Kelas-kelas dalam Masyarakat
(Ketika Masih Diperlukan dan Ketika Tidak)
Oleh: Frederick Engels (1)
Telah sering dipertanyakan: seberapa jauh kah berbagai kelas dalam masyarakat masih berguna atau bahkan masih diperlukan? Tentu saja, dengan sendirinya, jawabannya akan berbeda di setiap kurun sejarah. Tentu saja, pada suatu masa, kelas aristokrasi merupakan suatu unsur masyarakat yang tak terelakan (ada) dan masih diperlukan. Namun itu dahulu sekali, sekian lama berselang. Pada masa lainnya, kelas menengah kapitalis atau borjuis⎯seperti orang Prancis menyebutnya⎯lahir sebagai keharusan yang juga terelakan, yang berjuang menentang aristokrasi dan berhasil mematahkan kekuasaan politiknya serta, pada gilirannya, menjadi pre-dominan secara ekonomi dan politik. Namun, sejak terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat, tak pernah ada suatu zaman yang masyarakatnya tanpa kelas pekerja. Nama dan status sosial kelas tersebut pun turut berubah; kelas hamba-sahaya menggantikan kelas budak dan, pada gilirannya pula, ia digantikan oleh kelas pekerja bebas⎯selain bebas dari perhambaan juga bebas dari semua pemilikan materi, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Namun, sangat lah jelas: perubahan apapun yang terjadi pada lapisan atas masyarakat⎯mereka yang tidak memproduksi (barang dan jasa)⎯ia tidak dapat hidup tanpa kelas penghasil/produser. Dengan demikian, kelas penghasil lah yang sebenarnya diperlukan dalam semua keadaan⎯walau, bila tiba waktunya, ia tidak akan menjadi suatu kelas lagi, ia akan menjadi keseluruhan masyarakat itu sendiri.
Nah, keniscayaan apa kah yang menentukan keberadaan masing-masing (ketiga) kelas tersebut pada saat ini?
Aristokrasi pemilik tanah, boleh dikatakan, secara ekonomi sudah tidak berguna lagi di Inggris; namun, di Irlandia dan Skotlandia, ia menjadi suatu gangguan positif karena kecenderungan-kecenderungan depopulatifnya⎯menyebarkan penduduk hijrah menyeberangi lautan, menyebabkan penduduk kelaparan, dan perannya digantikan domba atau kijang. Itu saja kegunaan yang bisa dibanggakan oleh para tuan tanah Irlandia dan Skotlandia. Coba bebaskan perkembangan persaingan produksi dan perdagangan makanan sayur-sayuran dan hewani Amerika lebih maju lagi, maka kelas aristokrasi bertanah Inggris akan melakukan hal yang sama⎯paling tidak bagi mereka yang mampu berbuat begitu⎯karena mereka mempunyai estate-estate (tanah-tanah berukuran luas) di perkotaan sebagai andalannya. Untuk selanjutnya, persaingan tersebut akan segera membebaskan masyarakat dari cara produksi feodal. Dan ini lah yang semujur-mujurnya bagi kita⎯apalagi tindak-politik mereka, baik di Majelis Tinggi dan di Majelis Rendah, sungguh, menjadi suatu gangguan nasional yang paling sengit/memuncak.
Tapi, bagaimana dengan kelas menengah kapitalisnya, kelas yang telah dicerahkan oleh liberalisme, yang telah membangun imperium kolonial Inggris dan yang telah memantapkan kebebasan di Inggris? Kelas yang, di tahun 1831, telah mereformasi parlemen, telah membatalkan Undang-undang Gandum dan menurunkan pajak demi pajak? Kelas yang telah menciptakan dan masih menguasai serta menjalankan manufaktur-manufaktur raksasa, angkatan laut perdagangan yang luar-biasa besarnya, dan sistem perkeretaapian Inggris yang terus meluas? Jelas lah kelas tersebut masih diperlukan, setidak-tidaknya sama diperlukannya seperti kelas pekerja⎯yang mereka kendalikan dan pimpin dalam melaju dari satu kemajuan ke kemajuan lainnya.
Memang, fungsi ekonomi kelas menengah kapitalis tersebut adalah menciptakan sistem manufaktur/komunikasi modern (bertenaga mesin-uap) dan menghancurkan setiap hambatan ekonomi-politik yang bisa menunda atau menghalangi perkembangan sistem tersebut. Tidak disangsikan lagi, selama kelas menengah kapitalis itu menjalankan fungsi tersebut, atau dalam keadaan-keadaan seperti itu, maka ia adalah suatu kelas yang masih diperlukan. Tetapi, masih kah keadaannya seperti itu? Apakah ia masih bisa memenuhi fungsi dasarnya, sebagai pengelola dan pengembang produksi sosial yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan? Mari kita periksa.
Bila kita memeriksanya dengan landasan (basis) material alat-alat komunikasi, yang kita dapati adalah: telegraf masih berada di tangan pemerintah. Perkeretaapian dan sebagian besar kapal-kapal laut masih belum dimiliki oleh individu-individu kapitalis—yang mengelola bisnis mereka sendirian—melainkan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan perseroan yang bisnisnya dikelola oleh buruh-buruh bayaran, oleh buruh-buruh yang kedudukannya sepenuhnya dan selengkapnya adalah sebagai pekerja-pekerja atasan yang dibayar lebih tinggi. Bagaimana dengan para direktur dan pemegang saham? Pekerja-pekerja atasan tersebut mengerti dengan baik bahwa semakin sedikit direktur dan pemegang saham mencampuri urusan manajemen dan fungsi pengawasan, maka semakin baik lah hal itu bagi perseroan tersebut. Suatu pengawasan yang longgar, hanya sekadar formalitas saja, memang merupakan satu-satunya fungsi yang masih tersisa bagi para pemilik bisnis tersebut. Dengan demikian, bisa kita mengerti bahwa sesungguhnya para kapitalis pemilik perusahaan-perusahaan raksasa tersebut tidak mempunyai kegiatan lain dalam perusahaan-perusahaan tersebut, kecuali hanya menerima deviden (pembagian keuntungan) setengah-tahunan. Dalam hal itu, fungsi sosial para kapitalis telah dialihkan kepada pekerja-pekerja yang dibayar, diupah; sedangkan mereka sendiri terus menerus mengantongi deviden⎯dan kadang menerima upah untuk fungsi-fungsi formal yang masih melekat, meski pun ia telah berhenti dari fungsi-fungsi formal tersebut.
Namun ada fungsi lain yang masih tersisa bagi para kapitalis itu, meski pun telah dipaksa “pensiun” dari manajemen karena luasnya perusahaan-perusahaan raksasa bersangkutan. Fungsi tersebut: berspekulasi dengan saham-sahamnya di bursa saham. Karena tak ada yang dikerjakan lagi maka para “pensiunan” kita itu atau, sesungguhnya, para kapitalis yang sudah digantikan fungsinya itu, berjudi sesuka-suka hati mereka di lingkungan gemah-ripah bursa saham. Mereka pergi ke bursa saham dengan niat pasti: mengantongi uang sebanyak-banyaknya, dengan berpura-pura seolah-olah uang tersebut mereka peroleh sebagai “upah”, walaupun mereka juga mengatakan bahwa asal-muasal segala pemilikan adalah kerja dan simpanan⎯barangkali memang itu asal-muasalnya, tetapi jelas bukan itu tujuannya. Betapa munafiknya: dengan kekerasan mereka menutup sarang-sarang judi yang kecil-kecil, sedangkan masyarakat kapitalis kita itu tidak dapat hidup tanpa sebuah rumah judi raksasa, tempat berjuta-juta demi berjuta-juta derita disebut sebagai kekalahan atau bahkan kemenangan (sekalipun), dan ia menjadi pusat masyarakat itu sendiri! Bila demikian hal nya, sesungguhnya, keberadaan para kapitalis pemegang saham⎯yang sudah “pensiun”⎯itu tidak saja menjadi berlebihan, tidak diperlukan lagi, tapi juga menjadi sangat mengganggu.
Kenyataannya, sungguh, perkeretaapian dan perkapalan (dengan tenaga uap) hari demi hari kian menjadi kebutuhan pula bagi semua perusahaan manufaktur dan perdagangan besar. “Pengembangan”⎯perubahan dari kongsi-kongsi besar perseorangan menjadi perseroan-perseroan terbatas⎯telah menjadi kenyataan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Dari pergudangan-pergudangan kota Manchester hingga bengkel-bengkel, tambang-tambang batu bara di Wales dan di Utara, serta pabrik-pabrik Lancashire, segalanya, sedang atau telah dikembangkan. Di seluruh Oldham nyaris hanya tersisa sebuah pabrik katun yang berada di tangan perseorangan; bahkan pedagang eceran semakin digantikan oleh “toko-toko koperatif” yang, sebenarnya, sebagian besar hanya lah koperasi papan nama belaka⎯tetapi penjelasan tentangnya kita tunda dahulu. Demikian lah, telah kita lihat bahwa perkembangan sistem produksi kapitalis itu sendiri yang merubah kelas kapitalis, berubah seperti layaknya pemintal-tangan. Tapi, perbedaan perubahannya seperti ini: pemintal-tangan ditakdirkan mati pelan-pelan karena kelaparan; namun kapitalis yang “pensiun” itu mati pelahan-lahan karena terlalu banyak makan. Dalam hal itu, mereka umumnya sama saja: keduanya tak tahu harus diapakan diri mereka itu.
Maka, ini lah hasilnya: perkembangan ekonomi masyarakat kita sekarang ini cenderung semakin terkonsentrasi, mensosialisasikan produksi ke dalam perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak dapat lagi dikelola oleh kelas kapitalis perseorangan. Segala omong-kosong tentang “ketajaman melihat” si kapitalis dan keajaiban-keajaiban yang dihasilkannya, berubah menjadi omong-kosong besar segera setelah satu perusahaan mencapai ukuran tertentu. Bayangkan lah “ketajaman melihat” (kapitalis) dalam perkeretaapian London dan Inggris Barat-laut! Yang tidak bisa dikerjakan oleh sang majikan, si kapitalis, tapi justru hanya bisa dihasilkan oleh pekerja biasa, hamba-hamba perusahaan yang berupah⎯yang, walau dengan kondisi kerja seperti itu pun, ternyata mereka berhasil.
Demikian lah, kelas kapitalis tidak dapat lagi mengklaim keuntungan-keuntungannya seolah-oleh se
agai “upah pengawasan”, karena mereka tidak mengawasi apapun. Biarkan lah para pembela modal menggembar-gemborkan bualan itu, namun omongan mereka akan selalu kita ingat-ingat.
Tapi, seperti telah dijelaskan dalam nomor minggu yang lalu, telah kita coba buktikan bahwa kelas kapitalis yang itu juga lah yang menjadi tak mampu lagi mengelola sistem produktif raksasa negeri ini; bahwa, di satu pihak, mereka telah memperluas produksi sehingga secara berkala membanjiri seluruh pasar dengan produk-produk perusahaannya namun, di lain pihak, menjadi semakin tidak mampu lagi mempertahankan dirinya terhadap persaingan dari luar (negeri). Demikian lah, telah kita buktikan bahwa kita bisa mengelola industri-industri besar negeri dengan sangat baik tanpa campur-tangan kelas kapitalis, karena campur-tangan mereka itu semakin menjadi sangat mengganggu.
Katakan kembali kepada mereka: “Menyingkir lah! Berikan kesempatan kepada kami, kelas pekerja.”
****
Diterbitkan dalam “The Labour Standard”, London, Agustus, 1881.
29 April 2010
Keberadaan Kelas dan Materialisme (dialektik) Historis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar