Catatan Hari Perempuan 8 Maret 2011
Zely Ariane[1]
Kami,
manusia urutan dua
pengasuh keluarga, rumah tangga, suami-suami, kakek-nenek, anak-anak, hingga cucu-cicitnya,
dengan rela
pemberi nyawa bagi kapital, hasil eksploitasi ujung rambut sampai ujung kaki
kambing hitam kerusakan moral dan hawa nafsu lelaki, tak henti-henti
peringkat pertama dari semua penderita penyakit dan kemiskinan
Kami,
dihimpit atas bawah, muka belakang, kiri kanan
ditindas fisik, mental, dan spiritual
Kami,
perempuan
(zy)
Seratus satu tahun bukan waktu yang sebentar bagi perjuangan perempuan melawan penindasan. Apalagi jika dihitung sejak berdirinya masyarakat ilmiah untuk perempuan di Belanda, tahun 1785. Dari perkumpulan-perkumpulan diskusi, kajian, penelitian ilmiah dan kedokteran, barisan aksi-aksi dan karya bacaan, konferensi dan berbagai petisi, kaum perempuan Eropa dan Amerika memulai perjuangan untuk kesetaraan. Diikuti perempuan-perempuan di banyak negeri-negeri jajahan, dengan karakteristik pembebasannya masing-masing, menanggapi penjajahan sekaligus persoalan-persoalan khusus perempuan.
Digeluti dan dilawannnya hambatan-hambatan di lingkup domestik dan lingkungan terdekatnya, hingga hambatan sosio kultural dan politik ekonomi masyarakat dan kekuasaan, setiap hari tanpa jeda. Banyak keberhasilan yang oleh karena itu dimenangkan, bahkan harta, keluarga, dan nyawa taruhannya. Namun tak sedikit pula yang dipukul mundur, ditarik kembali ke dalam kegelapan domestik, kemiskinan, dan penindasan fisik, mental, serta spiritual.
Inilah situasi yang harus diatasi demi melanjutkan perjuangan kesetaraan dan pembebasan perempuan sepenuhnya, yaitu: perjuangan melawan penindasan atas dasar keperempuanan (seksisme) dan seksualitasnya.
Agar adil dalam pikiran
Adil dalam pikiran berarti mengubah cara pikir dari yang menganggap bahwa kodrat perempuan selalu nomor dua, menjadi setara; dari pengasuh keluarga menjadi manusia yang bebas memajukan kemanusiaan; dari sumber eksploitasi modal menjadi manusia merdeka; dari sumber kerusakan moral masyarakat menjadi manusia yang dihargai wujud ekspresinya. Adil dalam pikiran adalah menghargai kemanusiaan dan seksualitas perempuan. Adil terhadap perempuan berarti memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki dalam hal kesempatan, hak, pilihan-pilihan hidup, cita-cita, tanggung jawab rumah tangga, dan lain sebagainya.
Keadilan ini tidak akan ada di dalam pikiran masyarakat tanpa perluasan kesadaran bahwa budaya patriarki, yang menempatkan laki-laki sebagai sentral; penentu kebijakan; penguasa rumah tangga, dll, adalah masalah yang harus dilawan. Keadilan ini juga tak bisa dimenangkan ketika sistem ekonomi hanya melayani segelintir orang kaya (baik laki-laki maupun perempuan) dengan mengeksploitasi, memiskinkan dan meminggirkan mayoritas yang lainnya (baik laki-laki maupun perempuan). Keadilan ini sudah pasti tak terwujud di bawah moncong senjata dan operasi militer, kekuasaan yang anti demokrasi, kelompok-kelompok masyarakat yang merasa benar dan anti dialog, serta pemuka-pemuka agama yang tak mau mendengar dan belajar.
Lalu mengubah dunia
Di dalam penjara Bukitduri, Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) mengatakan: “tak pernah kami mengajarkan hal-hal jahat. Pengurus Gerwani mengajar anggotanya berjuang meningkatkan martabat & keterampilan, agar bisa mandiri. Juga mendorong anak-anak rajin belajar & bekerja, menolong sesama, mencintai kehidupan dan kerja”. Namun, karena perjuangan yang demikian menghendaki perubahan politik dan orientasi ekonomi yang menguntungkan mayoritas perempuan dan orang miskin, maka perempuan-perempuan Gerwani menjadi martir yang dibantai dan dipenjara sewenang-wenang, tanpa peradilan, di penghujung tahun 1960.
Di dalam perjuangan meningkatkan martabat dan keterampilan, kaum perempuan sebenarnya sedang menuntut keadilan terhadap akses pekerjaan yang produktif dan berupah layak. Dengan itulah perempuan memiliki landasan untuk menjadi mandiri, tidak bergantung pada kekuasaan ekonomi laki-laki di dalam rumah tangga. Untuk itu pula perempuan harus berpartisipasi dalam pendidikan, setinggi-tingginya, menyumbangkan kreativitas dan pengetahuannya untuk kemajuan kemanusiaan. Semua ini menjadi landasan penting bagi pembebasan pilihan-pilihan hidup serta hak atas tubuh perempuan, agar lebih banyak lagi kaum perempuan yang dapat menikmati kebahagiaan mental, fisik, dan spiritualnya.
Namun kemandirian ekonomi hanyalah landasan, yang tidak serta merta akan memberi kemandirian pada pilihan-pilihan hidup dan kebahagiaan personal perempuan. Karena yang terakhir ini erat berkaitan dengan cara berfikir masyarakat—termasuk perempuan di dalamnya—yang tidak menyadari dirinya tertindas oleh patriarki. Patriarki inilah penyakit sosial yang turun menurun; membuat perempuan sebagai the silent majority yang dipaksa, hingga terbiasa, berkompromi mengorbankan hak-hak kemanusiaannya; menyingkirkan kebahagiaan individualnya demi kepentingan pemilik rumah tangga; tak berkutik atas subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, kekerasan, stereotipe, dan beban ganda. Obat atas penyakit ini sangat sulit dan mahal, apalagi bagi mayoritas perempuan yang menjadi korban kemiskinan. Pengobatan hingga sembuh menghendaki perubahan masyarakat (cara berfikir, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi) secara menyuluruh.
Di Indonesia, perjuangan ini kini menjadi lebih sulit, karena demokrasi hasil reformasi tahun 1998 tidak bertambah berpihak pada perempuan. Kita memang telah mendapatkan payung hukum untuk tindakan kekerasan di dalam rumah tangga; kesempatan politik yang lebih besar melalui kuota 30% untuk perempuan di partai politik. Namun di saat bersamaan kita juga dihadapkan pada 151 Perda Syariah di berbagai daerah di Indonesia yang, langsung atau tak langsung, membatasi ruang gerak dan ekspresi perempuan. Persoalan kemiskinan yang lebih hebat menyerang perempuan membuat dampak dari Perda-perda tersebut lebih jahat terhadap perempuan miskin.
Perda Prostitusi Bantul, Yogyakarta, No 5 tahun 2007 adalah salah satu bukti ketika Perda Syariah menyerang perempuan miskin lebih hebat. Perda inilah yang menjadi legitimasi penggusuran besar-besaran warga Parangtritis; perempuan-perempuan yang terpaksa menjadi pelacur demi menghidupi keluarga; dan pedagang-pedagang angkringan, demi pembangunan pariwisata pantai milik Sultan Jogja.
Belum lagi serangan kenaikan harga bahan pokok, kesehatan dan pendidikan yang semakin tak terjangkau—ingat: angka kematian ibu Indonesia masih tertinggi di Asia—lapangan kerja yang semakin tak produktif dan tak bermartabat, pemutusan hubungan kerja yang lebih banyak mengorbankan perempuan, kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja, perdagangan perempuan dan anak, eksploitasi tubuh perempuan oleh industrinya para pemodal, aborsi tak man, poligami, perdagangan perempuan, dan seterusnya. Semua itu menyerang perempuan-perempuan pekerja dan perempuan miskin lebih hebat lagi.
Inilah perjuangan pembebasan perempuan yang tidak dapat dituntaskan oleh organisasi-organisasi perempuan sebelumnya. Namun mereka telah meletakkan dasar-dasar pembangunan organisasi dan metode pergerakan bagi keberhasilan perjuangan perempuan selanjutnya.
Organisasi alatnya; pergerakan caranya
Organisasi perjuangan perempuan adalah alat utama bagi perluasan kesadaran kesetaraan perempuan. Setelah 33 tahun dibawah penindasan pemerintahan diktator anti kesetaraan dan pembebasan perempuan, reformasi 1998 juga menjadi pintu gerbang bagi bertumbuhnya organisasi-organisasi perempuan yang bertujuan melawan penindasan. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, komunitas-komunitas pro kesetaraan jender, kelompok-kelompok diskusi, buku-buku kajian dan penelitian-penelitian sosial mengenai hak perempuan semakin banyak, sehingga memberikan sumbangan pada peningkatan kesadaran jender.
Menjamurnya organisasi, kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga perempuan tidak serta merta bermakna bagi perluasan kesadaran jender jika tanpa pergerakan perempuan. Gelombang feminisme satu dan dua adalah bukti betapa pergerakan perempuan memainkan peran kunci dalam perubahan nasib perempuan secara lebih struktural. Pergerakan perempuan adalah cara perempuan menunjukkan sikap dan ekspresinya secara lebih sistematis, luas, dan politis. Karena kesejahteraan, kesetaraan, dan pembebasan perempuan, menghendaki perubahan sistem kekuasaan di dalam masyarakat.
Inilah pekerjaan rumah seluruh organisasi, komunitas, dan lembaga-lembaga perempuan di Indonesia saat ini: menghidupkan kembali pergerakan perempuan. Tujuannya, agar reformasi tidak semakin jauh mengkhianati perempuan; orientasi ekonomi tidak lebih jauh menyingkirikan perempuan; dan elit-elit politik sisa lama, tentara, dan reformis yang gadungan tidak semakin leluasa mempermainkan nasib perempuan.
Semoga 8 Maret 2011 adalah awal bagi penyatuan kekuatan kita. (zy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar