Kompas
Senin, 29 September 2008
Oleh Zely Ariane
”... walaupun perundang-undangan merupakan permulaan penting, tetapi perannya tidak lebih sebagai permulaan saja. Perubahan politiklah yang akan terus berkelanjutan dan harus dilengkapi perubahan ekonomi, sosial, dan budaya—sebuah pendekatan yang menyeluruh bagi persoalan yang menyeluruh pula.”
(Sarah Wagner, dalam Feminisme Mengubah Masyarakat, Perjuangan Pembebasan Perempuan dalam Revolusi Bolivarian Venezuela)
Bertambah satu lagi payung hukum bagi kemajuan perempuan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menambah pasti peluang politik kaum perempuan untuk turut memikirkan arah negeri dan kemajuan rakyatnya.
Perluasan ruang bagi pengarusutamaan jender mewujud, tetapi semestinya tidak sekadar kesetaraan formal di dunia politik, profesional, maupun akademik saja. Ia juga menuntut distribusi keadilan ekonomi bagi perempuan miskin, pekerjaan yang bermartabat dan mempertinggi pengetahuan, serta akses pendidikan yang semakin murah, mudah dan berkualitas agar perempuan tak lagi sekadar menjadi lumbung suara atas nama keterwakilan perempuan dalam politik.
Angka 30 persen adalah pembatasan minimal yang disepakati secara internasional untuk mendorong keterwakilan perempuan baik di parlemen maupun di berbagai jabatan publik. Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan pada awal abad ke-20 tercapai.
Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi perempuan (melawan politik patriarki) karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.
Pada prinsipnya, angka ini harus terus bergulir hingga 50 persen, seperti yang sudah berlaku di Kuba dan Venezuela, yang akan mustahil tercapai apabila negara masih memelihara patriarki sebagai bagian dari sistem politiknya dan kapitalisme sebagai sistem ekonominya.
Sebagai contoh, hambatan terhadap penerapan kuota di Indonesia akan semakin besar jika penafsiran ilmiah terhadap ajaran agama tidak dikembangkan dan dilindungi oleh negara, angka buta huruf tinggi, serta tingkat pendidikan dan kesehatan perempuan masih sangat rendah. Inilah sumber persoalan atas rendahnya kualitas perempuan Indonesia yang harus diatasi, bukan dihujat.
Kaum perempuan bergerak dari titik awal yang sudah tidak setara dengan laki-laki. Perempuan Indonesia menyandang angka buta huruf lebih tinggi daripada laki-laki serta angka pendidikan tinggi yang lebih rendah dari laki-laki. Organisasi massa politislah yang mampu menjadi jembatan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan politik mayoritas perempuan yang menjadi korban akibat feminisasi kemiskinan.
Gerakan Perempuan
Keberhasilan gerakan demokrasi 1998 telah memberi sumbangan luar biasa bagi meluasnya organisasi perempuan. Namun, tantangan baru mulai tumbuh: meluasnya organisasi tidak diikuti dengan meluasnya gerakan (politik) perempuan. Situasi ini berkonsekuensi pada lemahnya posisi politik perempuan di hadapan negara sehingga sangat gampang dikooptasi oleh alat-alat politik (khususnya partai politik) yang tidak benar-benar memperjuangkan pembebasan perempuan melainkan hanya ”menyajikan” perempuan di dalam struktur kepengurusannya sebagai sarana penambah suara.
Oleh sebab itu, pembangunan dan perluasan gerakan perempuan menjadi faktor kunci dalam melakukan perubahan. Tidak ada perubahan bagi perempuan tanpa gerakan perempuan. Universal suffrage dimenangi gerakan gelombang feminisme pertama, termasuk memenangi 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional; persamaan hak-hak ekosob dan sipol dimenangi gerakan gelombang feminisme kedua. Begitu besarnya pengaruh gerakan perempuan pada kemajuan kesetaraan perempuan di dunia. Tanpa gerakan tak ada kemajuan, seperti yang kita rasakan saat ini.
Di Indonesia, Kartini telah meletakkan dasar bagi gagasan perjuangan pembebasan perempuan, tetapi gagasan tersebut diwujudkan dan dimajukan oleh gerakan perempuan era 1950-1960-an. Beberapa kemajuan menyangkut aturan perkawinan, seperti batas usia perkawinan perempuan dan laki-laki serta kebebasan menentukan pasangan hidup, adalah hasil pergerakan perempuan Istri Sedar, Gerakan Wanita Sedar hingga Gerakan Wanita Indonesia. Demikian pula revisi terhadap RUU Pornografi karena gerakan penolakannya yang meluas.
Oleh sebab itu, keberhasilan secara formal, misalnya dalam melahirkan berbagai UU yang menguntungkan kemajuan perempuan, harus dilihat sebagai instrumen hukum yang harus terus didesakkan praktiknya secara konsisten melalui tekanan gerakan agar memberi manfaat sebesar-besarnya untuk mengatasi feminisasi kemiskinan.
Zely Ariane Koordinator Pendidikan dan Bacaan Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika; Juru Bicara KPRM-PRD dan Hands Off Venezuela- Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar