Salam kesetaraan!!
Mayday atau hari buruh sedunia diperingati setiap tahun oleh kaum buruh dengan turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan kesejahteraan kaum buruh. Mayday mulai diperingati sejak 1 Mei 1890, setelah setahun sebelumnya ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional dalam Kongres Sosialis Internasional 1889. Dipilihnya 1 Mei sebagai hari buruh adalah untuk memberikan penghormatan kepada gelombang aksi-aksi pemogokan dan mobilisasi kaum buruh yang merebak di Eropa dan Amerika Serikat untuk menuntut pemberlakukan 8 jam kerja/hari, yang pada tanggal 1 Mei 1886 sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mulai mengadakan demonstrasi besar-besaran selama 4 hari di mana pada tanggal 4 Mei polisi membubarkan aksi di Chicago dengan penembakan dan bom yang menewaskan 8 orang buruh dan ratusan buruh lainnya terluka. Pimpinan-pimpinan buruh sendiri dihukum mati.
Namun, gerakan tidak berhenti, pemogokan umum terjadi dimana-mana secara besar-besaran. Kaum buruh perempuan juga memberikan andil yang cukup besar dalam aksi-aksi tersebut. Sejak tahun 1959, buruh perempuan membentuk serikat buruh perempuan pertama di New York dan memasukkan tuntutan 8 jam kerja sebagai salah satu tuntutannya. Gelombang aksi buruh-buruh perempuan terjadi pada 8 Maret 1908 yang melibatkan 15.000 buruh yang menuntut 8 jam kerja. Pemogokan umum itu sangat menakutkan kaum kapitalis, yang akhirnya di berbagai negara kebijakan 8 jam kerja diberlakukan. Dari sejarah kita mengetahui bahwa kebijakan 8 kerja yang hari ini dirasakan oleh kaum buruh adalah hasil dari perjuangan yang militan dan bersatu.
Sekarang, telah kurang lebih 120 tahun sejak masa itu, kaum buruh masih saja tetap tertindas dengan kondisi upah yang tidak sesuai dengan hidup layak, tanpa jaminan sosial, pemberlakukan sistem buruh kontrak (outsourching), larangan berserikat dan sebagainya. Hal ini dikarenakan sistem kapitalisme telah membelah masyarakat menjadi kelas yang memiliki alat-alat produksi (kapitalis) dan kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi (proletariat). Mayoritas umat manusia harus hidup bekerja setiap hari secara kolektif (bersama-sama) sebagai buruh untuk mendapatkan upah dengan memperbesar modal, sementara segelintir kapitalis merampas hasil kerja kaum buruh yang disebut sebagai keuntungan. Kapitalisme tidak akan mungkin bisa mensejahterahkan manusia karena setiap sen hak buruh yang diberikan sama artinya dengan mengurangi bagian keuntungan kapitalis. Terus-menerus dalam pergulatan seperti ini, yang hanya bisa diselesaikan jika alat-alat produksi disosialisasikan menjadi milik bersama.
Kebanyakan dari kaum buruh adalah kaum perempuan. Kapitalis sangat menggemari pekerja perempuan karena dapat dibayar dengan upah yang rendah serta tidak banyak menuntut. Budaya patriarki yang merendahkan derajat manusia berjenis kaum perempuan ini telah menyebabkan buruh-buruh perempuan kerap mengalami berbagai kesulitan di tempat kerja, seperti perlakuan kasar, pelecehan seksual, dirampas hak-hak reproduksinya dengan tidak mendapatkan cuti melahirkan, istirahat haid dan seterusnya. Dalam sebuah studi pada industri sepatu di Tangerang, misalnya, melaporkan bahwa biaya tenaga kerja buruh laki-laki adalah 10-15% dari total biaya produksi, dan biaya ini bisa ditekan menjadi hanya 5% dari total biaya produksi jika mempekerjakan 90% buruh perempuan di pabrik. Ada lagi perbudakan modern, yaitu pengiriman jutaan TKI dengan jumlah TKW (perempuan) mencapai 77% dari keseluruhan TKI. Pemerintah menyebut para TKI ini sebagai pahlawan devisa, namun tidak pernah mendapatkan perlindungan dari kekerasan majikan.
Berbagai kebijakan pemerintahan kaki tangan imprealis sejak dari masa Soeharto sampai dengan sekarang, rezim SBY-Budiono telah menyengsarakan rakyat, utamanya kaum perempuan. Kebijakan pencabutan subsidi di sektor rakyat, seperti listrik, air, BBM, pendidikan dan kesehatan telah menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok menjadi mahal, pendidikan dan kesehatan menjadi tidak terjangkau rakyat miskin serta kasus gizi buruk dan kelaparan merebak dimana-mana. Penyelenggaran kebutuhan dasar rakyat diserahkan kepada pihak swasta dengan kebijakan privatisasi, di mana aset-aset negara mulai dari BUMN-BUMN dijual hingga sumber-sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, nikel, timah, emas dst, dst) digadaikan yang sama sekali tak memberikan keuntungan apa-apa bagi rakyat, tapi justru meninggalkan pencemaran lingkungan. Berbagai perusahaan-perusahaan kapitalis, seperti Freeport, Exxon Mobil Oil, Inco, Rio Tinto dan banyak lagi menggurita menghisap kekayaan alam di negeri ini.
Kebijakan pasar bebas, dengan yang terbaru adalah CAFTA (perdagangan bebas Cina dan Asean) mengancam buruh dengan akan terjadinya PHK besar-besaran dan jatuhnya komoditas pertanian. Masuknya barang-barang Cina yang tanpa pajak dengan kualitas yang lebih bagus menjadikan barang-barang dalam negeri tidak akan ada yang membeli.
Selama ini pemerintahan agen imprealis yang korup, yang hari ini adalah SBY-Budiono beserta elit-elit politik dan partai-partainya yang busuk di parlemen, memang tidak pernah bermaksud meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membangun industri nasional. Malah, tenaga produktif rakyat dihancurkan secara sistematis dijadikan tak berdaya tanpa pendidikan, tanpa kesehatan, tanpa perumahan, tanpa teknologi, tanpa apa-apa. Kemiskinan, penggusuran, korupsi, kerusakan alam yang sangat parah, penggarukan orang-orang miskin, penyakit, gizi buruk, kelaparan, hingga kematian adalah kenyataan sehari-hari yang harus ditelan oleh orang-orang miskin, yang kebanyakan adalah kaum perempuan. Kemiskinan memang berwajah perempuan (feminisasi kemiskinan). Data PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menunjukkan dari 1,3 milyar warga dunia yang miskin, 70 % di antaranya adalah kaum perempuan.
Ditambah lagi, rezim agen kapitalis, SBY-Budiono dan seluruh elit-elit politik busuk itu sangat patriarkis. Berbagai aturan perundang-undangan yang menjadi perempuan dan seksualitasnya sebagai sumber permasalahan, diberlakukan: UU Pornografi dan Pornoaksi, pembolehan poligami dalam UU Perkawinan, perda-perda jam malam bagi perempuan, perda pakaian dan prostitusi. Kesemuanya ini menjadi hambatan bagi kemajuan perempuan, membatasi gerak perempuan, seolah-olah masalah rakyat adalah masalah moral dan kejahatan. Padahal penjahat-penjahat yang sebenarnya bercokol di kekuasaan, yaitu elit-elit penguasa yang menjadi penyebab lahirnya berbagai keadaan sosial yang dipenuhi kemelaratan.
Rezim juga sangat menikmati kekerasan atas rakyat, agar rakyat takut untuk melawan. Barangkali Dwi Fungsi ABRI memang sudah tidak ada, tetapi upaya-upaya negara untuk terus menutup ruang demokrasi dan merepresif orang miskin terus terjadi di setiap tempat. Pengerahan-pengerahan aparat Satpol PP untuk menertibkan dan menggusur orang-orang miskin dengan kekerasan, komando teritorial TNI di dalam kota atau yang berdekatan dengan lokasi perusahaan dan atau sumber daya alam serta pembiaran berbagai kekerasan yang dilakukan oleh milisi sipil reaksioner (yang dipimpin oleh FPI, FUI dsb), seperti pada konferensi ILGA baru-baru ini. Tak sedikit perempuan yang menjadi korban dalam aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh negara, terutama di daerah-daerah konflik seperti Ambon, Poso, Papua, yang sampai saat ini kasus kekerasan atas rakyat dan perempuan tidak pernah terselesaikan untuk menyeret pelakunya. Atau dalam kasus Marsinah di mana pihak militer telah melecehkan dan membunuh dengan kejam aktivis buruh perempuan itu. Sampai sekarang para pelaku pelanggar HAM masih bebas berkeliaran.
Ini lah hasil dari pemilu 2009 setahun yang lalu yang diikuti oleh elit-elit dan partai-partai berduit, reformis gadungan (pengkhianat gerakan reformasi), sisa-sisa orde baru, dan mantan jendral pelanggar HAM. Mereka semua berebut kekuasaan untuk memenangkan sebagai agen utama dari imprealis, agar bisa menimbun kekayaan dengan berhutang sebanyak-banyaknya kepada lembaga-lembaga donor internasional (ADB, IMF, WTO dll) dengan menjual sumber daya alam dan rakyat Indonesia. Hutang Indonesia yang dipinjam dengan mengatasnamakan rakyat telah mencapai angka yang sangat mengerikan, yaitu Rp1700 T, atau dengan kata lain setiap penduduk Indonesia menanggung Rp 11 juta.
Negara dan segala bentuk kebijakannya hanya memiliki satu tujuan, yaitu menyelamatkan sistem kapitalisme dengan cara apapun. Sistem kapitalisme terus membusuk, yang selalu mengalami krisis over produksi secara periodik karena memproduksi barang-barang dan jasa-jasa secara tak terencana, dan di sisi lain merendahkan upah buruh dan melakukan PHK massal. Barang-barang dan jasa-jasa yang sedemikian banyak karena diproduksi dengan teknologi tinggi, menjadi tidak terbeli bahkan harus dihancurkan sendiri oleh pemilik modal daripada dibagi-bagikan kepada rakyat.
Hidup di tengah sistem yang sudah usang, busuk, yang memberikan tanggungan dampak-dampak yang memiskinkan kepada mayoritas manusia, tidak bisa dibiarkan lagi. Hidup dengan ketimpangan dunia, di mana kekayaan 3 orang kapitalis terkaya di dunia lebih besar dari pada pendapatan 48 negara berkembang, tidak bisa lebih lama lagi. Pemerintahan agen kapitalis, SBY-Budiono harus digulingkan diganti dengan Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin.
Perempuan sangat berkepentingan untuk mengorganisasikan dirinya ke dalam wadah-wadah bersatu untuk memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dan pembebasan rakyat. Organisasi yang siap menyatukan dirinya ke dalam front persatuan kaum gerakan dan rakyat, yang terdapat kebebasan berpropaganda, yang mandiri atau tidak terkooptasi dengan elit-elit politik, memperjuangkan kesetaraan perempuan dan bervisi penyelamatan lingkungan. Persatuan yang demokratik, mandiri, feminis dan ekologis yang seluas-luasnya harus diletakkan sebagai perspektif dan pekerjaan bersama yang tidak boleh dihambat-hambat oleh apapun di tengah kondisi gerakan yang masih kecil dan berserakan (terfragmentasi).
Mayday bukan sekedar gerakan ulang tahun dan euphoria fiesta kaum buruh. Dan tidak cukup hanya berpuas diri dengan kemenangan-kemenangan kecil atas tuntutan-tuntutan kita yang sangat mudah ditarik kembali oleh penguasa dan pengusaha. Momentum mayday harus dijadikan sebagai ajang konsolidasi kaum gerakan dan rakyat, perempuan dan laki-laki untuk menuntut hak-hak buruh dan rakyat hingga merebut kekuasaan. Karena hanya dengan mengorganisasikan gerakan dan rakyat di segala sektor (buruh, tani, KMK, mahasiswa) dan lintas gender (perempuan, laki-laki dan LGBT) untuk merebut kekuasaan agar mendudukkan dewan-dewan buruh, tani, KMK, perempuan, mahasiwa, dan rakyat miskin di dalam kekuasaan, maka kita akan berhasil melahirkan perubahan yang sejati.
Untuk itu, kami dari Komite Nasional Perempuan Mahardhika menyerukan kepada seluruh kaum gerakan, perempuan dan rakyat untuk bersama-sama menuntut pemenuhan kebutuhan darurat/mendesak, yaitu:
1. Upah layak dan setara.
2. Lapangan kerja produktif bagi perempuan dan rakyat.
3. Tolak Free Trade Area.
4. Jaminan sosial bagi seluruh rakyat untuk memajukan tenaga produktif, berupa: kesehatan, perumahan, listrik, air bersih, dan transportasi massal.
5. Teknologisasi pekerjaan rumah tangga Sediakan tempat penitipan anak gratis yang berkualitas untuk rakyat.
6. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, setara, ekologis dan bervisi kerakyatan.
7. Mengembalikan ingatan sejarah rakyat dan penulisan sejarah yang jujur.
8. Cabut dan revisi seluruh UU dan peraturan yang mendiskriminasikan kaum perempuan.
9. Tolak poligami.
10. Akui hak-hak kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual).
Bagi kami, tuntutan di atas hanya sebagaian kecil saja yang dapat dipenuhi oleh rezim jika kekuatan kaum gerakan dan rakyat menuntut. Untuk memenangkan tuntutan kita secara keseluruhan harus ada gerakan perebutan kekuasaan dari rezim SBY-Budiono oleh seluruh kaum gerakan dan rakyat, laki-laki dan perempuan yang bersatu untuk mewujudkan pembangunan tenaga produktif rakyat dengan jalan keluar sejati:
1. Bangun industrialisasi nasional di bawah kontrol buruh dan rakyat.
2. Pemusatan pembiayaan di dalam negeri.
3. Pemenuhan kebutuhan mendesak/darurat rakyat.
4. Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin.
5. Kebudayaan Maju, melawan, feminis, ekologis, dan bersolidaritas.
Tidak ada jalan lagi bagi kaum perempuan dan rakyat untuk melawan atau miskin. Jadikan 1 Mei sebagai hari perlawanan buruh dan rakyat, laki-laki dan perempuan.
Perempuan Keluar Rumah!
Lawan Kapitalisme, Berjuang untuk Kesejahteraan dan Kesetaraan
Ganti Pemerintahan Kapitalis SBY-Boediono; Tinggalkan Elit-elit Politik Busuk
Bersatu, Bentuk Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin
Jakarta, April 2010
Komite Nasional Perempuan Mahardhika
Sarinah
Ketua
Dian Novita
Sekretaris
21 April 2010
Seruan Mayday AYO BURUH PEREMPUAN TURUN KE JALAN, REBUT HAKMU, LAWAN REZIM KAPITALIS PENINDAS RAKYAT DAN PEREMPUAN, SBY-BUDIONO BANGUN PERSATUAN KAUM GERAKAN DAN RAKYAT YANG DEMOKRATIK, MANDIRI, FEMINIS DAN EKOLOGIS!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar