PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

29 November 2008

[Dokumen Konfernas] Program dan Strategi Taktik  Perjuangan Perempuan***

I. Program

Tak mudah menjadi perempuan di Indonesia sebab perempuan di Indonesia tak berwajah tunggal. Contoh sederhana: di Eropa kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan dijamin. Implementasinya pun dilaksanakan tanpa perdebatan lagi yang mengganggu eksistensi perempuan. Tugas pemerintahlah yang selanjutnya menjaga dan menjamin implementasi kesetaraan hak tersebut dilaksanakan tanpa gangguan. Di Indonesia, walaupun emansipasi perempuan dan kesetaraan hak diakui, keberadaan perempuan di ruang dan waktu tertentu masih dianggap mengganggu moralitas masyarakat, termasuk oleh kaum perempuan sendiri. Dengan begitu dianggap juga sebagai ancaman bagi tegaknya bangunan Negara. Karenanya Pemerintah pun perlu dibebani tugas mengatur tubuh perempuan dalam ruang dan waktu tertentu dan menjaminnya agar tak menghancurkan bangunan Negara. Inilah kegelisahan dari sebagian masyarakat atas merebaknya "pornografi dan pornoaksi". Di sini, tubuh perempuan menjadi wilayah politik yang diperdebatkan. Untuk ini respon gerakan perempuan pun tak berwajah tunggal. Pro-kontra di antara kaum perempuan sendiri terjadi: tubuh perempuan siapakah yang berhak menentukan? aku, sang perempuan sendiri? Atau orang lain?

Wajah ganda perempuan ini telah lama beredar di masyarakat. Dalam masyarakat sendiri sudah beredar watak-watak ganda baik dan buruk dari kaum perempuan. Kita kenal dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih yang sekarang juga ditayangkan dalam bentuk sinetron. Pertentangan dua wajah ini hanya berakhir dengan kehadiran lelaki. Pilihannya pun tak jatuh pada moralitas Bawang Merah yang agresif, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya tapi justru pada moralitas Bawang Putih yang suka mengalah, jujur, tak melawan dan dianggap baik budinya itu. Cerita yang lain yang plotnya sama misalnya cerita Andhe-Andhe Lumut yang populer (baca: merakyat) karena disampaikan dalam bentuk lagu juga. Andhe-Andhe Lumut mengakhiri pertengkaran di kalangan perempuan dengan menerima lamaran Kleting Kuning. Lagi-lagi perempuan yang pintar bekerja dalam urusan rumah tangga, suka mengalah dan jujur dan halus pekertinya itu.

Dari sini dapat kita simpulkan ukuran-ukuran Baik, Buruk, Cantik, Jeleknya Perempuan diukur atas kesimpulan masyarakat tersebut atas nilai-nilai itu. Perempuan di Stereotipe-kan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat dalam ruang dan waktu yang berlaku.

Itulah norma masyarakat yang berlaku. Pandangan inipun sudah ditegaskan oleh Aristoteles:"Perempuan adalah perempuan dengan sifat khususnya yang kurang berkualitas…kita harus memandang sifat perempuan yang dimilikinya sebagai suatu ketidaksempurnaan alam." (Baca: Simone de Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, Cetakan pertama, Januari 2003, Pustaka Promethea, Surabaya;ix) Karenanya kehadiran lelaki menentukan dan memimpin moralitas yang dianut adalah keharusan. Inilah yang disebut Patriarkhi.

Di tengah pandangan-pandangan tersebut, tak heran bila dalam sosok perempuan kita selalu menemukan sifat-sifat yang ekstrem seperti istilah Orde Baru ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Perempuan bisa muncul dengan watak yang sejahat-jahatnya manusia di dunia dan juga sebaik-baiknya manusia di dunia dalam ruang dan waktu yang sama. Selain Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita lain misalnya, Sarpakenaka dan Dewi Sinta dalam cerita Ramayana. Dalam bentuk lain: Calon Arang yang kesaktian dan kejahatannya hanya bisa ditumpas oleh Empu Barada. Ada pula cerita-cerita lain yang berangkat dari khasanah sastra Melayu seperti yang dicatat Denys Lombard yaitu Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan dan Syair Yatim Nestapa. Tiga syair ini semuanya mengisahkan pengalaman-pengalaman pahit dan menyedihkan dari seorang wanita malang yang kena balas dendam seorang wanita saingannya yang iri dan kejam.

Untuk ini Denys Lombard menyatakan: "Jika tokoh-tokoh cerita itu dibandingkan dengan tokoh-tokoh pria dari cerita lain, kontrasnya sangat menonjol; tokoh-tokoh wanita yang ditampilkan bukanlah tokoh-tokoh yang patut diteladani, tetapi tokoh-tokoh yang sesungguhnya menakutkan. Walaupun dalam ketiga syair itu, wanita memegang peran utama, namun peran itu hampir tidak menguntungkannya. Mau tidak mau pembaca bingung menghadapi sifat ganda yang jadi atribut wanita itu, yaitu wanita sebagai orang jahat atau orang sengsara. Semua klise yang akan tampil kembali dalam novel dan cerpen modern sudah terdapat di situ. (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia, Gramedia Pustaka, Jakarta, Cetakan III Maret 2005; 203)

Wajah ganda itu pun meluas dalam gerakan perempuan di Indonesia saat ini. Pertama, mengemuka dalam pro kontra RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi dan Kedua pada Gerakan Kembali ke Rumah bagi ibu sebagai seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seruan ini sudah ditanggapi dan dipertanyakan Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah? sementara kesulitan ekonomi selalu menghantui. (baca: Santi Indra Astuti, Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah? Kompas, 11 Februari 2006) Nampaknya situasi ini tak akan pernah dapat dihilangkan. Hampir semua isu yang menyangkut perempuan di Indonesia selalu akan menampilkan wajah ganda. Situasi ini dimungkinkan sebab isu perempuan bergerak berbarengan dengan isu demokratisasi di segala bidang. Akibatnya terpaksa berhadapan dengan konservatisme. Konservatisme inilah benteng penaklukan cultural Orde Baru terhadap perempuan. Hal penting yang hendak ditanyakan di sini adalah sanggupkah gerakan perempuan menyatu dalam isu tunggal kesejahteraan rakyat dan menaklukan benteng cultural konservatisme? Bukankah ini PR kita yang pokok di tengah deraan neoliberalisme?

Secara ekonomi politik, Gerakan Kembali ke Rumah bagi Ibu (MUI) adalah pembenaran untuk mendomestifikasikan perempuan kembali kepada fungsi lamanya dalam masyarakat konservatif sebagai pekerja dapur, sumur, kasur atau dalam bahasa Jawa biasa disebut "Konco Wingking". Krisis ekonomi, memaksa semua orang, tidak terlepas apapun gendernya, kehilangan pekerjaan. Akan tetapi dalam hal ini, perempuan dianggap useless (tidak berguna) ketimbang buruh-buruh Pria. Meskipun, status pekerja buruh diganti dari buruh tetap menjadi buruh kontrak akan tetapi keterlibatan kaum perempuan dibatasi pada pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan murah gajinya (dan memang secara umum kapitalis merendahkan upah buruh). Dalam persoalan ini, seluruh perangkat-perangkat kekuasaan Borjuasi diupayakan untuk memberikan pembenaran-pembenaran sosial dan budaya.

Begitupun dalam kasus RUU Pornografi dan Porno Aksi. Jika dinilai dari karakternya, pelarangan ini justru tidak menguntungkan bagi iklim neoliberalisme. Sebab, sekecil apapun segala hal yang berkaitan dengan komoditi (perempuan sering dijadikan komoditi oleh Kapitalisme) baik yang bertentangan dengan norma-norma ataupun tidak selama menguntungkan bagi akumulasi kapital akan secara gigih di upayakan oleh Kapitalisme untuk memenangkannya. Tetapi, dalam kasus ini, bukan berarti karakter RUU Pornografi dan Porno aksi merugikan bagi kapitalisme dan berpihak bagi pembebasan perempuan. Justru karakternya tetap dalam bingkai Kapitalisme-Neoliberalisme yang dibungkus dengan kemunafikkan religiusitas dan budaya Patriarkhi. RUU Pornografi dan Porno aksi yang banyak didukung oleh Partai-Partai Islam Tradisional, sesungguhnya, secara ekonomi politik, berupaya membangun budaya konservatisme yang menguntungkan bagi pembangunan Kapitalisme yang bercorak religiusitas. Dalam persoalan ini, Kaum Perempuan yang tercerahkan, harus menjelaskan bahwa duduk persoalannya bukanlah pada pengaturan kebebasan berekspresi kaum perempuan tetapi kepada kesempatan kerja seluas-luasnya kepada perempuan dan peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat miskin. Itulah permasalah pokok perempuan saat ini. Dan, dengan tercukupinya seluruh komponen penting dalam peningkatan kualitas tenaga produktif dari kaum perempuan maka justru akan semakin kuat pondasi bangsa ini. Sebab, tidak akan ada anak-anak yang sehat, kuat dan cerdas jika kualitas pendidikan rendah serta jumlah kematian ibu dan persoalan gizi buruk sangat tinggi. Disitulah pokok persoalannya.

Lagi, sejarah penindasan perempuan sebenarnya bukanlah hanya sejarah penyingkiran tapi penaklukan. Begitulah juga di Indonesia, penaklukan perempuan dilakukan dengan keji dan brutal. Catatan-catatan untuk ini pun sudah banyak. Yang cukup lengkap dan fokus misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, terbitan Garba Budaya, Jakarta. Dengan membaca buku ini saja, kita bisa memahami bahwa pembangunan gerakan ormas perempuan sekarang ini berdiri di atas puing-puing gerakan perempuan pasca kemenangan Orde Baru. Kerusakannya yang parah hampir tak terbayangkan bagi seorang idealis bagaimana mesti memulai membangun gerakan perempuan di Indonesia. Yang ada konservatisme meluas: Dharma Wanita, PKK…Perempuan dipaksa tampil sebagaimana konsepsi patriarkhal: lembut, malu-malu, manja, tak agresif… tak melek urusan machoisme: seperti politik dan kekuasaan.

Penaklukan gerakan perempuan ini menjadi bukti historis yang nyata bahwa Militerisme di Indonesia menghantam kaum perempuan dan gerakannya. Tidak hanya tragedi penghancuran gerakan perempuan di tahun 1965 yang menjadi bukti kejahatan militer terhadap kaum perempuan. Pemerkosaan terhadap kaum perempuan di Timor-timur, Aceh, Papua, Ambon adalah sederetan penindasan militerisme terhadap kaum perempuan. Persoalan demokrasi ini berkelit kelindan dengan sisa-sisa Feudalisme dan kebijakan Neoliberalisme.

Penindasan melahirkan perlawanan. Begitulah sedikit demi sedikit, bersamaan dengan perlawanan rakyat: buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota, pekerja seni-budaya, kaum perempuan yang tak absent dalam perlawanan rakyat itu mulai merumuskan peranannya dalam gerakan perlawanan rakyat, demokratisasi dan tentu pembebasan dirinya. LSM-LSM perempuan didirikan. Isu-isu pembebasan perempuan mulai berhembus. Peluang itu makin membesar pasca keberhasilan gerakan rakyat Mei 1998 memaksa diktator Soeharto mundur. Kita catat: demokrasi melapangkan jalan: Organisasi perempuan pun semakin menemukan jalan. Tak dapat ditolak. Akan tumbuh dan membesar. Kita mencatat: pertemuan, Aksi, konfrensi, dan festival-festival untuk kampanye pembebasan perempuan mulai marak. 8 Maret tak pernah ditinggalkan sebagai ajang pembebasan perempuan. Kaum perempuan pun mulai menyadari betapa penting mengambil posisi pengambil keputusan: parlemen. Quota perempuan pun dituntut. Dengan begitu politik tak lagi asing di telinga perempuan. Ini berarti kesadaran baru: hanya dengan terlibat merebut kekuasaanlah, kaum perempuan akan terbebaskan. Tetapi ini saja belum cukup untuk merebut kemenangan.

Untuk ini kita dihadapkan pada realitas gerakan rakyat umumnya dan gerakan perempuan khususnya. Terhenyak dan sadar bahwa gerakan masih kecil, fragmentatif, tak meluas dan membesar. Problem-problem inilah yang harus dijawab segera dan dicarikan jalan keluarnya. Program dan strategi taktik yang tepat di tengah situasi riil gerakan yang berjalan adalah kuncinya.

Dari diskusi-diskusi yang berjalan dapatlah dirumuskan belenggu-belenggu penindasan perempuan: Neoliberalisme, Militerisme dan sisa-sisa Feodalisme (dalam lapangan budaya). Karenanya TIDAK ADA PEMBEBASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN DI INDONESIA TANPA MENGHANCURKAN IMPERIALISME/NEOLIBERALISME, MILITERISME DAN PATRIARKI (lihat lampiran V). Dan hal tersebut hanya dapat dicapai apabila seluruh gerakan perempuan terlibat aktif dan konsisten dalam upaya bersama untuk menuntaskan agenda-agenda demokrasi dan kesejahteraan melawan neoliberalisme.

Semakin terbukanya ruang demokrasi (Democratic Space), maka propaganda untuk menuntut persoalan kesejahteraan dan mengikis belenggu budaya konservatisme Orde Baru serta membangun embrio-embrio Pemerintahan Persatuan Rakyat akan semakin kongkret. Dan secara lebih nyata, penuntasan Revolusi Demokratik melalui terbangunnya Pemerintahan Persatuan Rakyat akan dapat mengeluarkan perempuan dari belenggu penindasan Neoliberal, Militerisme, dan belenggu budaya konservatisme (Sisa-sisa Feudalisme).
Karena itu juga program-program yang dapat menghancurkan belenggu-belenggu itulah yang harus diajukan-dituntut. Program-program ini juga bisa dijadikan platform kerja bersama dengan kelompok lain. Antara lain:

1. Menolak UU Perkawinan No. 1/1974

* Undang-Undang ini berwatak patriarkhis (lihat pasal 3,4, 5 tentang hak suami berpoligami sementara perempuan tidak; pasal 31 ayat 3 tentang suami sebagai kepala rumah tangga dan ibu dengan tugas-tugas domestik) dalam hal lain undang-undang ini juga tidak demokratis: pasal 1 mengakibatkan tidak sahnya perkawinan sejenis.

2. Menolak RUU Pornografi dan Porno aksi

* Undang-undang ini berkecenderuangan mengatur wilayah privat, penyeragaman budaya, memasung kreativitas seni, dan lagi-lagi mempersalahkan tubuh perempuan.

3. Menolak Kriminalisasi pelacuran

* Pelacuran adalah penyakit sosial yakni akibat dari sistem ekonomi politik yang tak adil. Sistem yang kriminal inilah yang seharusnya diperangi, bukan pelacurnya (yang seringkali juga di tengah masyarakat patriarkhis kaum perempuan yang menjadi korban).

4. Menolak poligami yang secara jelas merendahkan kaum perempuan

* Di tengah masyarakat patriarkhis, tak adanya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, poligami harus ditolak sebab keberadaanya akan semakin merendahkan kaum perempuan. Ini berkaitan juga dengan keberadaan UU Perkawinan No 1/1974.

5. Menolak segala bentuk eksploitasi terhadap kaum perempuan

* Segala bentuk eksploitasi terhadap kaum perempuan harus ditolak: trafiking (perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak), serta kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan ini merendahkan martabat perempuan.

6. Menolak militerisme

* Militerisme adalah sistem kenegaraan ketika militer mendominasi kehidupan sipil. Di tengah masyarakat yang patriarkhis, kaum perempuan akan semakin menderita akibat ekses dari militerisme: di samping demokrasi yang dilenyapkan, perempuan seringkali menjadi korban perkosaan. Karena itu kaum sebagai bentuk penolakan terhadap militerisme, maka perempuan berkepentingan untuk menuntut: Pembubaran Komando Teritorial TNI, termasuk di sini Babinsa yang menghambat kemajuan demokrasi. Lembaga Koter selama ini, apalagi pada masa Orde Baru terbukti telah menjadi mesin penghancur demokrasi. Tak terbilang korban-korbannya. Mempertahankan lembaga Koter sama artinya meletakan bom waktu bagi demokrasi, dan pemborosan yang luar biasa dari APBN apapun dalihnya. Mau dalihnya untuk pemberantasan terorisme, menjaga stabilitas, membasmi kekuatan ekstrim kiri dan ekstrim kanan dan ekstrim-ekstrim lainnya Koter terbukti merusak demokrasi karena wataknya yang ekstra yudisial dan latar belakang masih dominannya jenderal-jenderal TNI yang gemar berpolitik. Dibawah pemerintahan SBY-Kalla jumlah Komando Teritorial justru semakin bertambah.

7. Menolak program liberalisasi pasar, privatisasi asset negara dan pembayaran utang luar negeri

* Pasca perang dingin, neoliberalisme telah dijadikan jalan keluar kapitalisme dari krisis. Ini tentu bukan jalan keluar rakyat dari krisis hidup yang dihadapi tapi justru semakin memperparah kemiskinan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia sendiri: SBY-Kalla adalah pendukung proyek neoliberalisme atau liberalisasi pasar ini. Kemiskinan ini semakin dirasakan oleh rakyat Indonesia yang terus dipaksa menelan pil-pil pahit neoliberalisme melalui program privatisasi (swastanisasi) seperti air, pendidikan, kesehatan, BUMN-BUMN. Tindakan ini berarti menstabilkan atau mengembalikan tingkat kesejahteraan kaum kapitalis yang dilanda krisis dan di pihak lain mencabuti kesejahteraan rakyat yang selama ini telah diperoleh termasuk melalui subsidi.

* Penyelamatan aset-aset nasional dari program privatisasi BUMN dan liberalisasi aset-aset ekonomi strategis lainnya (air, migas, listrik, rumah sakit, universitas dan sebagainya) dari Pemerintahan SBY-Kalla. Program ini terbukti merugikan adanya. Apalagi tak seperti yang digembar-gemborkan para penganjur privatisasi bahwa selama ini BUMN membebani Negara, ternyata BUMN-BUMN yang dijual adalah BUMN-BUMN yang justru mendapat laba usaha yang besar. Selain itu privatisasi juga menjauhkan akses rakyat terhadap barang-barang kebutuhan dan jasa yang pokok karena setelah diprivatisasi pemilik modalnya, yang kebanyakan asing demi mengeruk laba yang sebesar-besarnya terus menaikan harga jual produknya. Karenanya kaum perempuan juga harus menolak privatisasi asset Negara.

* Penghapusan hutang luar negeri dan penarikan kembali obligasi rekapitalisasi perbankan. Dua komponen pembiayaan dari APBN ini adalah sumber pemborosan anggaran yang terbesar dan karenanya menghambat potensi anggaran bagi program industrialisasi nasional dan dalam memassalkan dan mengratiskan program-program untuk pembentukan modal sosial --seperti pendidikan, kesehatan-- yang menjadi penunjangnya. Dalam tahun anggaran 2006 ini saja dana APBN yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga dari hutang luar negeri mencapai 25% dari total pendapatan dari APBN. Jika ditambahkan dengan beban pembayaran bunga obligasi total beban hutang yang harus dibayar dari APBN mencapai sekitar 200 triliun, lebih dari 30% dari total pembiayaan APBN. Selain itu beban hutang ini juga bersifat merampok uang rakyat karena manfaat dari hutang luar negeri sebagian besar hanya dinikmati oleh negeri-negeri kreditur dan kaum kapitalisnya, serta minoritas kaum kapitalis birokrat dan kroninya dari pemegang kekuasaan di Indonesia yang menjadi pemasok dan kontraktor dari proyek-proyek yang dibiayai dari hutang luar negeri. Sementara itu dana dan bunga obligasi rekapitalisasi perbankan tidak lain dan tidak bukan merupakan subsidi yang dinikmati para bankir, yang kebanyakan juga banker-bankir asing seperti Temasek, Farallon, dan sejenisnya. Praktek ini telah berlangsung selama puluhan tahun sejak berdirinya Orde Baru, dan akan terus membebani rakyat selama puluhan tahun ke depan tanpa keberanian untuk memperjuangkan penghapusannya.

8. Menuntut Lapangan Pekerjaan

* Semakin luas akses kaum perempuan terhadap pekerjaan-pekerjaan produktif, dan pekerjaan-pekerjaan ‘non-tradisional’ serta melalui sosialisasi pekerjaan-pekerjaan domestik, semakin mudah untuk mengkondisikan (menciptakan syarat-syarat) kaum perempuan mengatasi kebiasaan yang menindas. Kapitalisme dalam upaya akumulasi kapitalnya membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh akses terhadap pekerjaan, namun karakter eksploitatifnya justru menghancurkan tenaga produktif kaum perempuan, ditambah lagi dengan paket kebijakan neoliberalisme saat ini yang menghancurkan kesempatan kaum perempuan memperoleh pekerjaan.

* Adalah keliru jika pembukaan lapangan kerja mengandalkan pada investor asing dan swasta dalam negeri. Hal ini terbukti rentan terhadap gejolak ekonomi ditingkat global dan mengorbankan hak-hak buruh sebagai cara untuk menarik investor asing. Sumber-sumber ekonomi dan capital strategis yang dikuasai Negara harus diarahkan untuk mendirikan secara massal industri di dalam negeri. Pemerintah harus membangun, melindungi dan mengembangkan industri-industri dasar seperti baja, permesinan, kelistrikan, industri pertanian, farmasi, automotif, kereta api, perkapalan, telekomunikasi, optik. Tanpa hal ini adalah tidak masuk akal untuk mengatasi persoalan pengangguran kecuali jatuh pada program belas kasihan, populisme seperti BLT, padat karya bersih-bersih jalan dan selokan yang tidak menguatkan tenaga produktif dalam negeri dan memboroskan anggaran Negara.

9. Menuntut Perumahan Murah

* Sekarang ini, terutama di kampung-kampung kumuh kota-kota besar, selalu ada ancaman penggusuran, tinggal menunggu waktu saja. Pembangunan modern (yang tidak memperhatikan rakyat miskin) selalu pertama-tama menggusur tempat tinggal rakyat miskin. Kita tahu bahwa PEMDA beserta pemerintah pusat telah bersepakat dengan lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan asing (IMF dan Bank Dunia) untuk melaksanakan kebijakan KOTA TANPA PEMUKIMAN KUMUH (city Without Slum). Dimana dalam prakteknya, tidak boleh ada lagi pemukiman-pemukiman kumuh di kota-kota besar di Indonesia. Karena itu, apalagi ada ancaman sewaktu-waktu ada penggusuran (melalui Perpres No. 36 Th, 2005), maka kita wajib menuntut Perumahan Murah (rumah susun harus ditambah) dan jaminan hukum dapat bertempat tinggal dimanapun di Indonesia.

10. Menuntut kepada negara untuk diberikannya jaminan kepada pekerja perempuan paruh waktu mendapatkan upah yang sama seperti full timer (bekerja penuh) untuk setiap jamnya

* Bagaimanapun negara seharusnya menyediakan lapangan kerja yang layak bagi warganya. Perempuan yang bekerja paruh waktu juga harus dianggap bekerja penuh sebab di rumah ia juga melakukan kerja-kerja domestik.

11. Menuntut kepada negara untuk memberikan jaminan bagi setiap pekerja perempuan yang sedang melakukan cuti pemeliharaan anak tetap diberikan upah penuh selama masa cuti

* Tentu ini penting bagi kesehatan Ibu dan anak. Ibu yang cuti untuk pemeliharaan anak ini juga harus dianggap bekerja karena berhak mendapatkan upah penuh selama cuti. Ini juga sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003.

12. Menuntut kepada negara untuk jaminan bagi setiap pekerja perempuan untuk mendapatkan upah penuh meskipun sedang dalam kondisi cuti hamil/haid

* Cuti baik itu haid (2 hari), hamil, dan melahirkan bagi pekerja perempuan bukan merupakan absen. Karenanya upah yang berlaku harus tetap dibayarkan kepada pekerja, karena merupakan hak mereka. Ini juga sudah diatur dalam Undang-undang ketenagakerjaan Tahun 2003 ini.

13.Menuntut kepada negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan gratis dan modern untuk ibu dan anak

* Karena masih tingginya angka kematian Ibu melahirkan, penyediaan fasilitas kesehatan gratis kepada ibu dan anak ini penting didesakkan.

14. Menuntut kepada negara atas kesetaraan pendidikan

* Di tengah masyarakat patriarkhis seringkali perempuan masih dinomorduakan terutama dalam masalah pendidikan. Karenanya negara harus menjamin kesetaraan pendidikan ini.

15. Menuntut pendidikan Gratis yang ilmiah dan demokratis

* Pendidikan dan Kesehatan Gratis untuk seluruh rakyat. Pendidikan gratis ini mencakup segala jenjang pendidikan. Program penggratisan pendidikan hingga SMP oleh Pemerintahan SBY-Kalla terbukti bohong dan tidak mengatasi persoalan. Faktanya sebagian besar TK, SD, dan SMP masih memungut biaya dari murid, dan program pendidikan gratis ini tidak mencakup keseluruhan biaya pendidikan (transportasi, buku-buku, asrama dan sebagainya). Selain itu lulusan SMP juga tidak memadai untuk terserap oleh lapangan industri dan tidak mampu menjadi dasar capital social yang kuat yang dapat menunjang program industrialisasi nasional.

*Demikian juga dengan program kesehatan gratis, semua golongan harus digratiskan dari biaya rawat inap, konsultasi dan jasa dokter atau medis, dan obat-obatannya. Program belas kasihan dengan dalih mengratiskan untuk yang miskin saja hanyalah menciptakan sumber penyelewengan dan korupsi baru. Ditengah standarisasi ukuran kemiskinan yang beraneka ragam dan sarat kepentingan politis adalah jauh lebih sulit menghitung jumlah orang miskin ketimbang orang kaya. Propaganda dari intelektual dan birokrat antek-antek imperialis yang menyatakan bahwa subsidi harus tepat sasaran adalah pura-pura tidak tahu persoalan dan menipu rakyat. Ada seribu macam instrument kebijakan yang dapat digunakan untuk menarik kembali subsidi yang jatuh pada golongan orang kaya ketimbang muluk-muluk menyatakan bahwa hanya untuk orang miskin -yang standar kemiskinannya telah direndahkan sedemikian rupa-- akan tetapi diselewengkan, dikorup. Sehingga yang terjadi adalah orang miskin justru dijadikan industri dan komoditi oleh segelintir kaum pemodal dan birokrat korup untuk berbagai macam program belas kasihan: BLT/SLT Bantuan Langsung Tunai/Subsidi Langsung Tunai), minyak tanah bersubsidi, solar bersubsidi, beras miskin/raskin dsb. Memassalkan, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menggratiskannya adalah mutlak perlu bagi keberhasilan program industrialisasi nasional.

16. Menuntut kepada negara untuk membangun fasilitas tempat-tempat penitipan anak yang gratis dan berkualitas

* Penitipan anak ini penting terutama bagi ibu yang bekerja.

17. Menuntut kepada negara untuk mengkriminalisasikan pelaku kekerasan dalam rumah tangga

* Kaum perempuan di tengah rumah tangga seringkali menjadi obyek kekerasan suami. Masyarakat tradisional yang patriarkhis masih sering menganggap persoalan ini sebagai urusan keluarga karenanya tak berhak ikut campur. Ini tak benar. Karena itu tindakan kekerasan dalam rumah tangga harus dicegah. Dengan sudah diundangkannya UU KDRT, pelaku kekerasan dalam rumah tangga sama dengan pelaku kriminal.

18. Menuntut kepada negara untuk memberikan jaminan kebebasan kepada kaum perempuan menentukan alat kontrasepsinya

* Jaminan kebebasan ini penting sebab kaum perempuanlah yang bersentuhan langsung dengan alat kontrasepsi. Karenanya informasi bahaya setiap alat kontrasepsi bagi tubuh perempuan harus tetap diberikan kepada kaum perempuan agar kaum perempuan dapat dengan bebas menentukan alat kontrasepsi yang mana yang aman bagi tubuhnya.

19. Mendukung dan menyerukan kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam perjuangan politik

* Di tengah masyarakat patriarkhis kaum perempuan dianggap sebagai warga kelas dua. Politik seringkali menjadi wilayah tabu bagi perempuan. Sementara sistem yang menindas perempuan adalah hasil kesepakatan politik. Karenanya seruan yang terus-menerus dan dukungan yang konsisten terhadap kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam perjuangan politik sangat penting dan ini akan mempercepat perjuangan pembebasan rakyat tertindas, termasuk perempuan.

20. Mendukung secara kritis penerapan kuota keterlibatan perempuan dalam jabatan-jabatan publik, sebagai salah satu cara memajukan perjuangan politik kaum perempuan

* Pada situasi tertentu, penerapan kuota keterlibatan perempuan dalam jabatan publik dapat dilakukan terlebih bila kebijakan ini dapat mendorong kemajuan perjuangan politik kaum perempuan.

21. Mendukung secara aktif terciptanya budaya ilmiah, demokratis dan setara

* Dukungan terhadap terciptanya budaya ilmiah, demokratis dan setara ini penting juga diberikan oleh kaum perempuan. Terlebih di tengah masyarakat patriarkhis yang masih sering menomorduakan perempuan. Kesetaraan laki dan perempuan harus terus dikampanyekan di forum-forum apa saja sehingga dapat mengikis budaya patriarkhis. Karenanya kegiatan-kegiatan kebudayaan ilmiah dan kerakyatan haruslah didukung. Tak boleh dilarang. Mendukung terciptanya Budaya yang ilmiah, demokratik, seperti adanya organisasi kebudayaan,kebebasan berpendapat,dll.

22. Mendukung perjuangan rakyat Palestina

* Dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina penting juga dilakukan oleh kaum perempuan. Di samping menunjukkan watak internasionalisnya, Isu Palestina seringkali di Indonesia menjadi isu sektarian agama tertentu. Karenanya kaum perempuan harus membongkarnya dan menjadikan persoalan rakyat yang sesungguhnya.

23. Membangun aliansi anti imperialisme. Menghancurkan penghalang bagi penuntasan Revolusi Demokratik di Indonesia: Pemerintahan Boneka Imperialis, Militer, Golkar, Reformis gadungan, Milisi Sipil Reaksioner

* Penindasan perempuan adalah juga disebabkan imperialisme yang kini berbaju neoliberalisme. Karenanya kaum perempuan juga harus terlibat aktif dalam aliansi anti imperialisme. Di samping itu kaum perempuan juga harus aktif dalam menuntaskan revolusi demokratik.

Organisasi perempuan yang akan kita bangun ini harus terlibat seaktif-aktifnya dalam upaya penuntasan Revolusi Demokratik, dengan mengupayakan integrasi semaksimal mungkin dengan kelompok-kelompok demokratik lainnya. Juga sebaliknya, dengan upaya tanpa ragu-ragu terus meyakinkan berbagai unsur dalam gerakan demokratik agar selalu memberikan dukungan dan solidaritas kepada perjuangan kaum perempuan, dalam bentuk apapun yang memungkinkan. Karena hanya dengan menggenapkan Revolusi Demokratiklah, kaum perempuan akan mendapatkan ruang politik yang jauh luas dan bebas, juga akses ekonomi yang relatif lebih baik, untuk memperjuangkan kesetaraan dan melenyapkan diskriminasi, baik diskriminasi gender, maupun kelas-kelas sosial.

24. Membangun Pemerintahan Persatuan Rakyat

* Kaum perempuan juga harus terlibat dalam menentukan bentuk pemerintahan agar dapat menjamin pembebasan perempuan dengan konsisten. Karenanya terlibat dengan sektor rakyat tertindas lainnya dalam membangun pemerintahan persatuan rakyat yang pro perempuan adalah penting dilakukan.

25. Menuntut kepada negara agar menjadikan 8 Maret sebagai hari peringatan Perempuan Internasional

* Tuntutan ini penting untuk diajukan sebagai tanda perjuangan pembebasan perempuan harus dilaksanakan dengan konsisten dan mendunia.

Agar dapat menjalankan keseluruhan program di atas, maka kerja Mendesak dari Perempuan Indonseia adalah Membangun Organisasi Payung Perempuan yang mewadahi organisasi-organisasi perempuan, seksi-seksi perempuan, kelompok-kelompok diskusi perempuan, LSM-LSM perempuan dll yang sepakat program dan strategi taktik tanpa meleburkan/membubarkan bentuk dan struktur organisasi-organisasi tersebut.

II. Strategi dan Taktik

Membangun Jaringan Nasional Perempuan Menuju Pembentukan Organisasi Payung Perempuan Indonesia

Organisasi perempuan yang akan kita bangun harus terlibat seaktif-aktifnya dalam upaya penuntasan Revolusi Demokratik, dengan mengupayakan integrasi semaksimal mungkin dengan kelompok-kelompok demokratik lainnya. Juga sebaliknya, dengan upaya tanpa ragu-ragu terus meyakinkan berbagai unsur dalam gerakan demokratik agar selalu memberikan dukungan dan solidaritas kepada perjuangan kaum perempuan, dalam bentuk apapun yang memungkinkan. Karena hanya dengan menggenapkan Revolusi Demokratiklah, kaum perempuan akan mendapatkan ruang politik yang jauh luas dan bebas, juga akses ekonomi yang relatif lebih baik, untuk memperjuangkan kesetaraan dan melenyapkan diskriminasi, baik diskriminasi gender, maupun kelas-kelas sosial.

Dengan begitu keterlibatan kaum perempuan mempertahankan ruang demokrasi dan terlibat dalam penuntasan revolusi demokratik adalah mutlak dan tak bisa ditunda-tunda. Hanya dengan jalan ini peluang pembebasan perempuan dapat terwujud sepenuhnya. Langkah-langkah sektarian yaitu cuma bergerak di seputar isu perempuan haruslah ditinggalkan dan dikritik. Justru perempuan harus memassifkan diri dalam pengorganisiran sektoral tempat kaum perempuan mengalami multi penindasan. Dari persoalan-persoalan perempuan yang konkrit di bidang ekonomi (akibat serangan neoliberalisme) terutama, pewadahan-pewadahan untuk perjuangan perempuan terus dilakukan. Wadah-wadah perjuangan perempuan ini terus disatukan baik di tingkat daerah maupun nasional. Inilah jawaban dari kesimpulan bahwa gerakan perempuan yang tak meluas. Dengan kata lain belum menjadi gerakan yang signifikan dibandingkan dengan gerakan-gerakan rakyat demokratik lainnya itu.

Karenanya taktik untuk meluaskan organisasi dan agitasi propaganda pembebasan perempuan inilah yang pertama-tama harus dicari. Dalam konfrensi perempuan lalu, sudah ditegaskan bahwa langkah mula pembangunan ormas perempuan ini adalah pembangunan seksi-seksi perempuan di ormas-ormas. Tapi kerja ini belum maksimal. Ini yang harus dievaluasi dan ditegaskan ulang, termasuk bentuk dan mekanisme kerjanya seperti apakah perlu dibentuk badan kerja harian Pokja Perempuan Mahardika di tingkat nasional dengan fungsi juru bicara, perluasan dan agitasi propaganda. Agar lebih kongkrit bentuk dan struktur kerjanya maka pembangunan Jaringan Nasional merupakan syarat utama menuju kongres perempuan yang akan melahirkan sebuah organisasi payung perempuan. Jaringan nasional ini (bisa tetap menggunakan POKJA MAHARDIKA) memiliki fungsi mengkoordinasikan seluruh seksi-seksi perempuan dari ormas-ormas yang selama ini menjadi tulang punggung Pokja Mahardika, kelempok-kelompok diskusi perempuan dll dan juga membangun organisasi-organisasi perempuan baik berbasiskan sektor atau teritorial. Pewadahan dalam berbagai bentuk itu bisa dikerjakan oleh ormas dengan menfasilitasi sekratriat atau posko Pokja Mahardika. Ormas harus mendorong kaum perempuan memasuki wadah-wadah yang sudah ada atau membangun wadah baru dengan cara semassal mungkin. Misalnya dengan menyebarkan formulir terbuka untuk menjadi anggota Pokja dll.

Kerja penting lainnya adalah mengambil peluang-peluang politik yang ada (berkampanye secara legal atas nama jaringan tersebut dll), baik atas nama jaringan ataupun front. Menjadi penting kerja mempopulerkan Jaringan Nasional ini agar dapat segera mendorong terbentuknya organisasi-organisasi perempuan baik secara sektoral maupun teritorial sekaligus mempropagandakan problem-problem perempuan Indonesia berikut jalan keluarnya.

Pada kesimpulan gerakan, secara umum kita ketahui bahwa saat ini gerakan (secara umum) masih Kecil, Fragmentatif, belum meluas. Dalam hal karakter, masih di dominasi oleh karakter reformisme-moderat. Belum memiliki karakter klas yang kongkret. Padahal untuk menuntaskan revolusi demokratik dan membebaskan kaum perempuan dari ketertindasannya Gerakan haruslah Besar, Kuat, Bersatu, Luas dan memiliki Karakter Perjuangan Klas. Dan situasi saat ini belum sampai pada cita-cita tersebut. Disisi lain investasi politik massa dengan bentuk aksi politik dan ekonomis adalah kemajuan yang harus dihargai. Tetapi, capaian tersebut belum bisa membawa kemenangan yang utuh bagi pembebasan rakyat. Malah, aksi-aksi spontan yang fragmentatif itu kemudian dimanfaatkan oleh elit-elit borjuis untuk menebarkan topeng populisme kepada massa. Yang selanjutnya kembali rakyat ditinggalkan dan mereka (elit borjuasi) kembali menyandarkan diri pada kekuatan lama orde baru dan kapitalisme internasional. Terus menindas rakyat dan kaum perempuan dengan kebijakan-kebijakan ekonomi pro pasar. Janji penerapan kebijakan ekonomi pro publik hanyalah topeng yang menjurumuskan rakyat. Terilusinya rakyat oleh kampanye sok populis dari elit borjuis ini adalah satu poin kekalahan telak bagi kekuatan demokratik sebagai kekuatan alternatif. Jadi, Persoalan gerakan ini juga merupakan persoalan bagi perempuan dan gerakannya.

Dalam pendiskusian Strategi dan Taktik ini, secara khusus kita berbicara bagaimana agar Program-Program Penuntasan Revolusi Demokratik bisa secara cepat, massif dan luas diterima oleh seluruh rakyat tertindas dan diikuti oleh mereka. Pertanyaan yang patut dilontarkan adalah metoda apa yang paling tepat untuk mempercepat perluasan propaganda program-program mendesak revolusi demokratik kepada rakyat dan bagaimana metoda paling cepat untuk memperluas struktur gerakan dengan kondisi kesadaran massa yang masih rendah ini. Atau dalam bahasa Pejabat Kuba bagaimana jalan paling cepat, masuk dalam kekuasaan dan leluasa berbicara program dihadapan rakyat, no matter it's takes.

Atas kondisi liberalisme saat ini, baik liberalisme dalam lapangan ekonomi, politik dan budaya. Jalan paling cerdik, dengan kelemahan gerakan saat ini, adalah memanfaatkan situasi liberalisme untuk memperluas sekoci-sekoci/kantong-kantong perlawanan demi penuntasan revolusi demokratik. Dan gerakan, tidak boleh lagi menelan pil pahit dengan dicurinya sentimen alternatif oleh SBY-Kalla dalam pemilu 2004 lalu. Gerakan, harus sesegera mungkin bersatu dan menjadi satu-satunya alternatif di mata kaum perempuan dan rakyat tertindas lainnya. Jika tidak, maka itu merupakan pukulan telak bagi gerakan.

Lalu, bagaimana caranya? Dengan kondisi saat ini, pilihannya hanyalah mau atau tidak, berani atau tidak gerakan untuk masuk ke dalam kekuasaan (no matter it's takes) bahkan memenangkan kekuasaan melalui persatuan gerakan rakyat merespon sistem politik liberal, pemilu 2009. Untuk mempermudah Propaganda Program, untuk memperluas Radikalisasi, untuk memperluas struktur gerakan, untuk menyatukan (kohesifitas) gerakan dan untuk memperluas ruang-ruang demokrasi (Demokratic Space) demi penuntasan Revolusi Demokratik.

Dan Kaum Perempuan dan Gerakannya. Demi penuntasan demokratik haruslah semaksimal-maksimalnya bersatu dan mendukung persatuan gerakan ini. Sebab persatuan adalah basis bagi Pemerintahan Persatuan Rakyat yang mampu menjalankan program-program pembebasan perempuan.

Taktik politik ini hanya dapat dijalankan apabila Gerakan Rakyat dan Perempuan secara konsisten menjalankan prinsip 3 tugas mendesak:

Kampanye dan Front:
Bersama dengan gerakan demokratik lainnya melakukan konsolidasi dan penyisiran kelompok demokratik, Individu Progressif yang bersepakat dengan program dan stratak mendesak ini untuk selanjutnya diarahkan membangun Partai front. Membangun front-front lainnya untuk mewadahi dan mengolah kelompok-kelompok demokratik yang mau bergerak tetapi belum sepenuhnya bersepakat atas program dan stratak yang kita tawarkan., Bersama dengan gerakan rakyat dan atau mandiri melakukan kampanye program-program minimum revolusi demokratik dengan bentuk Konferensi Pers, Safari Politik. Membangun Panggung-Panggung di semua level (Nasional hingga Basis) yang dihadiri oleh ribuan orang agar terkampanyekan secara luas perihal persoalan kontekstual saat ini dan jalan keluar yang kita tawarkan.

Radikalisasi:
Bersama-sama dengan Front Persatuan yang terbentuk melakukan respon politik atas berbagai kasus baik problem perempuan, problem kesejahteraan, persoalan Aceh, Papua, Poso dan Ambon. Melakukan aksi-aksi terjadwal tingkat Wilayah, Kota dan Kelurahan baik atas nama Front Persatuan maupun atas nama Pokja Mahardika. Melakukan respon-respon politik atas persoalan-persoalan kesejahteran yang muncul. Membuat panggung-panggung budaya untuk mengkampanyekan program dan stratak mendesak saat ini.

Perluasan Struktur:
Melalui Persatuan yang ada ataupun sendiri membangun kelompok diskusi dan komite-komite perempuan baik di kalangan perkampungan buruh, kalangan mahasiswa, perkampungan kumuh perkotaan hingga ibu-ibu pedesaan. Memperluas struktur ke berbagai teritori (Provinsi, Kota, Kecamatan dan Kelurahan) yang belum masuk dalam struktur gerakan untuk membangun struktur gerakan perempuan dan struktur Partai Front sebagai wadah politik bersama. Kerja perluasan tersebut adalah membangun wadah-wadah dan membangun sekretariat-sekretariat sebagai tempat berkumpul, berdiskusi massa yang bersepakat dengan program dan stratak kita.

Pembangunan wadah dapat dilakukan sefleksible mungkin demi kepentingan mengolah massa. Bisa dengan bentuk kelompok latihan bela diri untuk kaum perempuan, kesenian, kelompok diskusi dan berbagai jenis ketrampilan misal jahit-menjahit, bahkan kelompok arisan.

*** Dokumen III Program dan Strategi Taktik Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006, “Program dan Strategi Taktik Perjuangan Perempuan” Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika.

1 komentar:

  1. 1. Menolak UU Perkawinan No. 1/1974
    (kalau memang gk mau taat sama suami, gk usah salahkan undang-undang,.


    4. Menolak poligami yang secara jelas merendahkan kaum perempuan
    (Poligami sama sekali tidak merendahkan kaum perempuan, justru mereka dihormati disitu, )

    8. Menuntut Lapangan Pekerjaan
    (kalau memang mampu, anda akan dapat pekerjaan)

    9. Menuntut Perumahan Murah
    semuanya juga ingin,

    10. Menuntut kepada negara untuk diberikannya jaminan kepada pekerja perempuan paruh waktu mendapatkan upah yang sama seperti full timer (bekerja penuh) untuk setiap jamnya
    (sedikit kerja banyak upah)

    14. Menuntut kepada negara atas kesetaraan pendidikan
    (pendidikan sdh setara, hanya mainstream anda yang tidak setara)

    16. Menuntut kepada negara untuk membangun fasilitas tempat-tempat penitipan anak yang gratis dan berkualitas
    (bisa kerja dapat uang, tanggung jwab kpada anak dititipkan, enak juga ya)

    aku siap di ajak diskusi :085733886129

    BalasHapus