PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

29 Mei 2012

Melawan Homopobia dan Pendudukan

29/05/2012


Melawan Homopobia dan Pendudukan

Alex de Jong[1]
Haneen Maikey (HM) adalah seorang perempuan, warga negara Palestina dan anggota Al Qaws—suatu kelompok queer[i]— yang melakukan kunjungan ke Amsterdam pada bulan Juni untuk berbicara tentang perjuangan emansipasi seksual dan melawan pendudukan Israel. Alex de Jong melakukan wawancara dengannya sebagai seorang queer sekaligus warga negara Palestina dan kontribusinya sebagai queer terhadap perjuangan pembebasan Palestina, untuk pembaca Grenzeloos di Belanda.
HM: Aku berkunjung ke sini untuk berbagi pengalamanku sebagai seorang aktivis queer Palestina. Sebagai sebuah gerakan, kami seringkali dimarjinalisasi oleh media—jika seseorang menulis tentang queer di Palestina, selalu mengabaikan apa yang kami katakan menyangkut  diri kami. Melainkan, fokusnya selalu pada kami yang dianggap sebagai korban, bukan pada prestasi-prestasi kami.  Itulah salah satu alasan mengapa kami pikir penting berbicara mengenai pengalaman-pengalaman kami dalam pertemuan-pertemuan seperti ini atau dalam speaking tour seperti yang baru saja kami lakukan di Amerika Serikat. Al Qaws adalah sebuah kelompok akar rumput queer dan LGBT yang memfokuskan diri menjawab kebutuhan-kebutuhan individu dan membangun komunitas dimana orang-orang bisa merasa bebas mengakui semua indentitas diri mereka, tanpa harus memilih, misalnya, antara menjadi queer atau menjadi warga negara Palestina. Bagi kami, ini merupakan bagian dari visi besar menantang dan menghancurkan hirarki-hirarki seksual dan jender di dalam masyarakat Palestina.

Masyarakat Palestina merupakan satu dari sedikit masyarakat Arab dimana  selama lima belas tahun belakangan ini suara tersendiri kaum queer telah berkembang. Menurutmu mengapa demikian?
HM: Sebenarnya, ada juga beberapa kelompok di Afrika-Utara, ada banyak yang bagus tetapi masih kelompok-kelompok yang informal. Tetapi Palestina dan Lebanon adalah dua tempat dimana kelompok-kelompok tersebut diorganisir secara formal.  Masyarakat Palestina adalah masyarakat yang sangat sekular dan sangat terorganisir. Perlawanan adalah kenyataan hidup sehari-hari dan identitas kami telah ditentang dalam waktu yang lama. Aku besar di sebuah desa kecil di bagian Utara dan hanya ketika aku pindah ke Yerusalem dan berhadapan dengan rasisme lah, aku menemukan diriku sebagai seorang Palestina. Dalam keluargaku, orang-orang yang memiliki pengalaman traumatik tahun 1948, peristiwa Nakba[2], tidak membicarakan hal tersebut. Masyarakat Israel secara sistematik mengabaikan identitas warga Palestina sebagai “(orang) Arab yang hidup di Israel”. Jadi, pengalaman menemukan identitasmu dan harus berjuang untuknya merupakan hal yang tak asing bagi kami. Beradaptasi dengan pengalaman semacam itu untuk menjadi queer secara relatif cukup mudah.
Dalam 63 tahun terakhir kami terus-menerus dibandingkan dengan dengan masyarakat Israel, kami misalnya dituduh homopobia dan membunuh orang-orang queer sementara mereka mengakui hak-hak gay. Pembandingan yang terus-menerus semacam ini memaksa anda untuk memikirkan tentang isu ini. Ketika kami memulai sebagai sebuah kelompok, kami benar-benar a-politis: sampai perang melawan Lebanon pada tahun 2006 kami sama sekali tidak berbicara politik, ketika itu kami hanya tertarik pada pengalaman-pengalaman pribadi kami – tetapi ini menjadi tidak masuk akal lagi, karena kita tidak bisa melarikan diri dari politik. Intifada Kedua yang dimulai pada tahun 2000, merupakan pertama kalinya orang-orang Palestina yang hidup di Israel mengambil bagian dalam perjuangan. Warga negara Palestina yang hidup di Israel telah dibunuh oleh polisi Israel selama demonstrasi berlangsung. Perisitiwa-peristiwa seperti ini membuat kami berpikir tentang identitas kami, aku rasa pada waktu itulah pertama kali aku bertanya pada kakekku tentang pengalamannya selama Nakba. Bukanlah suatu kebetulan suatu pergerakan seperti yang kami lalukan berkembang di Yerusalem, sebagai pusat simbol konfrontasi antara masyarakat Israel dan Palestina. Ketika aku pergi kesana, aku langsung menjadi Orang yang lain.
Bagaimana menemukan identitasmu sebagai seorang Palestina dibandingkan dengan menemukan identitasmu sebagai queer?
HM: Ini sesuatu yang lebih bertahap, aku tidak pernah benar-benar “keluar dari kloset”, boleh dibilang (bahkan) tidak ada kloset. Melalui Al Qaws, kami menciptakan ruang dimana orang-orang bisa mengeksplorasi identitas jender mereka dengan cara yang santai, mendengarkan cerita-cerita orang lain. Aku ingat ketika aku mengerti bahwa aku bisa menjadi seorang Palestina dan Queer sekaligus, rasanya aneh ketika sebelumnya berbicara segala sesuatu tentang queer dan dalam perjalanan kembali diperintahkan oleh tentara Israel untuk mengidentifikasi diri saya karena saya seorang Palestina. Banyak anggota lainnya memiliki pengalaman yang sama. Strategi ala Barat seperti ‘visibilitas (membuat agar tampak)’ dan ‘keluar/pengakuan (coming out)’ tidak berlaku bagi kami. Gerakan pembebasan gay di Barat bisa menginspirasi kami tetapi kami tidak bisa menirunya. Parade ‘Pride’[3] di Ramallah tidak akan berguna – diantara berbagai alasan lain juga karena banyak anggota kami tidak “keluar/ngaku” sebagaimana cara berpikir Barat menyangkut “keluar dari kloset (mengaku/tidak bersembunyi)”.
Kami punya banyak teman yang tahu dan beberapa anggota keluarga yang tahu, tetapi yang lainnya tidak. Ditempat yang berbeda, kami bisa menjadi orang yang berbeda. Kami bisa memiliki fleksibilitas ini di dalam identitas kami tanpa harus “merayakan” kebebasan. Kami bukan penganut budaya kristiani, kami tidak memiliki tradisi pengakuan. Dalam konteks Barat, ‘keluar (pengakuan)’ tumbuh secara organik dari konteks sosialnya sendiri. Ini suatu pendekatan yang sangat individual dari suatu masyarakat indivudualis. Masyarakat Palestina, namun demikian, lebih kolektif, anda adalah bagian dari keluarga besar sebagaimana yang sudah ada. Orang tuaku akan lebih marah ketika aku menjauh dibandingkan menjadi lesbian. Banyak orang sangat terhubung dengan keluarganya dan tidak berkeinginan untuk memutuskan hubungan tersebut dengan melakukan pengakuan seperti dalam pengertian Barat. Mereka tidak takut dengan kekerasan atau apapun, mereka hanya lebih menghargai hubungan mereka dengan keluarga. Pengakuan bukanlah sebuah pra kondisi untuk sebuah gerakan yang nyata, kami membuktikan bahwa kami bisa membangun komunitas tanpa setiap orang perlu “keluar” di semua tingkatan.
Apakah kamu punya hubungan dengan kelompok queer dan feminis lainnya di Palestina?
HM: Kami kerja sagat dekat dengan Aswat—yang artinya Suara-suara dalam bahwa Arab—sebuah organisasi perempuan gay Palestina. Aswat adalah sebuah organisasi independen bagian dari organisasi feminis. Bersama kami menjalankan sebuah support line, kami menyelenggarakan pendidikan dan mempunyai jaringan kelompok-kelompok yang bekerja untuk hak-hak seksual, feminisme dan HAM yang luas, bahkan di negeri Israel dan di West Bank (Tepi Barat)[4].
Apakah kamu punya kontak dengan kelompok-kelompok Israel?
HM: Itu lah isu yang rumit. Fokus utama kami adalah pada masyarakat Palestina jadi kami tidak begitu tertarik untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Israel. Pada level personal, kami kenal satu sama lain tetapi dalam tiga tahun belakangan, kami telah mengambil jalan yang berbeda. Kami memilih jalan yang lebih radikal dan politis, berbicara tentang hubungan antara berbagai bentuk penindasan sementara, sayangnya, banyak kelompok LGBT Israel menerima konsep kebangsaan dan berusaha mengintegrasikan diri di dalamnya demi memenangkan hak-hak khusus. Apakah kami orang Palestina atau orang Israel, aku tidak sependapat dengan aktivitas liberal semacam ini. Kami mempunyai hubungan yang baik dengan beberapa kelompok radikal anti Zionis yang mencoba membela kepentingan komunitas mereka sementara tidak melupakan konteks sosial yang lebih luas.
Dua tahun yang lalu, dua orang gay muda ditembak di salah satu pusat gay di Tel Aviv dan kami mengekspresikan solidaritas kami melawan hate-crime[5]. Tetapi ketika kami bergabung dengan demonstrasi besar melawan kejahatan semacam ini, sangat didominasi oleh laki-laki kulit putih dan politisi sayap kanan. Shimon Peres berada di atas panggung dan mengatakan “jangan membunuh”, sementara dua bulan sebelumnya dia terlibat dalam pembunuhan ratusan warga Palestina di Gaza, dan nyanyian kebangsaan Israel dimainkan. Jadi, sebagai warga Palestina kami telah disingkirkan dari demonstrasi ini. Kami minta bicara tetapi permintaan kami ditolak dengan alasan ini bukanlah tempat berbicara politik—seolah-olah semua isu bukan politik! Demonstrasi ini ternyata menjadi suatu lambang persimpangan.
Selain dari pendudukan, apa saja masalah-masalah yang dihadapi kaum queer Palestina? Tentu saja kami mendengar tentang meningkatkan fundamentalisme agama……
HM: Sebenarnya aku tidak berpikir tren politik ini berdampak pada kehidupan sehari-hari. Masyarakat Palestina sangat secular, meskipun orang-orang mengenakan jilbab atau berjenggot. Sebagai orang yang hidup di Yerusalem dan menghabiskan banyak waktu di Tepi Barat, aku tidak melihat suatu kebangkitan ekstrimis revitalisasi agama. Kupikir aku minum bir lebih banyak di Tepi Barat ketimbang di Tel Aviv…. Namun masyarakat Palestina sangat beragam, beberapa orang hidup di kota-kota besar, lainnya hidup di desa-desa kecil, kamu tidak bisa menyatakan hanya ada satu pengalaman saja. Bagi orang-orang queer Palestina, baik di Israel ataupun di luar, terdapat dua kategori tantangan. Yang pertama adalah kesulitan yang universal atas perasaan terisolasi, tumbuh dalam masyarakat heteronormatif, mengalami krisis karena kamu berbeda. Dan ada homopobia, tantangan universal berikutnya bagi orang-orang queer.
Tentu saja, masyarakat Palestina mempunyai kekhasan: sangat patriarkal misalnya. Bahkan seorang saudara laki-laki termuda menganggap ia mempunyai hak memberitahu saudara perempuannya yang lebih tua tentang apa yang harus dilakukan. Kekhasan lainnya adalah tabu untuk membicarakan tentang seksualitas, bahkan orang-orang yang ‘lurus’ tidak membicarakan hal itu. Berbicara tentan homoseksulitas adalah cara untuk mendorong agar membicarakan seksulitas secara umum. Kami tidak menyembunyikan kalau kami adalah lesbian, gay, atau apapun tetapi berbicara tentang seksualitas adalah prakondisi untuk membicarakan subyek tersebut. Beberapa kelompok HAM atau perempuan barangkali tidak mau dikaitkan dengan kami. Tetapi ketika seksualitas secara umum menjadi isu, mereka tidak dapat berpura-pura bahwa itu bukanlah isu mereka—isu seksualitas tidak terbatas untuk orang-orang gay. Kelompok-kelompok perempuan, HAM, LGBT, semuanya memiliki tanggung jawab bersama.
Kategori tantangan kedua berhubungan dengan menhadi suatu minoritas ganda, menjadi orang Palestina sekaligus queer. Kamu tidak bisa menghindari diskriminasi karena kamu ‘Arab’ atau Palestina. Tidak semua diskriminasi bersifat sistematis atau terorganisir. Bentuk-bentuknya dapat  bervariasi ketika kamu membeli makanan dan orang-orang mentertawakan aksenmu, atau ketika berada dalam bis, seseorang mengatakan mereka tidak mau dengar kamu berbicara bahasa Arab atau tentara akan menghentikan kamu. Rasisme itu merasuk. Di Tepi Barat, orang-orang berhadapan dengan pendudukan setiap harinya, kebebasanmu bergerak dibatasi oleh semua pos pemeriksaan. Kami menghadapi homophobia di masyarakat Palestina maupun Israel sekaligus pendudukan dan rasisme.
Apa pendapatmu, kamu sebagai kelompok queer bisa berkontribusi secara khusus terhadap gerakan pembebasan Palestina?
HM: Saya rasa, yang paling termarjinalkan memiliki paling banyak keuntungan dari perubahan sosial, dan (akan) menjadi yang paling berkomitmen untuk perubahan. Kau bisa memilih untuk berbicara tentang homoseksualitas secara khusus dan bekerja untuk hak-hak homoseksual, tetapi kamu juga bisa berbicara tentang seksualitas secara umum dan tentang bentuk-bentuk lain seksualitas yang dimarjinalkan, berbicara tentang HAM, dan membasiskan dirimu pada semua bentuk penindasan yang kamu alami. Hal-hal tersebut yang coba kami lakukan, kami ingin memasukkan kategori-kategori lain ketimbang hanya homoseksual. Sebagai contoh, kami juga ingin menyertakan orang-orang yang merasa tertindas karena jendernya atau karena mereka tidak mau menikah. Sebagai kelompok kecil, kami harus membangun koalisi-koalisi untuk membuat perubahan dalam masyarakat dan hal tersebut lah yang sedang coba kami lakukan. Kami sudah berdiri selama 10 tahun dan tujuh tahun pertama kami fokus pada pembangunan kapasitas kami, mendiskusikan visi kami. Kami sadar bahwa kelompok-kelompok lain mencoba memanipulasi isu queer di Palestina. Beberapa grup Palestina mengatakan bahwa kami “kebarat-baratan”, sebagai contohnya. Atau ada kaum liberal tradisional menklaim bahwa seksualitas bukan hal politik tetapi hanya mempengaruhi seseorang di kehidupan pribadinya. Pemerintah Israel menggunakan isu hak-hak gay , mencoba untuk melukiskan dirinya sebagai sejenis surga gay di Timur Tengah dan menuduh masyarakat Palestina sebagai homopobia dari sononya. Pengalaman kami telah memberi kami perspektif yang unik. Ketika kami melakukan tur ke Amerika Serikat, kaum Zionis tidak terlibat dengan kami. Kami sangat ingin berdiskusi tetapi mereka tidak sanggup berhadapan dengan orang Palestina, queer yang politis. Seharusnya kami dibunuh oleh Otoritas Palestina atau tidak dianggap ada sama sekali.
Salah satu kampanye politik utama kami adalah untuk mengkounter apa yang disebut ‘pinkwashing’[6], bagian dari kampanye yang luas pemerintah Israel: penggunaan sinis hak-hak gay yang relatif progresif di Israel untuk mengalihkan perhatian dunia internasional dari pelanggaran HAM  dan pendudukan yang mereka lakukan. Aku sering kali mendengar keberatan; “jadi bagaimana jika Israel ingin mempromosikan kebijakan hak-hak homoseksualnya?” Tetapi ini bukan tentang hak-hak homoseksual, Israel melakukan pelanggaran HAM dan menjajah manusia lain dan kemudian melecehkan kesulitan-kesulitanku dan namaku dengan mengatakan bahwa masyarakatku terbelakang dan homopobia. Perjuangan ku ditiadakan dan orang-orangku ‘disetankan’. Hal tersebut telah memberikan dampak langsung terhadap citra kami secara internasional, tetapi yang lebih penting lagi adalah dampaknya bagi kaum muda gay Palestina yang menginternalisasi ide-ide tersebut dan bermimpi untuk lari ke Israel, yang dianggap benteng hak-hak homoseksual. Tetapi hukum sudah sangat jelas: orang-orang Palestina tidak bisa mendapatkan status pengungsi di Israel, Israel tidak akan membantu atau melindungi kaum homoseksual Palestina. Kampanya pemerintah Israel menyangkut “pinkwashing” adalah alasan berikutnya yang membuat kami harus mengambil posisi politik.
Itulah mengapa saat ini kamu di Amsterdam, bukan?
HM: Ya, besok saya akan memberikan workshop bertemakan pinkwashing dan wisata homoseksual ke Israel. Saya akan khusus berbicara tentang BDS[7] (Boycott = Boikot, Divestment = Divestasi investasi, Sanctions – Sanksi) sebagai alat untuk mengkounter kebijakan-kebijakan Israel.
Kamu disi untuk memberi sebuah workshop “BDS queer” – bisakah kamu komentar mengenai hal ini?
HM: Kami memandang diri kami sebagai bagian integral dari masyarakat Palestina: kami tidak mengartikannya dalam jalan nasionalis tetapi dalam hal bahwa kami memiliki penderitaan yang sama dengan masyarakat Palestina lainnya. Pendudukan ini juga mempengaruhi kaum queer, rasisme tidak membedakan antara yang queer dan yang non queer. Jadi kami sudah menjadi bagian dari kampanye melawan pendudukan, diskriminasi dan dinding pemisah. Kami rasa kami bisa berkontribusi memberikan suatu perspektif istimewa pada perjuangan ini dan inilah mengapa kami ingin menciptkan sebuah kelompok yang terpisah dan independen yang dapat bekerja mendukung kampanye BDS dari persektif queer. Kami melihat BDS sebagai strategi yang menjanjikan, terstruktur dengan baik, tanpa kekerasan dan mendapatkan dukungan luar biasa dari mayoritas masyarakat Palestina. Ia menciptakan sebuah gelombang baru perlawanan, independen dari Otoritas Palestina. Setelah 63 tahun pendudukan, perundingan perdamaian, dan segala macam bentuk insitiatif mendukung ‘hidup berdampingan’ tidak pernah sukses, kampanye BDS merupakan bentuk baru kampanye yang berbasiskan HAM. Ini bukan tentang perang melawan masyarakat Israel tetapi tentang penentangan terhadap pendudukan pemerintah Israel. Kampanye ini adalah tempat yang tepat bagi kami sebagai kaum queer Palestina untuk mengekspresikan diri kami sebagai bagian dari masyarakat Palestina dan mempromosikan strategi BDS dalam konteks queer. Tujuan utama kami dengan “Kaum Queer Palestina untuk BDS” adalah untuk berbicara secara internasional dengan kelompok-kelompok queer dan mendorong baik kelompok-kelompok radikal maupun arus besar untuk mendukung BDS. Hanya dengan tekanan eksternal dapat memaksa Israel menghentikan pendudukan.
Kampanye BDS mendapatkan momentum secara internasional. Apa pengalamanmu terkait dengan ini?
HM: Kami adalah kelompok yang masih muda – PQBDS (Palestine Queer for BDS) baru dimulai satu setengah tahun yang lalu dengan membuat pernyataan umum. Kami menyerukan para akademisi dan artis queer untuk melakukan boikot terhadap institusi-institusi Israel yang ada hubungannya dengan pemerintah. Bagi kami, kami lihat momentum penting, setidaknya di Eropa, dalam kampanye melawan keputusan IGLYO untuk menyelenggarakan Majelis Umumnya di Tel Aviv pada bulan Desember ini. IGLYO adalah Internasional Organisasi Lesbian dan Gay untuk kaum Muda yang mempunyai anggota sebanyak 75 organisasi. Melalui kampanye ini, kami menjangkau banyak kelompok internasional. Tujuan utamanya adalah untuk memboikot Majelis Umum—bukan IGLYO itu sendiri—dan seruan ini membuka pendiskusian menyangkut isu hak-hak kaum queer Palestina dan pendudukan. Belasan kelompok LGBT di Eropa  terdorong untuk mendiskusikan hal ini, bagi kami ini merupakan prestasi luar biasa.
Apa yang kamu anggap prestasi terbesarmu sejauh ini?
HM: ‘setelah 10 tahun berjuang, kami mengukuhkan diri kami sebagai bagian dari masyarakat kami dan membuktikan kami memiliki kontribusi yang khusus. Ide-ide kami tentang indentitas dan seksualitas membawa hal baru bagi masyarakat Palestina, dan terdapat banyak sekali ketertarikan di kalangan kami sendiri, juga di antara aktivis-aktivis Palestina yang non LGBT. Bahkan sekarang orang-orang non LGBT datang mengunjungi acara-acara kami, mereka merasa lebih bebas di sana. Prestasi yang paling hebat dari gerakan kami adalah menciptakan infrastruktur dan komunitas yang solid.
Diterjemahkan oleh Vivi Widyawati dari: internationalviewpoint. Vivi adalah anggota Komite Nasional Perempuan Mahardhika dan aktivis hak-hak LGBTIQ
[1] Editor Grenzeloos, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh kelompok seksi Internasional IV  di Belanda.
[2] Eksodus warga Palestina pada tahun 1948, kira-kira 711.000 – 725.000 orang Arab Palestina meninggalkan atau diusir dari rumah mereka selama perang Arab – Israel pada tahun 1948.
[3] Sebuah karnaval untuk merayakan kebebasan bagi orang-orang lesbian, gay, biseksual, transeksual, interseksual dan queer.
[4] Wilayah daratan dibagian Barat sungai Yordan merupakan bagian teritori Palestina yang terletak di Asia Barat. Pada tahun 1967 West Bank telah diduduki oleh Israel dalam Enam Hari Perang.
[5] Kekerasan yang dilakukan karena motivasi yang bias berbasiskan kebencian pada ras tertentu, orientasi seksual, jender, agama, dll. Bentuk-bentuk hate-crime seperti, penyerangan, melukai, membunuh, mengejek, dan melecehkan.
[6] Strategi yang diciptakan untuk menyembunyikan pelanggaran HAM terhadap orang-orang Palestina dibalik citra modernitas ditandai dengan kehidupan homoseksual di Israel.
[7] Sebuah kampanye internasional yang dideklarasikan pada tanggal 9 Juli 2005 oleh sekitar 171 organisasi untuk mendukung rakyat Palestina melawan Pemerintah Israel dalam melakukan boikot, pencabutan dan sanksi.

[i] Dalam makna kata, salah satu makna queer adalah membedakan dengan cara tertentu dari apa yang biasa atau normal (http://www.merriam-webster.com/dictionary/queer).Teori Queer meluaskan fokusnya hingga meliputi setiap jenis aktivitas atau identitas seksual yang berada pada kategori “normal” dan “menyimpang”.  (http://en.wikipedia.org/wiki/Queer_theory).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar