PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

22 Agustus 2010

Bangun Organisasi dan Kompartemen Perempuan Mandiri, Wujudkan Cita-Cita Pembebasan Perempuan

Oleh:
Linda Sudiono

Pengorganisiran dan gerakan perempuan gelombang pertama dan kedua membawa keberhasilan yang cukup signifikan bagi perubahan kondisi sosio kultural perempuan. Perempuan yang pada awalnya masih terkungkung kondisi pingitan dalam ranah domestik, saat ini sudah relatif mampu menikmati keindahan dan keanggungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang terus mengalami dialektika dari setiap fase perkembangan sejarah. Namun apakah benar bahwa agenda emansipasi perempuan telah berhasil dan menemui titik jenuhnya? Apakah benar bahwa perempuan telah memperoleh kesetaraannnya ketika dia mampu bersaing dengan laki-laki? Perlu analisa lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan kompleks yang timbul dari persoalan itu.

Terbukanya ruang demokrasi pasca penghancuran kekuasaan sistem pemerintahan gereja yang otoriter menjadi cikal bakal munculnya gerakan pembebasan perempuan yang pertama sekaligus sebagai tonggak awal perjuangan pembebasan perempuan. Pada awal tahun 1800an gerakan progresif baik laki-laki dan perempuan terlibat dalam gerakan perjuangan pembebasan perbudakan. Pengalaman yang didapatkan dari keterlibatan perempuan dalam berbagai perjuangan demokratik telah memberikan landasan bagi kebangkitan gerakan perjuangan pembebasan perempuan. Puncak dari perjuangan mereka kemudian melahirkan sebuah pertemuan tentang hak-hak perempuan yang pertama di Seneca Falls, New York, pada tahun 1848. Dari hasil pertemuan tersebut kemudian lahirlah Declaration of Sentiments (Deklarasi keprihatinan), yang berisi tentang tuntutan-tuntutan hak bagi perempuan yang selama ini didiskreditkan oleh doktrin agama, seperti kesetaraan di depan hukum, hak untuk mendapatkan pendidikan dan hak untuk dipilih dan memilih.

Gerakan perempuan gelombang pertama ini turut memberikan penyadaran terhadap buruh perempuan. Pada bulan maret 1859 di New York, Amerika serikat untuk pertama kalinya buruh perempuan mengorganisir diri dan membentuk serikat buruh pertama untuk memperjuangkan hak dasar di tempat kerja, cuti hamil dan jaminan kesehatan. Pada waktu yang bersamaan juga berdiri organisasi perempuan untuk memperjuangkan hak pilih seperti International Women Suffrage Alliance. Pengorganisiran aksi protes semakin masif dan meluas. Tercatat, pada tanggal 8 maret 1908 sebanyak 15.000 perempuan turun kejalan kota new york menuntut diberlakukannya 8 jam kerja, hak pilih dalam pemilu dan diberhentikan memperkerjakan anak dibawah umur, dengan mengusung slogan “Roti dan Bunga”. Roti melambangkan jaminan ekonomi dan bunga melambangkan kesejahteraan hidup. Peristiwa penting inilah yang selanjutnya menginspirasi clara zetkin, seorang aktivis perempuan jerman, mengusulkan tanggal 8 maret sebagai hari perempuan internasional dalam konferensi sosialis internasional yang diselenggarakan pada tahun 1910 di Denmark.

Beberapa hal yang menjadi titik lemah gerakan feminisme pertama adalah terpecahnya gerakan pembebasan perbudakan dan gerakan pembebasan perempuan pada tahun 1867 ketika amandemen ke 15 pada konstitusi memberikan hak suara pada lelaki kulit hitam. Sebagian besar aktivis anti perbudakan beranggapan bahwa perjuangan pembebasan perbudakan harus terpisah dari perjuangan pembebasan perempuan untuk menghindari terpecahnya konsentrasi perjuangan. Anggapan ini adalah keliru karena perempuan merupakan kompartemen yang berada dalam segala sektor kehidupan, sehingga perjuangan pembebasan perbudakan tidak akan menjadi efektif bahkan mustahil dapat berhasil jika hak bagi perempuan budak masih terabaikan. Selain itu, bangkitnya gerakan feminisme pertama yang dipelopori oleh kaum perempuan dari kalangan menengah keatas di negara maju telah mengabaikan hak perempuan kalangan akar rumput, terutama perempuan di dunia berkembang tertindas secara kultur maupun ekonomi politik.

Perubahan ekonomi politik pada tahun 1930 yakni great depression yang berpengaruh global telah melahirkan perang perebutan pasar yang sengit terjadi pada tahun 1939-1945. Industri alat perang mulai berkembang dan dibutuhkan tenaga kerja yang semakin banyak untuk mengisi industri tersebut ketika mayoritas kaum lelaki berperang. Kondisi ini memberikan kesempatan bagi perempuan untuk keluar sejenak dari kegelapan domestiknya. Dikatakan sejenak karena pada tahun 1950an kaum perempuan kembali dipukul mundur melalui kampanye “Perempuan Kembali Kerumah” karena muncul anggapan bahwa perempuan yang keluar rumah adalah biang dari alkoholisme, kejahatan anak, kenakalan, dll.

Kesempatan perempuan untuk mengakses informasi dan pengetahuan melalui keterlibatannya dalam wilayah publik memberikan pengetahuan sekaligus kesadaran untuk terbebas dari diskriminasi melalui perjuangan perolehan hak yang setara di segala sektor. Pada tahun 1960-1970, mulai muncul berbagai aliran feminisme yang lahir dari hasil evaluasi kegagalan gerakan perempuan gelombang I. Pada masa-masa ini pulalah, gagasan tentang feminisme mulai masuk kedalam dunia akademik dan menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Teori feminisme mulai berkembang luas pada masa ini, dan melahirkan berbagai aliran feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal sampai pada feminisme sosialis. Satu hal positif yang bisa kita ambil dari bangkitnya gerakan feminisme kedua adalah kesadaran akan universalitas penindasan perempuan. Penelitian yang dilakukan terhadap perempuan dari negara dunia ketiga menyimpulkan bahwa perempuan negara dunia ketiga mengalami penindasan ganda akibat kultur budaya patriarki dan sistem ekonomi politik yang menindas akibat penjajahan, sehingga walaupun negara dunia ketiga mengalami kemerdekaan namun perempuan masih terkungkung oleh penindasan. Aktivitas perjuangan mereka memang hanya sampai pada tataran wacana namun mampu menginjeksi kesadaran banyak kalangan tentang penting persatuan perjuangan gerakan demokratik dengan perjuangan perempuan.

Beberapa capaian yang di dapatkan dari gerakan feminisme gelombang kedua adalah dikeluarkannya equal pay Right pada tahun 1963 dimana perempuan dapat memperoleh upah yang sama dengan lelaki. Pada tahun 1964 di sahkan equal right act, sebuah produk undang-undang yang memberikan hak pilih kepada perempuan di segala bidang. Selain itu, isu yang diusung dalam gerakan periode ini juga lebih meluas, tidak hanya sampai pada persoalan perempuan di negara maju (penuntutan hak pilih) dan pembebasan perbudakan namun meluas menjadi bagian dalam gerakan hak sipil, gerakan anti perang dan gerakan pembebasan kaum homoseksual.

Pada era yang sama di amerika selatan, perempuan turut mengorganisir kekuatan demonstrasi yang berhasil menjatuhkan kediktatoran,seperti dalam revolusi kuba, nikaragua, pergolakan politik diargentina dan chili. Di palestina, kaum perempuan terlibat dalam perjuangan bersenjata, memimpin demonstrasi, membangun komite pelayanan rakyat dan memimpin pemboikotan produk israel di jalur gaza dan tepi barat.

Bagaimana Perkembangan Gerakan Perempuan di Indonesia?
Banyak tokoh perempuan yang muncul pada abad 19 dan abad 20 yang mengambil metode bersenjata dalam agenda pembebasan rakyat di era penjajahan Belanda. Sebut saja, cut nyak dien dan cut meutia dari aceh, Roro Gusik dari Maluku atau Martha Tiahahu dari Sulawesi Selatan.

Diluar itu, banyak juga pejuang perempuan yang mengambil metode lain dalam usaha pembebasan rakyat, khususnya perempuan. Di Minang Kabau ada Rohana Kudus yang memberdayakan perempuan dengan mendirikan lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan miskin, Dewi Sartika yang mengambil permulaan dari pengajaran dan pendidikan untuk membangun produktivitas perempuan dengan mendirikan sakola istri (sekolah perempuan) diantara semua itu yang paling terkemuka tentunya adalah R.A Kartini yang dianggap sebagai pelopor emansipasi Perempuan di Indonesia. R.A Kartini termasuk perempuan yang sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk bergelut dengan pendidikan di Europese Lagere School (setingkat sekolah dasar) pada saat budaya pingitan terhadap perempuan tengah memasung ketat dalam sistem sosio kultural masyarakat. Hal ini jugalah yang telah melahirkan kemampuan R.A Kartini untuk menganalisa dan berpikir kritis terhadap kondisi masyarakat Pribumi Hindia Belanda, khususnya Perempuan. Bagi Kartini, Rekonstruksi tatanan nilai masyarakat yang mendiskreditkan hak perempuan haruslah dimulai dengan pasokan pendidikan dan pengajaran yang selayaknya bagi anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bagi kartini, perempuan sebagai seorang ibu selayaknya menjadi tonggak perubahan kesadaran masyarakat melalui didikan-didikan yang berkesadaran terhadap anak-anaknya. Mungkin untuk zaman sekarang, pendapat semacam ini belum mampu menjawab tuntas akar persoalan ketidaksetaraan perempuan, namun harus diakui bahwa pemikiran-pemikiran kartini yang dipublikasikan luas dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” telah memotivasi perempuan Indonesia untuk melahirkan gerakan mobilisasi perubahan masyarakat yang sensitif gender.

Bersamaan dengan itu, di sebuah media cetak pribumi pertama yang diampuh oleh Tirto Adisoeryo juga mulai menggagas tentang isu perempuan. Dalam tahun berikutnya, organisasi perempuan mulai berjamuran di Nusantara. Sejarah mencatat, organisasi Perempuan yang pertama berdiri di Indonesia adalah Poetri Mardhika yang memiliki kaitan erat dengan organisasi “Boedi Oetomo”, di ikuti dengan perkumpulan Putri Sejati dan Wanita Utama. Konsentrasi perkumpulan ini pada awalnya hanya bersifat kedaerahan dengan agenda pembahasan mengenai peranan perempuan sebagai seorang ibu dengan keterampilan dan pendidikan yang dapat mendukung tugasnya dalam mengayomi keluarga.
Pasca tumbuhnya hasrat pembebasan nasional rakyat pribumi di bawah penjajahan Belanda, sejarah gerakan perempuan Indonesia mulai mendapatkan titik pertumbuhannya yang cukup signifikan. Propaganda yang massif tentang keprihatinan kondisi perempuan pada saat itu memicu partai maupun organisasi nasional untuk membangun kompartemen atau seksi perempuan. Perjuangan perempuan berkembang menjadi perjuangan yang bersifat ideologis. Sejarah mencatat , pada dasawarsa 1930an, perempuan yang tergabung dalam Sarekat Rakyat berhasil mengorganisir demonstrasi politik buruh perempuan.

