(RADIO KOMUNITAS MARSINAH FM, PEREMPUAN MAHARDHIKA,
FORUM BURUH LINTAS PABRIK (FBLP-PPBI),
KASBI, GSPB-PPBI, PEMBEBASAN)
19 tahun yang lalu,
pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk berdinding
terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan,
kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh
desa Siring, Porong. Tidak pernah diketahui siapa yang meletakkan mayatnya di
sana. Sama halnya tidak pernah diketahui siapa pembunuh sebenarnya, siapa yang
menjadi otak dari pembunuhan seorang buruh perempuan pabrik Arloji yang kini pabrik
dan tempat tinggalnya sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo.
Marsinah,
adalah gambaran buruh perempuan biasa
yang pergi ke kota (Surabaya) untuk mengadu nasib. Sebelum bekerja di PT
Catur Putra Surya –Rungkut pada tahun 1990, ia sempat bekerja di sebuah
perusahaan pengemasan barang. Di pabrik pembuatan arloji di Rungkut, Surabaya,
dengan beberapa temannya, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja
formal (SPSI). Mungkin Tuntutan ini yang membuatnya dipindah pihak menejemen ke
pabrik PT CPS lainnya di Porong, Sidoarjo pada awal tahun 1992. Ia kost di
pemukiman sekitar pabrik, desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin
bagian injeksi dengan upah Rp. 1.700,- dan uang hadir Rp. 550,- per hari. Upah
tersebut, sama halnya seperti sekarang dialami oleh buruh pada umumnya, jauh
dari cukup. Demi menuntut hak atas upah sesuai UMR, Marsinah bersama dengan
buruh-buruh PT. CPS lainnya melakukan pemogokan pada 3 -4 Mei 1993 yang
berujung pada pembunuhan Marsinah. Sementara, pada tgl 5 Mei 1993, 13 buruh
yang dianggap sebagai penggerak pemogokan dipanggil ke Kodim untuk
diinterogasi. Mengetahui hal itu, pada tgl 4 Mei 1993 malam, Marsinah
menuliskan catatan berisi petunjuk jawaban apabila teman-temannya diinterogasi.
Namun, pada Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS yang memenuhi panggilan Kodim, di
markasnya di Sidoarjo dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di atas
kertas bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan, termasuk akan
diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Akhirnya mereka menerima uang
pesangon yang diberikan langsung oleh pihak menejemen di markas itu. Marsinah
begitu marah, ketika 13 temannya sudah dipecat di Makodim. Rabu malam, 4 Mei
1993 adalah malam terakhir Marsinah terlihat. Malam itu, Marsinah berpamitan
untuk membeli makan. Tapi tak ada satupun pihak yang mengetahui kemana malam
itu Marsinah pergi. Apakah ia ke Kodim, ke rumah temannya atau pergi mencari
makan entah kemana. Seperti yang diketahui banyak media massa, 3 hari Marsinah
menghilang dan ditemukan meninggal secara mengenaskan pada 9 Mei 1993.
Sandiwara
peradilan pembunuhan Marsinah pun dimulai. Pemilik PT CPS, para menejer
perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan
seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di
bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan
kemudian membunuh Marsinah. Mereka diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan
Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggir
Surabaya setahun kemudian. Meskipun dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka
divonis bebas Mahkamah Agung. Maka, penyelidikan demi penyelidikan ulang pun di
lakukan. Sebanyak 3 kali makam Marsinah dibongkar untuk kebutuhan penyelidikan.
Baik Menteri Tenaga Kerja, Abdul Latief, hingga para pemangku pemerintah dari Abdurrahman
Wahid hingga Megawati berjanji untuk mengusut tuntas kasus Marsinah. Akan
tetapi hingga kini, kematian Marsinah tetap menjadi misteri. 19 tahun, berlalu
tanpa kebenaran terungkap. Bahkan, pada tahun 2002 Komnas HAM berupaya untuk membuka kembali kasus
Marsinah dan itu pun gagal menguak kembali pembunuh sebenarnya dalam kasus
Marsinah. Sang pelaku seakan dilindungi oleh tembok besar yang tidak bisa
tertembus oleh hukum peradilan.
Kasus Marsinah,
hanya satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru yang
hingga kini pun tidak terselesaikan. Namun, menjadi penting dan mendesak untuk
menegakkan keadilan bagi kematian Marsinah karena Marsinah adalah gambaran
buruh perempuan yang berani menuntut haknya dan telah menjadi inspirasi bagi
gerakan buruh di Indonesia. Serta agar ke depan tidak ada lagi kasus-kasus
serupa terlupa begitu saja tanpa proses peradilan. Sudah cukup banyak kasus
pelanggaran HAM yang dipetieskan oleh rejim. Apalagi, tahun depan, tepat 20
tahun kasus Marsinah akan dinyatakan kadaluarsa. Artinya kasus Marsinah sedang
dalam situasi KRITIS dan dibutuhkan perjuangan yang lebih untuk menegakkan
keadilan bagi Marsinah, keluarganya, buruh dan perempuan Indonesia. Kami
menyadari bahwa pembukaan kembali kasus Marsinah bukanlah hal yang mudah.
Namun, ini adalah satu-satunya jalan supaya kasus Marsinah tidak berlalu begitu
saja, sementara sang pelaku masih bebas berkeliaran.
Jakarta 7
Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar