dengan kebijakan lain yang justru mematikan potensi perempuan, seperti UU PMA, Perda –perda syariah, UU pornografi, pencabutan subsidi pendidikan dan kesehatan, dan yang terbaru, pelibatan TNI dalam program KB. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Benar-benar naïf jika kita tidak mengakui bahwa kebijakan yang berdampak pada kehancuran ekonomi dalam negeri tidak merugikan kaum perempuan. Feminisasi Kemiskinan ini merupakan wujud konkrit dari dampak kebijakan ekonomi tersebut. Dengan demikian, perjuangan pembebasan perempuan semestinya diletakkan dalam perjuangan perubahan sistem ekonomi politik. Menjebakkan diri pada semata isu-isu perempuan dan memisahkannya dengan problem ekonomi politik, sama artinya dengan menegakkan benang basah.

Di ruang demokrasi yang kini terbuka, sebenarnya tidak ada lagi hambatan untuk terus membangun organisasi-organisasi perempuan, apa lagi terpasung kemandiriannya. Ironis memang, jika di tengah alam kebebasan, gerakan perempuan justru terpasung kemandiriannya dalam memperjuangkan kebebasannya sendiri. Faktanya, realita demikianlah yang sedang berlangsung. Di tengah hangar-bingar Pemilu 2009, mayoritas aktivis perempuan beramai-ramai menjadi Caleg dari partai-partai politik yang ada, demi mengisi kuota politik 30%. Salah kaprah jika memaknai kuota 30% politik, dengan mengisinya tanpa memandang partai-partai politik yang dikendaranya. Seakan kebobrokan partai-partai politik tersebut tidak berkontribusi terhadap penindasan perempuan yang berlangsung. Dari sekian partai-partai politik yang menjadi peserta pemilu mendatang, tiada satupun yang berpihak pada perempuan. Beberapa partai-partai politik tersebut tiada yang berkutik ketika UU Pornografi disahkan dan lebih menyerahkannya pada mekanisme demokrasi di parlemen, dibanding menggerakkan massa perempuan untuk menolak kebijakan itu. Atau fakta terbaru,dengan dilibatkannya kembali TNI dalam penerapan program KB. Tak ada satupun dari partai-partai politik itu, yang bersuara. Padahal pelibatan TNi dalam program KB dengan dalih menyelamatkan ketahanan Negara, sungguh tidak masuk akal. Belum lagi dengan serangkaian kebijakan ekonomi pro pemodal asing yang merugikan kepentingan rakyat, terutama perempuan. Mungkin, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Dengan masuk sebagai bagian dari partai-partai politik itu, maka mayoritas aktivis perempuan dengan sadar sedang memasungkan kemandiriannya,mengikatkan tangan dan kaki sehingga tidak memiliki kemandirian dalam meraih kebebasannya sendiri. Sekaligus, mengamini penindasan perempuan oleh partai-partai tersebut.

Melalui pemaparan di atas, bukan berarti kuota politik 30% tidak bermakna penting bagi perempuan. kuota politik 30% ini penting sebagai kebijakan affirmative guna mendorong perempuan untuk tidak semata memikirkan kesejahteraan keluarga, tetapi lebih dari sekedar itu, yakni menentukan arah bangsa, turut ambil bagian dalam menentukan kebijakan politik. Hanya saja, kuota politik 30% ini menjadi sebatas lips service, ketika tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas perempuan melalui perbaikan ekonomi politik. Bagaimana perempuan mampu mengisi kuota politik 30%, jika perempuan masih demikian bodoh, tersubordinasi, dengan kesehatan reproduksi yang rentan. Tidak bermanfaat pula, ketika mengisi kuota itu dengan terlibat dalam partai-partai politik yang menjadi aktor dari penindasan perempuan, melapangkan jalannya penindasan terhadap perempuan. Tiada jalan lain bagi gerakan perempuan sekarang ini, kecuali membangun alat perjuangan perempuan yang mandiri, tidak terpasung oleh partai-partai politik maupun elit-elit politik dan tentu saja turut serta dalam setiap gerakan sosial. Sehingga, sudah saatnya, sekarang juga perempuan menjadi Berani, Militan dan Mandiri dalam merebut kemerdekaannya.


Ditulis Oleh Dian Septi Trisnanti
Aktivis Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika

Rapat Akbar FNPBI Independen: Tolak Pemilu Elit 2009

Buruh Ajak Boikot Pilpres
http://www.surya.co.id/2009/07/06/buruh-ajak-boikot-pilpres.html

JOMBANG - SURYA-Para buruh yang tergabung dalam Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Independen sepakat memboikot dengan tidak menggunakan hak pilihnya alias golput dalam pilpres 8 Juli mendatang. Kesepakatan itu dicetuskan dalam rapat akbar di aula Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Minggu (5/7).

Para buruh berkilah, figur capres dan cawapres yang muncul saat ini telah gagal dalam memegang kendali kepemimpinan. “Mereka semua adalah elit politik yang pernah memerintah dan semuanya gagal memperjuangkan buruh,” tegas Afik Irwanto, koordinator FNPBI Independen Jatim.

Dalam rapat yang juga dihadiri sejumlah serikat buruh di Jombang itu, FNPBI Independen mengingatkan para buruh tidak mudah tertipu dan terlena oleh janji capres/cawapres.

Selain itu, para buruh juga menyuarakan enam poin tuntutan kepada pemerintah. Berupa jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), tunjangan hari raya (THR), upah lembur yang sesuai, kenaikan UMR, hapus kerja kontrak dan outsourching serta kebebasan berserikat.
“Ini harus terus kita perjuangkan,” tandas Afik, yang didaulat sebagai pembicara bersama dua orang dari aliansi buruh Jatim.

Menurut Afik, baik SBY-Boediono, Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto dipastikan karakternya masih sama seperti pada era sebelumnya. Dicontohkan, pada saat Megawati berkuasa, justru ditetapkan sistem buruh kontrak dan outsoursching melalui UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Juir dari Divisi Pendidikan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jatim menilai hingga saat ini belum ada sosok pemimpin yang bisa menjadi motor perjuangan buruh di Indonesia. “Jadi, golput kita punya tujuan jelas,” tegas laki-laki plontos ini. st8


Ribuan buruh sepakat tolak pilpres
Warta - Pemilu 2009

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=33582:ribuan-buruh-sepakat-tolak-pilpres&catid=62:pemilu-2009&Itemid=132

JOMBANG - Ribuan buruh menyatakan menolak berpartisipasi dalam pemilihan umum presiden (pilpres) 2009. Kesepakatan ini muncul dalam rapat akbar dan konsolidasi ratusan perwakilan serikat buruh di gedung Panti Sosial Bina Remaja (PSBR), hari ini.

Salah satu serikat buruh yang menyatakan penolakannya atas pilpres adalah Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Independent. Afik Irwanto, Koordinator FNPBI Independent Jawa Timur mengatakan, kegagalan sistem ekonomi kapitalis dunia telah menyisakan krisis di Indonesia .

Salah satu imbasnya adalah hancurnya sektor riil/produktif nasional. Sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar, dan mendatangkan gelombang PHK massal.

Pada akhirnya, menurut Afik, rakyat kecil dan para buruh lah yang menjadi korban. “Ini adalah bukti kegagalan pemerintah dalam pembangunan tatanan ekonomi yang mandiri, berdaulat, dan dan berpihak kepada rakyat,” ungkap Afik.

Afik melanjutkan, berbagai kebijakan yang diambil juga lebih sebagai upaya menarik simpati menjelang pilpres 2009. Bahkan mereka menyebutnya dengan istilah “sogokan politik”. Semisal, kebijakan penurunan harga BBM daru Rp 6.000 menjadi Rp 4.500, tetap tidak mampu menurunkan harga bahan pokok. “Ini dikarenakan pemerintahan saat ini masih menjalankan konsep ekonomi Neo-Liberalisme,” ungkap Afik didampingi perwakilan serikat buruh lainnya.

Afik menegaskan, puluhan ribu buruh secara nasional telah sepakat, bahwa mereka harus mempunyai kekuatan yang solid, radikal, dan sejati. Yakni sebuah persatuan serikat buruh yang independen dan bersih dari campur tangan serta pengaruh pihak lain (non-kooptasi dan non kooperasi). Agar buruh dapat menekan seluruh halangan terhadap perjuangan mereka sendiri.

Karena menurut Afik, para elit politik sudah tidak dapat menjadi kawan perjuangan buruh. Termasuk ketiga pasangan capres-cawapres yang saat ini sedang bertarung dalam pilpres 2009. Mereka dianggap masih mengantek pada kepentingan asing, dan setia pada sistem ekonomi Neo-Liberalisme. Karena itulah, ribuan buruh menyatakan menolak berpartisipasi dalam ingar bingar pilpres 2009.

“Mereka sudah terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Jadi tidak ada untungnya kami ikut serta dalam pilpres. Karena yang saat ini dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kesejahteraan dan demokrasi,” pungkasnya.


Puluhan Ribu Buruh Tolak Pilpres
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/07/05/18172225/puluhan.ribu.buruh.tolak.pilpres.

JOMBANG, KOMPAS.com - Puluhan ribu buruh yang tergabung dalam Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Independen menolak penyelenggaraan Pilpres 2009. Hal itu dipastikan usai menggelar rapat akbar organisasi buruh Jatim pada Minggu (5/7) di Kabupaten Jombang.

Koordinator FNPBI Jatim Afik Irwanto, usai memberikan orasi politiknya menyebutkan bahwa kesepak atan itu sudah dilakukan sejak Pemilu legislatif 4 April lalu. Afik memastikan, hal itu dikarenakan pihaknya menggunakan strategi non kooperasi dan non kooptasi dalam memperjuangkan kepentingan buruh.

"Secara nasional kita lakukan konsolidasi untuk menolak Pemilu elite 2009. Bukan (lagi) golput, tetapi ini (sudah) bentuk masif," kata Afik.

16 Juni 2009

Ketika Kaum Perempuan Venezuela Berbagi Pengalaman

Konferensi Solidaritas Perempuan Internasional
Ketika Kaum Perempuan Venezuela Berbagi Pengalaman



Oleh: Sarah Wagner



“Solidaritas antar bangsa-bangsa, di antara rakyat, adalah hal yang pokok. Ketika masyarakatdi dunia berkembang maju, semua orang maju. Ketika suatu negeri dikalahkan, maka kita semua mundur satu langkah.” - Carmen Morente, Granada Spanyol


Pada hari Jumat, tanggal 15 April (2005—ed), perempuan dari seluruh dunia bertemu di Karakas untuk berpartisipasi dalam diskusi “Gerakan Perempuan dan Peran Pentingnya di dalam Proses Revolusioner” sebagai bagian dari Pertemuan Global untuk Solidaritas yang ketiga terhadap Revolusi Bolivarian.


Ketika sebagian pembicara memusatkan pembicaraan mengenai perjuangan kesetaraan perempuan di dalam negeri mereka masing-masing, mayoritas lainnya menempatkan perjuangan perempuan di dalam konteks yang lebih luas, yang mengakui bahwa perdamaian, sebagaimana ditegaskan oleh Yarira Kuper, anggota Federasi Perempuan Kuba, tak hanya terbatas pada ketiadaan konflik .


Persoalan solidaritas juga menjadi tema yang bergulir di dalam konferensi. Wakil Menteri Luar Negeri Venezuela untuk Amerika Utara, Mari Pili Hernández, menyatakan bahwa negerinya merupakan contoh bagi dunia dalam hal solidaritas serta proses pemenuhan hak-hak perempuan, kedua hal itu menunjukkan negerinya sebagai sebuah “kebaikan yang mengancam”.”Venezuela adalah sebuah contoh kebaikan yang mengancam. Kami sebagian dari contoh kebaikan, karena kami tidak menjiplak revolusi siapapun dan tidak memaksakan model revolusioner kami pada negeri manapun. Kami sudah menemukan jalan kami sendiri.”


Menurut Wakil Menteri, Revolusi adalah separuh dari logika, politik dan kepekaan. Ia tanyakan pada peserta: ”jika anda tidak merasakan revolusi, bagaimana anda akan mempertahankannya, atau hidup di dalamnya?” demikian Hernandez menegaskan bahwa solidaritas adalah komponen pokok di dalam Revolusi Bolivarian: “Masyarakat di Amerika Serikat tidak dapat mengerti bagaimana Venezuala menggunakan minyak sebagai suatu bentuk solidaritas. Amerika Serikat adalah sebuah negeri dimana segala hal memiliki harga (tidak cuma-cuma—ed). Tentu saja diluar bayangan mereka mengetahui Venezuela akan bersedia mempertukarkan minyak untuk dokter-dokter, daging, makanan atau tenaga ahli (professor)”.


Ia meyulut presentasinya dengan menyatakan bahwa Venezuela memiliki kehendak membangun hubungan yang sangat baik dengan seluruh negeri di dunia kecuali Amerika Serikat, karena negeri itu tidak memberi Venezuela satu hal yang dikehendakinya, yang juga berhak diperoleh negeri manapun juga, yakni: penghormatan.


Lorena Peña, seorang anggota Kongres perempuan dari El Salvador berbicara mengenai situai perempuan di negerinya. Dia menegaskan bahwa meskipun perempuan adalah mayoritas (52% penduduk El Salvador adalah perempuan), namun dalam hal pendidikan; pelayanan kesehatan; dan pendapatan justru berada pada indeks terendah. Peña menjelaskan mengenai ‘kesempatan’ kerja bagi perempuan, menegaskan bahwa mereka terkonsentrasi ke dalam pekerjaan yang berupah rendah (maquiladoras), atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau (bahkan—ed) pelacur, dengan penghasilan rata-rata 30% lebih kecil dibanding laki-laki.


“Dengan statistik seperti ini”, tegas Peña, “kita tidak bisa lagi hanya berbicara mengenai diskriminasi terhadap perempuan, kita harus bicara mengenai diskriminasi yang sistematis terhadap perempuan, mengenai sebuah sistem yang menyokong diskriminasi terhadap perempuan: yakni neoliberalisme. Sistem ini tumbuh subur dengan mengeksploitasi sektor rakyat yang paling rentan. Untuk bisa memerangi sistem ini, kita harus menyatukan feminisme dan Marxisme”.


Peña selanjutnya menyampaikan tentang konflik bersenjata di negerinya. “20% pasukan FMLN adalah perempuan. Kami percaya bahwa ketika kami mengalahkan kediktatoran, rakyat, baik laki-laki maupun perempuan, akan bangkit, bahwa kesetaraan jender akan mengiringi pembebasan perempuan. Namun, tampaknya, kepercayaan itu tak serta merta terwujud. Sebagai akibatnya, kami menyadari bahwa kaum perempuan juga di diskriminasi di antara kaum kiri. Walau demikian, jawabannya bukanlah menyalahkan kaum kiri, melainkan membetulkannya . Penting bagi kita untuk mendorong keterlibatan kaum perempuan di dalam sistem masyarakat dan memasukkan nilai-nilai jender ke dalam proposal setiap organisasi.”


Peña kemudian menggambarkan tahap-tahap yang sudah dijalankan oleh kaum perempuan untuk membetulkan pemahaman ini. “Gerakan Mujeres 94 (Perempuan 94), merupakan persatuan kaum feminis Kiri, yang bangkit untuk merespon pemilihan Presiden tahun 1994, dengan sebuah platform yang berlandaskan atas hak kami untuk memiliki kontrol atas tubuh; kesetaraan upah; serta keterwakilan politik 50:50 di dalam kantor-kantor pelayanan publik. FMLN mengadopsi semua proposal tersebut, dan pada tahun 1996 kami berhasil setelah mereka memasukkan sebuah kebijakan jender ke dalam platform partai. Sebagai contoh, saat ini, persentase kaum perempuan di dalam posisi-posisi kepemimpinan partai harus setara dengan persentase anggota perempuan yang resmi terdaftar di FLMN, dengan ketentuan bahwa tidak boleh lebih rendah dari angka 35%. Dengan kata lain, kami telah berhasil memperbaharui institusi kami.”


Anggota Kongres Perempuan itu kemudian mengakui adanya kelemahan di dalam kemajuan ini sekaligus menjelaskan pandangannya bagaimana menemukan jalan keluarnya. “Kami percaya bahwa FMLN sudah memberikan dukungan kepada kaum perempuan. Tetapi, kami memiliki banyak kelemahan, kami masih serba kekurangan. Sebagai contoh, ketika kebijakan-kebijakan yang menyangkut pembebasan perempuan telah disetujui, kebijakan-kebijakan tersebut tidak sepenuhnya dipelajari, dan oleh karena itu tidak pernah seragam diterapkan. Untuk mengatasi ketidaksetraan antara laki-laki dan perempuan kita membutuhkan tindakan-tindakan berikut ini. Kita harus meningkatkan partisipasi perempuan di dalam pemerintahan; mengukuhkan kuota di dalam (kebijakan) partai-partai politik; LSM-LSM dan entitas-entitas pendidikan. Penting bagi kita untuk membangkitkan kesadaran akan pentingya penentuan nasib sendiri; re-evaluasi nilai ekonomi dan sosial atas pekerjaan domestik; serta peran reproduksi kaum perempuan. Dan kita harus menyadari bahwa kaum perempuanlah yang lebih menderita di dalam neoliberalisme, oleh karena itu kita harus menguhubungkan perjuangan melawan neoliberalisme dengan perjuangan kaum perempuan”.


Carmen Morente, anggota Simón Bolívar Solidarity Platform Spanyol, mengawali presentasinya dengan menegaskan, ”solidaritas antar bangsa-bangsa, di antara rakyat, merupakan hal yang pokok, “ketika masyarakat di dunia berkembang maju, semua orang maju. Ketika suatu negeri dikalahkan, maka kita semua mundur satu langkah.”


Morente berpendapat bahwa kita harus berjuang melawan konsep ‘bekerja di dalam kerangka “pembenaran politik”’. Pembenaran politik, ia jelaskan, yakni mendukung berangkatnya pasukan tentara ke Irak dan mendukung penggulingan presiden yang terpilih secara demokratis di Venezuela. “Kita adalah kaum internasionalis. Dan kewajiban kita sebagai kaum internasionalis terletak pada penolakan terhadap kebijakan-kebijakan imperialis dan media yang korup yang telah menggerogoti kedaulatan sebuah bangsa seperti Venezuela. Kewajiban kita sebagai kaum internasionalis adalah memastikan bahwa proses (transformasi—ed) di Venezuela terus membentuk kesadaran demi kesadaran yang semakin matang”. Di akhir presentasinya, ia menyimpulkan dengan tegas bahwa “hanya dengan perlawanan yang terkoordinasi antar seluruh rakyat di dunia maka dunia yang lain menjadi mungkin”.


Di awal presentasinya, Yarira Kuper menyatakan bawah dia tidak akan berbicara mengenai negerinya, Kuba, melainkan mengenai kemiskinan dan ketidaksetaraan di dunia. “Selama lima puluh tahun terakhir, umat manusia sudah mengalami kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemajuan-kemuajuan tersebut belum menjamin perdamaian, tidak menjamin masa depan kemanusiaan”.


Kuper, yang merupakan anggota Federasi Perempuan Kuba (Federation of Cuban Women), menggarisbawahi bahwa neoliberalisme menghambat bangsa-bangsa untuk mewujudkan perdamaian sejati. Sehubungan dengan model ekonomi ini (neoliberalisme), ia menegaskan, setiap harinya 70.000 manusia jatuh miskin dan 35.000 anak-anak meninggal karena kelaparan dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah. Kuper mengakui bahwa kemiskinan “berwajah perempuan—kaum perempuanlah yang berpendapatan hingga 60% lebih rendah daripada rekan kerja laki-laki mereka; terpaksa bekerja dengan upah rendah (maquiladoras) dan jam kerja yang tinggi (16 jam per hari), serta lebih banyak menderita AIDS dan buta huruf”. “Model semacam ini hanya menghargai satu hal di dunia ini yakni: uang… Kita harus berjuang untuk perdamaian, sebuah perdamaian yang bukan dimaknakan dengan berkurangnya konflik militer, melainkan didasarkan pada penghapusan kemiskinan dan ketertinggalan. Orang miskin di dunia ini membutuhkan keadilan, dan keadilan dapat tercapai jika berbagai sumber daya yang di dedikasikan untuk perang segera dialihkan”.


Kuper menutup pidatonya dengan menyatakan bahwa dalam perjuangan untuk perdamaian kaum perempuan memiliki suatu peran yang sangat signifikan terkait dengan kepekaan, kreatifitas, dan kehendak yang mereka dedikasikan untuk solidaritas. “Dunia harus bercermin pada peran kaum perempuan di dalam organisasi-organisasi yang mengusung perubahan.”


Perwakilan Federasi Perempuan Internasional Demokratik (International Democratic Federation of Women) dari Palestina, Liila Ishehai, mempersoalkan makna sebagai seorang perempuan Palestina, menaggapi banyaknya perempuan di berbagai belahan dunia mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Ia memberikan penegasan menyangkut peran kaum perempuan Palestina, bahwa mereka mewakili perjuangan, sejarah, dan revolusi Palestina.


Ditegaskan oleh Ishehai bahwa perjuangan kaum perempuan di dalam “daerah pendudukan” sangat berbeda dari perjuangan kaum perempuan di dalam sebuah bangsa, menekankan bahwa perjuangan perempuan di Palestina memiliki arti tersendiri karena merekalah yang menjadi targetnya. Ketika Ishehai menjelaskan bagaimana represi yang dilakukan tentara Israel terhadap perempuan Palestina, sebagian besar perempuan peserta konferensi, yang kebanyakan dari Amerika Latin menitikkan air mata.


“Seorang mantan Perdana Menteri Israel mengatakan bahwa ia tak bisa tidur di malam hari ketika mengetahui seorang anak Palestina akan lahir esok harinya…tentara Israel membunuh janin-janin dengan meluncurkan serangan bom gas beracun. Kondisi di tenda-tenda pengungsian tak berperikemanusiaan. Kondisi di dalam penjara-penjara Israel lebih buruk lagi. Perempuan-perempuan yang mengandung, harus melahirkan bayi mereka dengan tangan dan kaki terborgol, bahkan setelahnya diabaikan dari perawatan pasca kelahiran. Anak-anak mereka adalah bayi-bayi penjara yang menjalani hukuman yang sama dengan ibu-ibunya, dimana dalam banyak kasus mayoritas kaum perempuan tidak mendapatkan kejelasan mengenai dasar-dasar hukuman terhadap mereka. Ketika mendekam di dalam penjaralah, kuku dan gigi mereka (anak-anak itu—ed) dicabut, di bakar, diperkosa, dan disiksa”.


Kemudian dia menekankan betapa sulitnya bagi pendatang (orang luar—ed) untuk memahami, dan bagi rakyat Palestina untuk berbagi kepada dunia, mengenai apa yang sedang terjadi di Palestina karena, “sebagai daerah pendudukan, media kami menghadapi banyak hambatan”. Menurut Ishehai, inilah beberapa hal yang penting disuarakan oleh pemerintah-pemerintah Barat ketika mereka bicara mengenai perempuan-perempuan Arab.


“Inilah segolongan rakyat yang membutuhkan solidaritas. Kuba merupakan salah satu dari sedikit negeri di dunia ini yang memberikan solidaritasnya terhadap rakyat Palestina. Setiap tahun, ribuan pelajar-pelajar Palestina mendapatkan bea siswa untuk belajar di Kuba... Sebuah dunia yang lebih baik sangatlah mungkin jika kita bekerja bersama dalam solidaritas. Salah satu sikap solidaritas yang paling hangat yang pernah diterima rakyat Palestina terjadi di sini, di Teater Teresa Careño Venezuela, pada tanggal 13 April, ketika semua orang berdiri dan dalam satu suara menegaskan bahwa rakyat Palestin akan menang”.


Lara Herrera dari Asosiasi Perempuan Kolombia (Assocoation of Colombian Women), menggambarkan situasi kehidupan sebagai sorang perempuan di Kolombia pada lebih dari 10 tahun terakhir ini. Ia berbicara mengenai 10.000 rakyat Kolombia yang hilang pada dekade lalu atas nama Undang-undang “Keadilan dan Perdamaian”, yang ditandantangani oleh Pemerintah Kolombia untuk melindungi tentara-tentara AS dari pengusutan atas kejahatan-kejahatannya selama mereka di Kolombia. UU ini telah dicela oleh kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia Internasional karena telah membebaskan anggota-anggota kelompok paramiliter dari pelanggaran HAM dan Undang-undang Kekebalan. Herrera kemudian mengakui dan berterima kasih kepada Venezuela dalam upayanya untuk bersolidaritas terhadap rakyat Kolombia.


Nora Castañeda, Presiden Bank Pembangunan Perempuan memulai presentasinya dengan melontarkan pertanyaan seputar tema konfrensi: “belajar dari dunia dan marilah kita berbagi”.Dia kembali menegaskan, seperti yang ditetapkan oleh Konstitusi baru Venezuela tahun 1999, menyangkut martabat kaum pribumi dan orang-orang Afrika. “Sangatlah penting untuk mengakui dunia kaum pribumi dan orang-orang Afrika, seperti halnya mengakui dunia kaum perempuan dalam membangun Revolusi Bolivarian yang masih sangat muda ini. Bibit-bibit pembangkangan masa lalu tak pernah mati bahkan mencoba kembali pada apa yang kami sebut 4th Republik”.


Menurut Castañeda, sosialisme baru abad 21 yang sedang di bangun oleh Venezuela mengambil pandangan-pandangan dari dunia yang dimarginalkan ini, dan mengakui bahwa “kecuali kita beajar dari saudara-saudara kita, kita akan bernasib serupa dengan Chile dan banyak bangsa-bangsa Afrika lainnya”.
“Kita tidak bisa menerapkan aturan yang sama terhadap mereka yang dirugikan sebagaimana yang kita terapkan terhadap mereka yang diuntungkan.” Leticia Montes; Mexico.Emma Ortega dari Ecuador dan Leticia Montes dari Meksiko, memberikan data statistik tingkat pengangguran dan representasi perempuan di dalam politik (atau dengan kata lain sedikitnya representasi perempuan di dalam politik). Ortega menekankan pada pentingnya melibatkan kaum laki-laki ke dalam perjuangan kesetaraan jender.


Anggota Dewan Pemilihan Nasional Venezuela (Venezuela’s National Electoral Council), Tibisay Lucena, menekankan, meskipun kaum perempuan membuat kemajuan yang mengesankan pada masa Republik Keempat, masih kalah mengesankan dari masyarakat pribumi di Venezuela sebelum Conquista, dimana perempuan dan laki-laki berbagi, bekerja dan berpartisipasi di dalam masyarakat dengan setara. Lucena menambahkan bahwa kaum perempuan Venezuela telah memenangkan peperangan yang paling mengesankan baru-baru ini, dengan pengesahan sebuah Konstitusi yang mengandung dan mengakui kesetaraan jender perempuan. “Konstutusi Kita”, dia menegaskan, “dilandaskan pada kesetaraan, maka untuk alasan tersebut kami tidak meminta kuota sebesat 20, 30 atau bahkan 40% melainkan untuk kesetaraan. Kami telah memenangkan pertempuran, namun belum memenangkan peperangan…, tidak akan ada kesetaraan di dunia sampai kaum perempuan diakui pada level yang sama dengan laki-laki”.


“Di sini, di Venezuela, bukan hanya pemerintah yang berkuasa melainkan rakyat dan pemerintah ”, ditegaskan María León, Presiden Instutut Nasional untuk Perempuan Venezuela (INAMUJER). Ia menambahkan, “dan kami, rakyat, harus memikul tanggung jawab dan memenuhi tugas-tugas kami”. Menurut León, rakyat Venezuela belum menyesuaikan diri terhadap apa yang sudah mereka capai. “Kami tidak perlu memenangkan kesetaraan, karena kami sudah mendapatkannya. Namun kami harus melatih kesetaraan tersebut”. María León merangkum diskusi Partisipasi Politik Perempuan dengan menyatakan bahwa, ”kita adalah mayoritas. Namun tidak akan ada perubahan (bagi kita—ed) di dunia sebelum kita bersatu.”


Sebagian besar kaum perempuan yang berasal dari kerucut paling selatan Amerika Selatan hingga Eropa mengambil bagian dalam konfrensi ini, baik sebagai pembicara maupun peserta. Kaum perempuan menghabiskan Sabtu pagi hingga sore hari untuk mengkonsolidasikan gagasan-gagasan mereka dan merumuskan sebuah proposal aksi bagi kaum perempuan Venezuela, yang bertujuan untuk memperdalam Revolusi Bolivarian serta membawa kaum perempuan selangkah lebih dekat pada kesetaraan.


Diterjemahkan oleh Vivi Widyawati

Pejuang Wanita pada Hari-Hari Revolusi Oktober Besar oleh Alexandra Kollontai

Kaum wanita yang mengambil bahagian dalam Revolusi Oktober Besar — siapakah mereka? Individu-individu terpulau? Tidak, terdapat ramai di kalangan mereka; berpuluh-puluh, beratus-ratus ribu wira-wira wanita tidak ternama yang, berarak dengan para pekerja dan petani di sebalik Bendera Merah dan ungkapan Soviet-Soviet, melintasi kebinasaan teokrasi tsaris menuju masa depan baru...


Jika seseorang memandang balik ke masa yang lalu, golongan wira-wira wanita tidak ternama yang dijumpai oleh Oktober dalam keadaan kebuluran di bandar-bandar, di kampung-kampung yang dibinasakang oleh peperangan... Selendang pada kepala mereka (belum lagi, pada masa ini, kain merah), skirt terpakai, jaket musim sejuk yang diperbaiki... Muda dan tua, pekerja wanita dan isteri askar, petani wanita dan suri rumah dari kalangan golongan miskin bandar. Lebih jarang lagi, lebih jarang pada hari-hari itu, pekerja pejabat dan wanita profesional, wanita berpendidikan dan beradat. Tetapi terdapat juga wanita dari kaum intelek yang mendukung Bendera Merah menuju kejayaan Oktober — cikgu, pekerja pejabat, pelajar muda di sekolah-sekolah dan universiti-universiti, doktor wanita. Mereka berarak dengan ria, tanpa memikirkan diri sendiri, berwawasan. Mereka pergi ke mana-mana mereka dihantar. Ke medan pertempuran? Mereka memakai topi askar dan menjadi pejuang dalam Tentera Merah. Jika mereka memakai tali lengan merah, mereka kemudiannya berkejar ke stesen-stesen bantuan untuk menolong medan pertempuran Merah menentang Kerensky di Gatchina. Mereka bekerja dalam komunikasi tentera. Mereka bekerja dengan ria, dipenuhi dengan kepercayaan bahawa sesuatu yang hebat sedang berlaku, dan bahawa kami semua merupakan gigi roda dalam satu kelas revolusi.


Di kampung-kampung, petani wanita (suami-suami mereka telah dihantar ke medan peperangan) merampas tanah dari tuan-tuan tanah dan menghalau golongan bangsawan keluar dari sarang yang mereka telah menjaga selama beberapa abad.


Apabila seseorang mengingati peristiwa-peristiwa Oktober, seseorang itu tidak melihat muka-muka individu tetapi golongan-golongan besar. Golongan-golongan tanpa nombor, seperti ombak-ombak umat manusia. Tetapi apabila seseorang memandang seseorang itu melihat, mesyuarat-mesyuarat, perhimpunan-perhimpunan, demonstrasi-demonstrasi...


Mere belum pasti apa yang mereka inginkan, apa yang mereka perjuangkan, tetapi mereka pasti akan sesuatu: mereka tidak akan bersabar dengan peperangan lagi. Mereka juga tidak inginkan tuan-tuan tanah dan golongan kaya... Pada tahun 1917, laut umat manusia besar berhela dan bergoyang, dan sebahagian besar daripada laut itu terdiri daripada wanita...


Suatu hari ini, ahli sejarah akan menulis mengenai peranan wira-wira wanita revolusi yang tidak ternama, yang meninggal dunia di medan pertempuran, ditembak oleh Tentera Putih dan mengalami pelbagai kemelaratan dalam tahun-tahun pertama revolusi, tetapi yang terus memikul Panji-Panji Merah Soviet demi kuasa dan komunisme.


Ia adalah kepada wira-wira wanita tidak ternama ini, yang meninggal dunia untuk mememangi kehidupan baru bagi para pekerja semasa Revolusi Oktober Besar, kepada siapa republik muda kini menunduk dengan kehormatan sambil pemudanya, ria dan bersemangat, melaksanakan usaha membina dasar sosialisme.


Namun, dari lautan kepala wanita dalam selendang dan topi terpakai ini, terbangkitnya tokoh-tokoh yang akan diberikan perhatian khusus oleh ahli sejarah apabila, tahun-tahun selepas ini, dia menulis mengenai Revolusi Oktober Besar dan pemimpinnya, Lenin.


Tokoh pertama yang akan bangkit adalah teman setia Lenin, Nadezhda Konstantinovna Krupskaya, memakai baju kelabu biasa dan sentiasa berjuang untuk kekal di latarbelakang. Dia akan memasuki mesyuarat tanpa dilihat dan meletakkan dirinya di sebalik tembok, tetapi dia melihat dan mendengar semuanya, memerhatikan semua yang berlaku agar dia kemudiannya dapat memberikan penerangan penuh kepada Vladimir Ilyich, menambah ulasan-ulasan baiknya sendiri dan mengutarakan idea yang waras, sesuai dan berguna.


Pada hari-hari itu, Nadezhda Konstantinovna tidak berucap di pelbagai mesyuarat beribut di mana rakyat memperdebatkan persoalan besar: dapatkah Soviet-Soviet memenangi kuasa atau tidak? Tetapi dia berusaha tanpa penat sebagai tangan kanan Vladimir Ilyich, kadang-kala membuat ulasan yang pendek tetapi penting di mesyuarat-mesyuarat parti. Pada masa-masa kesusahan dan kebahayaan, apabila ramai komrad kehilangan hati dan terjerumus ke dalam keraguan, Nadezhda Konstantinovna sentiasa kekal sama, yakin sepenuhnya bagi kebetulan sebab mereka dan kejayaannya yang sudah pasti. Dia mengeluarkan kepercayaan yang tidak dapat digoyangkan, dan ketabahan semangat ini, disembunyikan di sebalik kerendahan diri, sentiasa mempunyai kesan menggembirakan pada semua orang yang menjumpai teman pemimpin hebat Revolusi Oktober.


Seorang lagi tokoh bangkit — seorang lagi sahabat setia Vladimir Ilyich, seorang komrad setia semasa tahun-tahun usaha sulit yang susah, setiausaha Majlis Pusat Parti, Yelena Dmitriyevna Stassova. Seorang bijaksana yang jelas, ketepatan dan kemampuan luarbiasa untuk tugas, kemampuan jarang untuk ‘mencari’ orang yang sesuai bagi sesuatu tugas. Badannya tinggi seperti patung dapat dilihat buat kali pertama di Soviet di istana Tavrichesky, kemudiannya di rumah Kshesinskaya, dan akhirnya di Smolny. Dalam tangannya, dia memegang buku nota, sambil di sekelilingnya terdapat komrad-komrad dari medan pertempuran, para pekerja, Tentera Merah, pekerja wanita, ahli-ahli parti dan ahli-ahli Soviet, mencari jawapan yang cepat dan jelas atau susunan.


Stassova memikul tanggungjawab bagi pelbagai perihal penting, tetapi jika seorang komrad menghadapi keperluan atau kerisauan pada hari-hari beribut itu, dia sentiasa akan bertindak, memberikan jawapan yang ringkas, sopan, dan dia sendiri melakukan apa-apa yang dapat. Dia dibebankan oleh tugas-tugasnya, dan sentiasa berada di kedudukannya. Sentiasa di kedudukannya, namun tidak pernah menolak ke barisan hadapan, ke ruang terkenal. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian. Kepentingannya bukannya diri sendiri, tetapi perjuangan.


Demi wawasan komunisme yang mulia dan disayangi, demi apa Yelena Stassova mengalami pembuangan negeri dan pemenjaraan di penjara-penjara tsaris, meninggalkannya dengan kesihatan yang merana... Demi wawasan tersebut, dia tetap seperti kiasan, sekeras besi. Tetapi kepada kesengsaraan komrad-komrad, dia menunjukkan kesayangan dan tanggungjawab yang hanya dijumpai dalam wanita dengan hati yang baik lagi mulia.


Klavdia Nikolayeva merupakan seorang pekerja wanita dengan permulaan yang rendah diri. Dia menjadi ahli parti Bolshevik seawal tahun 1908, pada tahun-tahun reaksi, dan telah mengalami pembuangan negeri dan pemenjaraan... Pada tahun 1917, dia kembali ke Leningrad dan menjadi hati majalah pertama bagi pekerja wanita, Kommunistka. Dia masih muda, penuh api dan ketidak-sabaran. Tetapi dia memegang panji-panji dengan kukuh, dan dengan berani melaungkan bahawa pekerja wanita, isteri askar dan petani wanita mesti menjadi ahli parti. Untuk bekerja, wanita! Untuk mempertahankan Soviet-Soviet dan komunisme!


Dia berucap di mesyuarat-mesyuarat, masih gementar dan tidak pasti akan diri sendiri, namun menarik orang lain untuk mengikut. Dia merupakan seorang uang memikul pada bahunya segala kesusahan yang terlibat dalam membuka jalan bagi perlibatan luas kaum wanita dalam revolusi, salah seorang yang berjuang pada dua medan — demi Soviet-Soviet dan komunisme, dan pada masa yang sama demi pembebasan kaum wanita. Nama-nama Klavdia Nikolayeva dan Konkordia Samoilova, yang meninggal dunia pada kedudukan revolusioner dia pada tahun 1921 (akibat kolera), diikat dengan rapat kepada langkah-langkah pertama dalam paling susah yang diambil oleh gerakan pekerja wanita, terutamanya di Leningrad. Konkordia Samoilova merupakan seorang ahli parti yang tidak memikirkan diri sendiri, seorang pengucap hebat lagi baik yang sedar akan cara memenangi hati pekerja wanita. Mereka yang bekerja di sisi belaiu akan mengingati Konkordia Samoilova buat masa yang lama. Dia memang ringkas dalam perangai, ringkas dalam pakaian, mendesak dalam perlaksanaan keputusan-keputusan, tegas dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain.


Yang menarik adalah tokoh lembut lagi menawan Inessa Armand, yang diberikan tugas parti yabg sangat penting dalam persediaan untuk Revolusi Oktober, dan yang kemudiannya menyumbang pelbagai idea kreatif kepada tugas yang dilaksanakan oleh kaum wanita. Dengan segala kewanitaan dan kelembutan perangai, Inessa Armand tidak dapat digoyangkan dalam kepercayaannya dan dapat mempertahankan kepercayaannya sebagai jalan yang betul, walaupun berhadapan dengan penentang-penentang kuat. Selepas revolusi, Inessa Armand menumpukan dirinya kepada mengaturkan gerakan pekerja wanita, dan perhimpunan wakil adalah rekaannya.


Tugas hebat dilakukan oleh Varvara Nikolayevna Yakovleva semasa hari-hari susah dan penting Revolusi Oktober di Moskow. Di medan tambak-tambak, dia menunjukkan ketekunan yang layak bagi pemimpin ibu pejabat parti... Ramai komrad mengatakan bahawa ketekunan dan keberaniannya memberikan ilham kepada mereka yang ragu-ragu dan memberi perangsang kepada mereka yang telah berputus asa. “Majulah!” — ke kejayaan.


Sambil seseorang mengingati waniat yang mengambil bahagian dalam Revolusi Oktober Besar, semakin benyak nama dan muka bangkit seperti ajaib dari memori. Dapatkah kita gagal menghormati pada hari ini memori Vera Slutskaya, yang berusaha tanpa memikirkan diri sendiri dalam persediaan bagi revolusi dan ditembak oleh pihak Cossack di medan pertempuran Merah pertama di Petrograd?


Dapatkah kita melupai Yevgenia Bosh, dengan karenah gagah, sentiasa bersemangat untuk pertempuran? Dia juga meninggal dunia di kedudukan revolusioner.


Dapatkah kita melupai untuk menyebut dua nama yang begitu rapat dengan kehidupan dan aktiviti V. I. Lenin — dua kakaknya dan komrad setia, Anna Ilyinichna Yelizarova dan Maria Ilyinichna Ulyanova?


... Dan komrad Varya, dari bengkel-bengkel keretapi di Moskow, sentiasa menghiburkan, sentiasa berkejaran? Dan Fyodorova, pekerja kain di Leningrad, dengan mukanya yang manis dan bersenyum, dan keberaniannya semasa berjuang di tambak-tambak?



Ia adalah mustahil untuk menyenaraikan mereka semua, dan berapa ramai akan kekal tidak dinamakan? Wira-wira wanita semasa Revolusi Oktober merupakan sebuah tentera, dan walaupun nama-nama mereka mungkin dilupai, kehidupan mulia mereka masih kekal dalam kejayaan revolusi itu, dalam segala pencapaian dan kebaikan yang kini dinikmati oleh para pekerja Kesatuan Soviet.



Ia adalah fakta jelas dan tidak dapat dinafikan bahawa, tanpa perlibatan kaum wanita, Revolusi Oktober tidak dapat membawa Bendera Merah menuju kejayaan. Kemuliaan kepada pekerja wanita yang berarak di bawah Panji-Panji Merah semasa Revolusi Oktober. Kemuliaan kepada Revolusi Oktober yang membebaskan kaum wanita!


Diambil dari: www.marxist.org