Pada zaman penjajahan jepang, organisasi nasional dihancurkan. Organisasi perempuan yang diizinkan untuk berdiri hanyalah Fujinkai yang memiliki garis koordinasi yang ketat dengan pemerintahan jepang. Salah satu organisasi yang masih terus melanjutkan perjuangan anti kolonialismenya adalah gerakan Wanita Sosialis, yang memillih metode bergerilya. Pasca kekalahan jepang pada tahun 1945, Indonesia memperoleh kemerdekaannya yang pertama. Tidak dapat disangkal lagi bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian dari kolonial namun merupakan hasil akumulasi tenaga produktif rakyat tertindas di Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki. Indonesia “Baru” meninggalkan persoalan berkepanjangan akibat perang dan krisis ekonomi. Di satu sisi, presiden soekarno mendengungkan pentingnya konsentrasi tenaga produktif, baik laki-laki dan perempuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga Indonesia dan menamakan dirinya sebagai “ Pemimpin Tertinggi Gerakan Wanita Revolusioner” disisi lain, masih mempraktikkan tindakan-tindakan pelecehan dan pengkhianatan terhadap perjuangan perempuan, seperti Poligami. Hal ini menjadi pukulan berat bagi perjuangan pembebasan perempuan, sekaligus menjadi salah satu penyebab lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang sampai saat ini menjadi legitimasi praktik poligami dan pelanggengan domestifikasi perempuan.

Konstelasi politik Indonesia pasca kemerdekaan mengalami perubahan yang sangat cepat dan signifikan. Peristiwa oktober 1965 membawa titik kehancuran pemerintahan presiden Soekarno sekaligus penghancuran terhadap organisasi progresif revolusioner pada saat itu. Embrio orde baru yang dikepalai oleh Soeharto memanfaatkan supersemar mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 untuk membubarkan PKI atas nama Presiden Soekarno. Berikutnya, dikeluarkan lampiran keputusan presiden/panglima tertinggi ABRI/ panglima besar komando ganyang Malaysia dengan Nomor 85/KOGAM/1966 tertanggal 31 Mei 1966 yang ditandatangani oleh Letjen Soeharto menginstruksikan pembubaran terhadap organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI, sekaligus lampiran daftar organisasi yang dimaksud. Salah satunya adalah GERWANi yang merupakan organisasi paling besar, radikal dan revolusioner.

Hal ini tidak membuat para pimpinan gerwani menjadi gentar. Pasca keluarnya instruksi penangkapan terhadap anggota GERWANI, beberapa pimpinan pusat yang diketuai oleh Sulami menerbitkan buletin PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno) sebagai salah satu media kampanye penyelamatan kekuasaan presiden soekarno dan terus melakukan pengorganisiran dengan bergerilya sebelum akhirnya ditangkap karena dengan tuduhan sebagai dalang pembunuhan terhadap enam orang jenderal dimana Gerwani dituduh telah melakukan penyiksaan imoriil terhadap keenam orang jendral tersebut dengan tarian “Harum Bunga”.

Tahun 1967, pemerintahan Orde Baru resmi berkuasa dengan soeharto sebagai presidennya. Berkuasanya pemerintahan orde baru sekaligus membuka babak baru kekuasaan otoritarian militer di Indonesia. Pemerintahan ordebaru dengan gencar mengkampanyekan ideologi ibuisme untuk menuntaskan progresifitas perempuan yang dianggap menjadi ancaman bagi kekuasaan otoriter. Perempuan “diagungkan” dengan istilah tonggak kemajuan negara untuk mengukuhkan posisinya sebagai pengayom dan pelestari keluarga. Di bawah pemerintahan orde baru, kemandirian bangsa yang selama ini diusung oleh presiden soekarno dirombak total melalui penandatangan letter of intens dengan dikemas dalam agenda pembangunan atas nama Structural adjustment program (program penyesuaian strktural). Dibawah pemerintahan orde baru, Indonesia “berhasil ” menjadi salah satu anak emas bagi kapitalis asing. Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah ruah digadaikan untuk membangun imperium cendana yang jaya. Ternyata hasil dari penggadaian kekayaan alam Indonesia dianggap masih kurang untuk membangun sebuah imperium keluarga, maka mengemis utang pun dilaksanakan, dengan pembayaran yang tentunya ditanggung oleh rakyat Indonesia melalui pajak, devisa buruh perempuan migran, dll. Lembaga keuangan internasional tentunya dengan senang hati memberikan pinjamannya ke Indonesia karena penguasa kesayangannya di Indonesia menyepakati syarat-syarat ekspansi yang ditawarkan. Lengkaplah syarat Indonesia untuk menjadi bangsa Koeli dengan landasan ekonomi yang dibangun diatas utang dan modal asing sekaligus penghancuran terhadap tenaga produktif dalam negeri.

Setetlah 32 tahun berkuasa, pemerintah orde baru akhirnya berhasil ditumbangkan oleh gerakan rakyat yang masif. Sayangnya, agenda reformasi diserahkan kepada para elit-elit baru yang memanfaatkan agenda reformasi untuk menarik simpatik rakyat, naik ke singgasana kekuasaan dan menjadi anak emas bagi kapitalis asing. Kebobrokan struktural yang selama ini berhasil ditutupi oleh pemerintahan ordebaru mulai terkuak. Penguasa baru memilih jalan aman, meneruskan “cita-cita” soeharto untuk menjadi agen kesayangan asing. Utang diperbesar, aset negara dijual mumpung laku, industri dalam negeri harus segera dikawinkan mumpung ditaksir, nasib rakyat harus dikorbankan mumpung perlawanan belum bergejolak, rakyat miskin yang bodoh harus dimanfaatkan mumpung belum pintar. Penguasa “didikan” orde baru memang senang mencari mumpungan. Di sisi lain, rakyat Indonesia dibangunkan dari tidurnya yang berkepanjangan. Gerakan massa penggerak reformasi memberikan didikan politik yang sangat berharga kepada rakyat Indonesia yang selama menjadi korban depolitisasi rezim orde baru. Gejolak massa mulai bergelora. Rakyat Indonesia diingatkan kembali dengan metode aksi massa yang selama ini diredam dengan kekuatan militer oleh pemerintahan otoritarian soeharto. Tuntutan terhadap negara semakin gencar, meskipun kebanyakan masih bersifat ekonomis namun hal ini harus dipandang sebagai embrio yang subur untuk dibuahi oleh kaum revolusioner menjadi gelombang perlawanan massa yang berkesadaran politis bahkan ideologis.

Agenda reformasi yang berjalan setengah hati ini memicu segelintir intelektual untuk mewarnainya dengan program pemberdayaan yang bersifat ekonomis. Lembaga-lembaga pemberdayaan bagi masyarakat menemukan ladang suburnya untuk berkembang. Memanfaatkan era reformasi untuk menjalankan agenda-agenda pembaharuan yang bersifat reformis atau sekedar advokasi kasus yang berlandaskan pada moralitas. Tidak sedikit yang mengambil titik fokus pada pemberdayaan perempuan, merecoki kesadaran massa dengan memisahkan persoalan perempuan yang sesungguhnya memiliki interelasi secara sistemik di segala sektor. Mereka tampil sebagai dewa penolong, melatih rakyat miskin untuk “iklas” dengan penindasan. Akibatnya gejolak massa teredam, persoalan struktural rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara tersamarkan, atau sekedar menjadi agen pelaksana program dari para pendana internasional. Perempuan Indonesia yang selama puluhan tahun dihancurkan produktivitasnya, mungkin bisa sedikit terdorong maju dari agenda pemberdayaan tersebut. Namun bagaimanapun besarnya program pemberdayaan dalam berkontribusi terhadap produktivitas perempuan, program pembaharuan tetaplah hanya menjadi program afirmasi atau program antara yang tidak akan mampu menyelesaikan akar persoalan perempuan tanpa ditindaklanjuti dengan jalan keluar sejati bagi rakyat tertindas khususnya perempuan.

Lahirnya masyarakat berkelas selain melahirkan kontradiksi kelas yang tidak terdamaikan, juga melahirkan penyingkiran perempuan yang bertransformasi menjadi sebuah budaya yang disebut sebagai patriarki. Kelimpahan yang dikuasai oleh individu telah menyingkirkan perempuan dari lapangan produksi, beralih kewilayah domestik sebagai pekerja reproduktif, mesin penghasil tenaga kerja. Terbentuklah unit ekonomi sosial terkecil dalam masyarakat yang disebut sebagai keluarga sebagai suatu institusi transmisi kepemilikan pribadi sekaligus “penjara” bagi perempuan. Streotipe negatif terhadap perempuan terus diproduksi oleh masyarakat berkelas untuk mengukuhkan posisi penyingkiran terhadap perempuan dan terus bermertamorfosis menjadi sesuatu yang dianggap wajar dalam kesadaran setiap individu masyarakat.

Dalam sistem kapitalisme, ketika kehidupan ekonomi politik di analisa berdasarkan logika modal, penguasaan terhadap kekayaan oleh segelintir orang menjadi semakin tidak masuk akal karena kerja-produksi yang dilakukan secara sosial. Kesetiaan terhadap prinsip akumulatif yang menjadi roh dari kapitalisme “memaksa” para pemilik modal untuk melakukan ekspansi mencari lahan eksploitasi yang semakin luas, menebus batas negara, memasuki ranah politik untuk menciptakan kebijakan dan ideologi yang dapat menjadi stimulus bagi tujuan dasarnya. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh lenin bahwa “ tahap tertinggi dari kapitalisme adalah imperialisme”. Kapitalisme membutuhkan pasar baru untuk mencegah over produksi dan turunnya keuntungan serta membutuhkan bahan mentah baru untuk menjalankan sistem produksi. Globalisasi menjadi tahap penting imperialisme dimana modal akan mulai menjalar dan menyeret seluruh dunia untuk terlibat dalam sistem kapitalisme. Ditengah gencarnya ekspansi kapital yang dilancarkan, tenaga kerja semakin banyak dibutuhkan untuk dapat meningkatkan hasil produksi dengan penghisapan brutal terhadap para penjual jasa. Perempuan yang selama ini “dipingit” dalam ranah domestik diselamatkan untuk menikmati keindahan wilayah publik terlibat dalam kerja produksi. Namun semakin banyak buruh yang dipekerjakan berarti akan semakin besar ongkos produksi yang dikeluarkan untuk membayar upah, maka paham patriarki yang merupakan hasil dari corak produksi lama di gali keluar, dilanggengkan untuk membayar lebih murah para pekerja perempuan. Tidak hanya itu, kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dilahirkan negara dianggap akan membebani keuntungan kapitalis, maka para penguasa negara yang rendah iman dedikasinya diajak untuk bekerja sama menjadi perpanjangan tangannya dengan iming-iming keuntungan pribadi yang berlimpah ruah. Tidak heran ketika negara mulai mengurangi biaya pemberdayaan sosial seperti subsidi dan disubstituenkan dengan kebijakan yang menguntungkan para kapitalis. Di Indonesia, kebijakan itu tidak susah kita jumpai, seperti liberalisasi aset asing, liberalisasi di bidang pendidikan atau kesehatan, ataupun kebijakan untuk mengimbangi ekses-ekses yang dihasilkan oleh krisis kapitalis seperti kenaikan harga sembako, kenaikan harga BBM, dll. Rakyat miskin yang tidak mempunyai penguasaan terhadap alat produksi dibiarkan hanya menjadi penonton dari perkembangan teknologi informasi tanpa adanya kesempatan untuk turut menikmati. Alhasil penghancuran besar-besaran terhadap tenaga produktif, khususnya perempuan yang mengalami penindasan ganda oleh sistem ekonomi politik dan budaya patriarki.

Akumulasi keuntungan dengan mengorbankan nasib mayoritas rakyat miskin disadari akan menjadi embrio timbulnya gejolak massa tertindas. Negara membutuhkan alat penyelamat modal kapitalis agar kesetiaannya menjadi agen tidak diragukan. Militer dibentuk untuk menjadi alat kekerasan legal yang dapat memberikan efek jera. Paham milterisme ditanamkan, semua yang melawan penguasa dianggap subversif dan wajib ditumpas. Kekuatan militer juga dianggap kapabilitas untuk memaksa negara yang tolak diekspansi. Peperangan terjadi, dengan korban paling besar adalah perempuan-perempuan yang menjadi sasaran pelampiasan hasrat seksual militer karena perempuan adalah kaum yang paling dilemahkan oleh sejarah masyarakat berkelas dan konsep penggoda yang melekat erat. Hambatan timbul ketika demokrasi mulai didengungkan, dan kekuasaan rakyat mulai dipuja. Kekuatan tunggal dari militer akan dianggap sebagai pengacau konsep demokrasi, maka rakyatlah yang harus dilatih untuk menekan perlawanan terhadap “stabilitas keamanan” negara. Lahirlah apa yang disebut sebagai milisi sipil reaksioner seperti FPI, FBR, Faki yang justru berkontribusi besar terhadap penghancuran demokrasi. Perempuan yang dianggap sebagai sumber kriminalitas harus dibatasi kedaulatannya, perempuan yang berontak dianggap melanggar norma sosial yang harus diberantas.

Musuh-musuh penghambat perempuan ini tentunya harus dihancurkan. Penyingkiran terhadap perempuan lahir dari landasan sejarah, tidak serta merta muncul sebagai takdir, maka perjuangan pembebasan perempuan juga menjadi hal yang obyektif dan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita kesetaraan, dimana adanya pemerataan terhadap distribusi hasil produksi, dimana semua orang mampu mengembangkan individualitasnya. Hal ini mensyaratkan adanya perkembangan tenaga produktif, yang didalamnya adalah tenaga kerja, baik perempuan maupun laki-laki sebagai penggerak revolusi. perempuan yang telah dihancurkan produktivitasnya harus diselamatkan untuk menciptakan landasan bagi datangnya ladang kesejahteraan (sosialisme).

Oleh karena itu, menjadi tugas mutlak kaum progresif revolusioner untuk menciptakan landasan bagi revolusi. mengingat perempuan berangkat dari posisi sejarah yang tidak setara dari laki-laki maka penanganan khusus melalui program afirmasi penting dilakukan. Perlu dibentuk wadah khusus untuk melatih perempuan terlibat dalam kerja publik, terlibat dalam kerja-kerja produktif. Wadah yang paling tepat adalah organisasi yang mandiri tanpa intervensi maupun kerjasama dengan musuh-musuh rakyat. Organisasi tersebut akan menjadi wadah latihan bagi perempuan, sekaligus senjata yang paling ampuh untuk mencapai tujuan dengan ditopang oleh kekuatan basis massa.

Menjadi tugas penting saat ini adalah membangun perspektif pembebasan perempuan dalam kesadaran massa luas bahkan organisasi gerakan demokratik untuk tidak memisahkan perjuangan pembebasan rakyat miskin dengan perjuangan pembebasan perempuan, agar gerakan demokratik tidak terjebak pada perjuangan pembebasan perempuan yang sekedar dilandasi oleh kesadaran moralis.produktivitas perempuan harus dimajukan menjadi salah satu tenaga penggerak revolusi. Oleh karena itu, hal mendesak yang harus dilakukan pertama adalah membangun kompartemen perempuan dalam semua organisasi gerakan demokratik karena perempuan adalah entitas masyarakat yang berada dalam segala sektor dan menempati posisi yang paling lemah akibat kultur sosial dan ekonomi politik yang tidak memihak. Kedua adalah membangun organisasi payung gerakan perempuan (dan menyatu dengan gerakan demokratik multisektor) yang bersifat non-kooptasi dan non-kooperasi sebagai wadah yang efektif untuk melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi perempuan sekaligus sebagai ajang penyatuan kekuatan perempuan. Non-kooptasi dan non-kooperasi disini mempunyai makna bahwa persatuan gerakan rakyat yang dibangun haruslah bersifat mandiri, mengandalkan kekuatan rakyat sendiri tanpa kerjasama apalagi menggunakan alat-alat politik elit borjuasi, karena hanya dengan cara inilah kita dapat melepaskan rakyat, khususnya perempuan dari belenggu dan dominasi sistem kapitalisme dan Budaya patriarkis. Hanya dengan cara inilah maka reorganisasi kekuasaan (yang selama ini menindas) dapat tercapai karena perjuangan gerakan rakyat mandiri menjadi landasan materiil bagi kekuasaan rakyat, sebagaimana slogan yang sering diusung oleh perempuan dalam revolusi nikaragua “tak akan ada revolusi tanpa pembebasan perempuan, tak akan ada pembebasan perempuan tanpa revolusi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar