Catatan Perempuan dalam Peringatan Hari Ibu 22 Desember 2008
TAK ADA KESETARAAN DAN KESEJAHTERAAN PEREMPUAN TANPA MENGGANTI KEKUASAAN ELIT POLITIK AGEN MODAL ASING!
SAATNYA MEMBANGUN KEKUATAN PEREMPUAN DAN RAKYAT MANDIRI!
TAK ADA KESETARAAN DAN KESEJAHTERAAN PEREMPUAN TANPA MENGGANTI KEKUASAAN ELIT POLITIK AGEN MODAL ASING!
SAATNYA MEMBANGUN KEKUATAN PEREMPUAN DAN RAKYAT MANDIRI!
Empat puluh tujuh tahun sudah Hari Ibu ditetapkan [1], atau tujuh puluh delapan tahun sesudah Kongres Wanita Indonesia pertama dilangsungkan [2]. Tiga puluh sembilan tahunnya berbuah kesengsaraan [3], dan delapan tahunnya berbuah krisis ekonomi dan politik yang tak berkesudahan. Memang, gerakan demokratik 1998 telah membuka jalan bagi peningkatan kesadaran dan meluasnya organisasi perempuan, hingga tak lagi sekedar kumpulan ibu-ibu PKK atau Dharma Wanita pendamping suami. Tuntutan kesetaraan meluas, walau belum berbuah gerakan yang berkarakter kerakyatan. Gerakan demokratik yang menumbangkan kediktatoran adalah kunci bagi peningkatan kesadaran perempuan saat ini.
Namun celakanya, 8 tahun sejak reformasi, para aktivis dan partai-partai yang mengaku reformis, kini berhenti berjuang menegakkan reformasi. Partai-partai sisa-sisa Orde Baru dan mantan tentara malah beramai-ramai menumpang bendera reformasi. Para aktivis yang sempat berpanas-panas di jalanan, kini juga ramai berteduh di bawah bendera-bendera reformis gadungan dan sisa-sisa Orde Baru. Termasuk aktivis perempuannya. Sementara kesengsaraan terus bergelayut di pundak perempuan, walau kuota perempuan (di bawah bendera partai-partai sisa Orde Baru dan reformis gadungan) meningkat di parlemen.
Semuanya takluk, tak berkutik dihadapan penjajahan modal asing. Bahkan banyak yang berlomba menjadi agen barunya, dengan berpura-pura anti modal asing di parlemen, tapi tak sungguh-sungguh memobilisasi kekuatan partainya dan massa rakyat untuk melawan penjajahan modal asing. Padahal penjajahan modal asing adalah sumber pokok kesengsaraan perempuan Indonesia saat ini, yang mematikan potensi kemajuannya; menghinakan martabatnya; menghancurkan masa depannya sebagai manusia. Penjajahan modal asing mematikan produktivitas rakyat dan lebih banyak menghancurkan tenaga produktif perempuan; menghancurkan produktivitas industri nasional, sehingga menyebabkan kemiskinan berkepanjangan, yang paling banyak mengorbankan perempuan.
Dampak penjajahan yang paling membebani pundak perempuan (yang mayoritas miskin di negeri ini) adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat, terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal―kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup di bawah Rp. 19.000/hari, porsi kaum perempuan lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Kaum perempuan lah yang menjadi korban terbesar dari kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif (feminisasi kemiskinan) akibat penjajahan ini.
Deindustrialisasi juga menyebabkan terus meningkatnya angkatan kerja buruh migran perempuan, hingga mencapai 72% dari jumlah laki-laki dalam 10 tahun ini, di mana setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 400.000 buruh ke luar negeri tanpa ada status hukum dan perlindungan yang jelas. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan.
Tak cukup sampai disitu, pendidikan dan kesehatan, yang merupakan landasan bagi kemajuan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa, semakin tak menjangkau perempuan. Semakin sulit pula bagi mayoritas kaum ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas yang murah, karena rumah-rumah sakit besar yang berteknologi tinggi, mayoritas dimiliki asing dan tidak bisa diakses oleh rumah tangga miskin. Program-program semacam Askeskin dan Gakin, selain tak mudah diakses perempuan, juga syarat pengurusannya semakin dipersulit; rumah sakit tetap meminta kontribusi; PT. Askes menunggak membayar klaim; obat-obatan yang diberikan adalah obat kelas dua yang lebih lama menyembuhkan daripada obat-obatan untuk pasien kaya. Menteri kesehatan, yang berjenis kelamin perempuan, tak punya keberanian untuk mengatasi persoalan ini, selain menyuruh masyarakat untuk bersabar dan memaklumi.
Perempuan juga merupakan lapisan masyarakat dengan tingkat melek huruf dan rata-rata sekolah paling rendah. Namun pendidikan berkualitas hanya menjadi milik rumah tangga-rumah tangga kaya. Sehingga masuk akal lah jika perempuan terjerumus ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang rentan eksploitasi, kekerasan, pelecehan seksual, termasuk rela dipoligami karena tergantung secara ekonomi. Celakanya, bukan akar persoalannya yang diatasi (yaitu kemiskinan perempuan), tapi perempuannya yang dihukum. Perempuan menjadi objek yang disalahkan, dikejar-kejar, digaruk, bahkan dilecehkan dalam perda-perda syariah dan RUU pornografi.
Memang, beberapa kemajuan politik sudah ada, seperti kuota 30%, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU kewarganegaraan dan sebagainya, yang menjadi pembuka jalan bagi perjuangan kesetaraan perempuan (affirmative action) selanjutnya. Namun, tanpa mengatasi persoalan kemiskinan yang berwajah perempuan (feminisasi kemiskinan) yang bersumber dari rendahnya kualitas tenaga produktif perempuan, maka pekerjaan legislasi pun hanya akan menguntungkan segelintir elit perempuan yang bermimpi bisa merubah nasib perempuan tanpa gerakan massa perempuan.
Lawan Penjajahan Modal Asing; Bangun Gerakan Massa Perempuan
Hal yang paling menggembirakan adalah, kesengsaraan ini tidak lagi diterima dengan lapang dada. Itulah mengapa perlawanan (gerakan) spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat―peningkatan GOLPUT, penjatuhan pimpinan daerah, dan sebagainya (apapun alasannya, GOLPUT adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif).
Kaum perempuan Indonesia yang sedang melawan, mulai sadar, bahwa pemerintah dan seluruh partai-partai peserta pemilu 2009, termasuk kaum perempuan yang terkooptasi di dalamnya, sudah tak bisa diharapkan dapat memberi kesejahteraan. Dari kekuatan yang sadar itulah, kita akan mengajak seluruh rakyat dan kaum perempuan berjuang untuk membangun kekuasaan baru; alat politik alternatif baru; yang bersih dari unsur-unsur sisa Orde Baru dan reformis gadungan. Hanya kekuatan seperti itulah yang lebih berkemampuan menjalankan kebijakan untuk mengangkat harkat dan kesetaraan sejati perempuan. Kekuasaan tersebut akan dibentuk bersama seluruh elemen rakyat yang juga sedang berjuang melawan penjajahan modal asing, yang akan bekerja untuk:
1. MEMENUHI TUNTUTAN-TUNTUTAN DARURAT RAKYAT, seperti kenaikan upah; harga murah; kesehatan dan pendidikan gratis; perumahan murah; makanan bergizi; pelayanan administrasi gratis; modal dan teknologi untuk pertanian; lapangan kerja, mencabut semua produk hukum yang menindas harkat perempuan, dan pembaruan lingkungan.
2. MENGAMBIL ALIH PERUSAHAAN TAMBANG, dan industri yang vital lainnya di bawah kontrol rakyat; MENOLAK PEMBAYARAN HUTANG LUAR NEGERI; mengadili dan menyita harta-harta koruptor sejak berdirinya Orde Baru, sebagai sumber-sumber pendapatan utama bagi kesejahteraan rakyat serta pembangunan industri nasional.
3. MEMBANGUN INDUSTRI NASIONAL YANG MODERN SEBAGAI LANDASAN MENINGKATKAN HARKAT KAUM PEREMPUAN. Alih teknologi, kenaikan upah, kesehatan dan pendidikan gratis, serta kontrol rakyat atas kerja-kerja produksi adalah landasan terbangunnya industri nasional. Dengan industrialisasi nasional, kaum perempuan menjadi pandai dan meningkat harkatnya. Lapangan pekerjaan yang membangkitkan produktivitas kaum perempuan akan bisa disediakan, sehingga ketergantungan ekonomi kaum perempuan terhadap laki-laki juga akan berkurang, dengan demikian, kadar kesetaraan yang lebih sejati dapat tercapai, sehingga akan mengurangi praktek poligami, perdagangan perempuan, kekerasan rumah tangga, hingga pelacuran. Anak-anak pun tidak akan terlantar dijalanan karena negara akan produktif dan memiliki uang untuk membangun tempat-tempat penitipan anak gratis di tempat kerja, dan taman-taman bermain untuk meningkatkan kreativitas anak.
Bila mobilisasi kekuatan politik gerakan yang spontan-ekonomis-fragmentatif bisa disatukan, yang statistik aksinya sudah puluhan per bulannya (dimana perempuan sering berada di garis terdepan dan paling militan), maka pergantian kekuasaan tidaklah mustahil dilakukan. Perjuangan pergantian kekuasaan di Bolivia dan Venezuela memberikan pelajaran pada kita, bahwa berjuang untuk sebuah kekuasaan baru dengan persatuan dan mobilisasi rakyat, tanpa kekuatan lama dan reformis gadungan, tidak mustahil dilakukan dan akan menguntungkan bagi perjuangan kaum perempuan. Oleh karena itu, Pemilu 2009 harus dilawan, karena hanya akan menguntungkan para pelanggar HAM, koruptor, kaum kaya, dan para aktivis oportunis, termasuk elit politik perempuan yang hanya memanfaatkan suara perempuan untuk memperbesar kursi partai politik elit penyebab kesengsaraan perempuan.***
Catatan Kaki:
[1] Oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No 316 tahun 1959.
[2] di Yogyakarta, 22 Desember 1928.
[3] Sejak berkuasanya Soeharto, dengan disyahkannya UU penanaman modal Asing 1967, dimulailah penjajahan modal asing di Indonesia; dan agar jangan ada gangguan terhadapnya maka gerakan politik perempuan diberangus hanya sebatas pendamping suami yang patuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar