(MAHARDHIKA.NEWS) Pada tanggal 19 agustus 2010 Menteri Perhubungan, Fredy Numberi dan Linda Gumelar selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan meresmikan Kereta Khusus Wanita (KKW) di Stasiun Depok, Jawa Barat. Peresmian ini menjadi symbol mulai diberlakukannya gerbong kereta khusus bagi perempuan dan anak yang berumur di bawah 10 tahun untuk Kereta Rangkaian Listrik (KRL) AC Ekonomi dan KRL Express tujuan Jakarta- Depok. PT.KAI menyiapkan 3 Kereta Rangkaian Listrik (KRL) untuk menyediakan layanan khusus bagi perempuan yang terletak di gerbong pertama dan gerbong terakhir, dengan kapasitas masing-masing berjumlah 300 penumpang. Menurut Direktur Utama PT.KAI, Ignatius Jonan, Pemberlakuan Kereta Khusus Wanita (KKW) ini merupakan jawaban pemerintah atas keresahan penumpang perempuan yang kerap kali mengalami pelecehan seksual di dalam KRL.
Peluncuran gerbong khusus perempuan ini bukan yang pertama kalinya dilakukan oleh pemerintah sebagai solusi atas kekerasan seksual yang dialami oleh penumpang perempuan. Sebagaimana pernyataan dari Wakil Kepala Stasiun Manggarai, Dwi Purwanto kepada okezone “memang ada namun sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah lama, kalau tidak salah hampir beberapa tahun. Salah satu kendalanya adalah ketika penumpang datang bersama keluarga.”
Pasca peluncuran Kereta Khusus Wanita (KKW) tanggapan pro dan kontra dari masyarakat mulai bersahutan. Menurut Dita, salah satu penumpang KRL yang berhasil kami wawancarai, adanya gerbong khusus perempuan dinilai akan mampu mengurangi tingkat kekerasan seksual yang terjadi di kereta “saya merasa lebih nyaman jika ada gerbong khusus perempuan, jadinya saya tidak perlu lagi berdesakan dengan penumpang laki-laki dan saya rasa ini akan mampu mengurangi pelecehan seksual yang belakangan ini kerap terjadi”.
Berbeda dengan pendapat Dita, Mutiara menilai pemberlakuan Kereta Khusus Wanita ini bukan solusi bagi pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Perempuan berperawakan tinggi yang selalu memanfaatkan KRL Ekonomi sebagai penunjang transportasinya ini menganggap persoalan perempuan tidak bisa hanya di jawab dengan pemberlakuan Kereta Khusus Wanita (KKW). “Yah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini ibaratnya mencabut rumput tanpa mencabut akar. Semestinya jika pemerintah serius dalam menangani persoalan perempuan, maka selesaikanlah akar persoalannya.”
Di tengah kultur masyarakat Indonesia yang masih memegang prinsip pengagungan patrairkal, perempuan kerap kali menerima perlakuan yang tidak adil dari berbagai elemen masyarakat. Kekerasan fisik dan pelecehan seksual terhadap perempuan bukan lagi menjadi fenomena baru di Indonesia. Menurut data dari Lembaga Pengada Layanan, Jumlah Kekerasan terhadap perempuan tahun 2001-2008 meningkat sebesar 213 persen mencapai 54.425 kasus. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan pada tahun 2008 dua jenis kekerasan yang paling besar dialami perempuan adalah kekerasan ekonomi dalam rumah tangga dan kekerasan seksual.
Ironisnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan tidak mempunyai solusi konkrit terhadap penyelesaian kompleksitas persoalan perempuan. Program pemberdayaan dan sosialisasi yang sering dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi sia-sia ketika kebijakan pemerintahan di bawah kekuasaan agen Kapitalisme, SBY-Boediono terus memproduksi kebijakan yang menyesengsarakan rakyat Indonesia. Sebut saja kebijakan privatisasi yang menyebabkan mayoritas perempuan miskin tidak mampu menikmati fasilitas pendidikan, kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik yang mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan dasar rakyat, pengesahan Undang-Undang Pornografi sebagai bentuk kriminalisasi terhadap tubuh perempuan sekaligus menanamkan stereotype negative terkait tubuh perempuan sebagai penggoda ulung yang harus dibatasi untuk menyelamatkan moral bangsa, serta kebijakan-kebijakan diskriminatif lainnya. Belum termasuk 63 Peraturan Daerah yang secara eksplisit mendiskriminasikan posisi perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi, pengabaian hak perempuan atas perlindungan, pengurangan hak atas kepastian hukum bagi perempuan,dll.
Kebijakan pemberlakuan Kereta Khusus Wanita mungkin bisa menjadi salah satu program afirmasi sebagai upaya pemberantasan tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan di wilayah publik. Namun di sisi lain, pelanggengan kekerasan oleh pemerintah melalui kebijakan yang diskriminatif dan menyengsarakan rakyat justru semakin menambah korban perempuan baik dari segi ekonomi, politik maupun sosial. Sehingga menjadi terang bagi kita, efektivitas pemberlakuan KKW dalam menanggulangi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia(LIM)
Pasca peluncuran Kereta Khusus Wanita (KKW) tanggapan pro dan kontra dari masyarakat mulai bersahutan. Menurut Dita, salah satu penumpang KRL yang berhasil kami wawancarai, adanya gerbong khusus perempuan dinilai akan mampu mengurangi tingkat kekerasan seksual yang terjadi di kereta “saya merasa lebih nyaman jika ada gerbong khusus perempuan, jadinya saya tidak perlu lagi berdesakan dengan penumpang laki-laki dan saya rasa ini akan mampu mengurangi pelecehan seksual yang belakangan ini kerap terjadi”.
Berbeda dengan pendapat Dita, Mutiara menilai pemberlakuan Kereta Khusus Wanita ini bukan solusi bagi pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Perempuan berperawakan tinggi yang selalu memanfaatkan KRL Ekonomi sebagai penunjang transportasinya ini menganggap persoalan perempuan tidak bisa hanya di jawab dengan pemberlakuan Kereta Khusus Wanita (KKW). “Yah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini ibaratnya mencabut rumput tanpa mencabut akar. Semestinya jika pemerintah serius dalam menangani persoalan perempuan, maka selesaikanlah akar persoalannya.”
Di tengah kultur masyarakat Indonesia yang masih memegang prinsip pengagungan patrairkal, perempuan kerap kali menerima perlakuan yang tidak adil dari berbagai elemen masyarakat. Kekerasan fisik dan pelecehan seksual terhadap perempuan bukan lagi menjadi fenomena baru di Indonesia. Menurut data dari Lembaga Pengada Layanan, Jumlah Kekerasan terhadap perempuan tahun 2001-2008 meningkat sebesar 213 persen mencapai 54.425 kasus. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan pada tahun 2008 dua jenis kekerasan yang paling besar dialami perempuan adalah kekerasan ekonomi dalam rumah tangga dan kekerasan seksual.
Ironisnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan tidak mempunyai solusi konkrit terhadap penyelesaian kompleksitas persoalan perempuan. Program pemberdayaan dan sosialisasi yang sering dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi sia-sia ketika kebijakan pemerintahan di bawah kekuasaan agen Kapitalisme, SBY-Boediono terus memproduksi kebijakan yang menyesengsarakan rakyat Indonesia. Sebut saja kebijakan privatisasi yang menyebabkan mayoritas perempuan miskin tidak mampu menikmati fasilitas pendidikan, kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik yang mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan dasar rakyat, pengesahan Undang-Undang Pornografi sebagai bentuk kriminalisasi terhadap tubuh perempuan sekaligus menanamkan stereotype negative terkait tubuh perempuan sebagai penggoda ulung yang harus dibatasi untuk menyelamatkan moral bangsa, serta kebijakan-kebijakan diskriminatif lainnya. Belum termasuk 63 Peraturan Daerah yang secara eksplisit mendiskriminasikan posisi perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi, pengabaian hak perempuan atas perlindungan, pengurangan hak atas kepastian hukum bagi perempuan,dll.
Kebijakan pemberlakuan Kereta Khusus Wanita mungkin bisa menjadi salah satu program afirmasi sebagai upaya pemberantasan tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan di wilayah publik. Namun di sisi lain, pelanggengan kekerasan oleh pemerintah melalui kebijakan yang diskriminatif dan menyengsarakan rakyat justru semakin menambah korban perempuan baik dari segi ekonomi, politik maupun sosial. Sehingga menjadi terang bagi kita, efektivitas pemberlakuan KKW dalam menanggulangi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia(LIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar