PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

10 Mei 2012

PERS RILIS MENGGUGAT KEMBALI KASUS MARSINAH 19 TAHUN KASUS MARSINAH TERBENGKALAI: USUT TUNTAS KASUS MARSINAH


(RADIO KOMUNITAS MARSINAH FM, PEREMPUAN MAHARDHIKA, FORUM BURUH LINTAS PABRIK (FBLP-PPBI),  KASBI, GSPB-PPBI, PEMBEBASAN)

19 tahun yang lalu, pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tidak pernah diketahui siapa yang meletakkan mayatnya di sana. Sama halnya tidak pernah diketahui siapa pembunuh sebenarnya, siapa yang menjadi otak dari pembunuhan seorang buruh perempuan pabrik Arloji yang kini pabrik dan tempat tinggalnya sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo.

Marsinah, adalah gambaran buruh perempuan biasa  yang pergi ke kota (Surabaya) untuk mengadu nasib. Sebelum bekerja di PT Catur Putra Surya –Rungkut pada tahun 1990, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang. Di pabrik pembuatan arloji di Rungkut, Surabaya, dengan beberapa temannya, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja formal (SPSI). Mungkin Tuntutan ini yang membuatnya dipindah pihak menejemen ke pabrik PT CPS lainnya di Porong, Sidoarjo pada awal tahun 1992. Ia kost di pemukiman sekitar pabrik, desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin bagian injeksi dengan upah Rp. 1.700,- dan uang hadir Rp. 550,- per hari. Upah tersebut, sama halnya seperti sekarang dialami oleh buruh pada umumnya, jauh dari cukup. Demi menuntut hak atas upah sesuai UMR, Marsinah bersama dengan buruh-buruh PT. CPS lainnya melakukan pemogokan pada 3 -4 Mei 1993 yang berujung pada pembunuhan Marsinah. Sementara, pada tgl 5 Mei 1993, 13 buruh yang dianggap sebagai penggerak pemogokan dipanggil ke Kodim untuk diinterogasi. Mengetahui hal itu, pada tgl 4 Mei 1993 malam, Marsinah menuliskan catatan berisi petunjuk jawaban apabila teman-temannya diinterogasi. Namun, pada Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS yang memenuhi panggilan Kodim, di markasnya di Sidoarjo dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di atas kertas bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan, termasuk akan diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Akhirnya mereka menerima uang pesangon yang diberikan langsung oleh pihak menejemen di markas itu. Marsinah begitu marah, ketika 13 temannya sudah dipecat di Makodim. Rabu malam, 4 Mei 1993 adalah malam terakhir Marsinah terlihat. Malam itu, Marsinah berpamitan untuk membeli makan. Tapi tak ada satupun pihak yang mengetahui kemana malam itu Marsinah pergi. Apakah ia ke Kodim, ke rumah temannya atau pergi mencari makan entah kemana. Seperti yang diketahui banyak media massa, 3 hari Marsinah menghilang dan ditemukan meninggal secara mengenaskan pada 9 Mei 1993.

Sandiwara peradilan pembunuhan Marsinah pun dimulai. Pemilik PT CPS, para menejer perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan kemudian membunuh Marsinah. Mereka diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung. Maka, penyelidikan demi penyelidikan ulang pun di lakukan. Sebanyak 3 kali makam Marsinah dibongkar untuk kebutuhan penyelidikan. Baik Menteri Tenaga Kerja, Abdul Latief, hingga para pemangku pemerintah dari Abdurrahman Wahid hingga Megawati berjanji untuk mengusut tuntas kasus Marsinah. Akan tetapi hingga kini, kematian Marsinah tetap menjadi misteri. 19 tahun, berlalu tanpa kebenaran terungkap. Bahkan, pada tahun 2002 Komnas HAM berupaya untuk membuka kembali kasus Marsinah dan itu pun gagal menguak kembali pembunuh sebenarnya dalam kasus Marsinah. Sang pelaku seakan dilindungi oleh tembok besar yang tidak bisa tertembus oleh hukum peradilan.

Kasus Marsinah, hanya satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru yang hingga kini pun tidak terselesaikan. Namun, menjadi penting dan mendesak untuk menegakkan keadilan bagi kematian Marsinah karena Marsinah adalah gambaran buruh perempuan yang berani menuntut haknya dan telah menjadi inspirasi bagi gerakan buruh di Indonesia. Serta agar ke depan tidak ada lagi kasus-kasus serupa terlupa begitu saja tanpa proses peradilan. Sudah cukup banyak kasus pelanggaran HAM yang dipetieskan oleh rejim. Apalagi, tahun depan, tepat 20 tahun kasus Marsinah akan dinyatakan kadaluarsa. Artinya kasus Marsinah sedang dalam situasi KRITIS dan dibutuhkan perjuangan yang lebih untuk menegakkan keadilan bagi Marsinah, keluarganya, buruh dan perempuan Indonesia. Kami menyadari bahwa pembukaan kembali kasus Marsinah bukanlah hal yang mudah. Namun, ini adalah satu-satunya jalan supaya kasus Marsinah tidak berlalu begitu saja, sementara sang pelaku masih bebas berkeliaran.

Jakarta 7 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar