PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

29 September 2008

PERNYATAAN SIKAP: “RUU TENTANG PORNOGRAFI MENGHAMBAT PEMBEBASAN PEREMPUAN”

Menjelang Pemilu 2009, saat semua partai, baik itu partai-partai politik lama maupun maupun partai-partai politik baru, beramai-ramai menonjolkan program mereka untuk mendukung kesetaraan bagi kaum perempuan, mendukung kuota 30% TETAPI MAYORITAS (Golkar, Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, PBR, PBB, Partai Pelopor, PPP) DARI MEREKA, TIDAK ADA SATUPUN YANG MEMPUNYAI SIKAP TEGAS MENOLAK RUU TENTANG PORNOGRAFI, SEMENTARA PARTAI-PARTAI POLITIK BARU JUGA BERSIKAP MASA BODO/TIDAK MAU TAU. KELUARNYA PDIP DAN PDS BELUM MENUJUKKAN KOMITMEN YANG SERIUS TERHADAP PEMBEBASAN PEREMPUAN. Bagi kami, jika RUU tentang Pornografi ini disahkan akan menjadi ancaman bagi pembebasan perempuan karena pertama, definisi yang tertulis dalam ruu tersebut menyerang seksualitas dan politik perempuan – yang dalam masyarakat patriarkhi seksualitas pasti selalu dikaitkan dengan perempuan, kontrol terhadap seksualitas perempuan adalah cerminan masih kuatnya budaya patriarkhi dalam pemerintahan dan parlemen kita. Selama tubuh perempuan masih dalam kontrol negara maka selamanya akan menghambat kemajuan dan partisipasi politik perempuan. Kedua, berpotensi besar untuk mengkriminalkan perempuan dan anak yang terlibat dalam industri pornografi tanpa melihat latar belakang mengapa mereka bisa terlibat industri pornografi. Banyaknya kaum perempuan dan anak yang terlibat dalam industri pornografi didorong oleh kondisi sosial, terutama kemiskinan yang semakin akut yang disebabkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan, PHK massal, pendapatan yang rendah, harga-harga naik. Ketiga, ruu mendukung lahirnya perda-perda yang akan menghambat kemajuan kaum perempuan untuk terlibat dalam ranah public. Keempat, dengan adanya ruu ini pemerintah dan parlemen justru melegalkan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan mengkontrol kehidupan personal masyarakat, terlebih lagi juga melegalkan tindakan premanisme untuk mengontrol, mengatur, mengawasi bahkan merepresi kaum perempuan dan warga negara.

Industri pornografi adalah pokok persoalan bagi komersialisasi seksualitas perempuan, dan industri ini mengeruk keuntungan dari penghancuran kemanuasiaan perempuan. Selama ini terus dilindungi oleh penguasa, demi keuntungan ekonomi, maka industri pornografi akan menyeret rakyat dalam rantai produski dan distribusi di dalamnya. Sehingga menyerang, menghakimi dan menghukum rakyat yang mencari makan dari industri pornografi adalah politik kekuasaan yang anti rakyat, mengalihkan tanggung jawab negara atas kesalahan industri pornografi, sekaligus politik penguasa yang lepas tangan terhadap situasi rakyat yang miskin tanpa lapangan pekerjaan.

Jelas sekali, ketidakmampuan pemerintahan SBY-Kalla untuk menyejahteraan kaum perempuan ditutupi dengan mengusulkan sebuah ruu yang justru membelenggu perempuan. Saat ini yang dibutuhkan oleh perempuan adalah lapangan pekerjaan yang layak, sembako yang murah, kesehatan gratis, pendidikan gratis, upah yang layak dan kehidupan yang lebih baik.

Dengan disahkannya ruu ini maka upaya pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pendaftaran calon legislative untuk pemilu 2009 akan kehilangan makna politiknya bagi upaya mendorong maju perempuan. Pemilu 2009 hanya akan menjadi ajang politik dagang sapi, dan perempuan dibutuhkan hanya untuk memperbanyak suara. Pemerintah SBY-Kalla, elit politik dan partai-partai politik yang mendukung pengesahan RUU Tentang Pornografi sama saja anti kesetaraan kaum perempuan.

Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika dengan tegas menolak pengesahan RUU tentang Pornografi, dan menyerukan kepada seluruh kaum perempuan dan rakyat miskin Indonesia untuk membangun persatuan tanpa terkooptasi dan independen untuk melawan politik elit yang anti perempuan dan anti rakyat miskin.


Kaum Perempuan Bersatu; Bentuk Organisasi Payung Perempuan Nasional yang Mandiri dan Non-Kooptasi !!

Jakarta, 17 September 2008



Vivi Widyawati
Koordinator

Tidak ada komentar:

Posting Komentar