PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

04 Maret 2012

Pernyataan Sikap Pra kondisi Hari Perempuan Internasional 2012


Dari Rumah hingga Negara Perempuan Diperkosa. Pemerintah dan Parlemen Mengabaikan Kasus Perkosaan dan Membiarkan Pelecehan Seksual.

Perempuan, Keluar Rumah dan Bangun Organisasi Perempuan untuk Wujudkan Pemerintahan Demokratis, Adil dan Setara!

Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tercatat dari tahun 1998-2010 kasus perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, yaitu 4.845 dari 8.784 kasus. Dan lebih dari ¾ dari keseluruhan kasus kekerasan seksual (sebanyak 70.115 dari 93.960) dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti ayah, suami, kakak laki-laki, paman, kakek, dan pacar. Hal tersebut menyadarkan kita bahwa berada dengan orang-orang terdekat belum memastikan bahwa perempuan akan terhindar dari tindak kekerasan seksual.

Hal lain dan sudah jelas di depan mata adalah kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi di ruang publik. Menurut data Polda Metro Jaya Jakarta, terjadi peningkatan kasus perkosaan di angkutan kota sebesar 13,33% pada tahun 2011, yang semula 60 (2010) menjadi 68 (http://megapolitan.kompas.com). Di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung-Jakarta Utara yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, tak jarang perempuan mendapat tindak pelecehan seksual, seperti dipanggil “cantik”, “manis” dengan maksud-maksud seksual (menggoda) ketika berjalan, hingga pengajuan syarat oleh atasan untuk dekat secara fisik agar mendapat posisi aman di tempat kerja (dari pengaduan korban). Hal tersebut merupakan sedikit contoh dari situasi kerja tak aman yang dialami banyak perempuan di Indonesia.   

Selain hal di atas, yang tak boleh kita lupakan adalah kasus perkosaan massal yang dialami oleh perempuan akibat dari situasi konflik. Dari peristiwa 1965, setidaknya tercatat 1.192 kasus kekerasan seksual pada perempuan yang diduga terlibat peristiwa politik ‘65. Kemudian, setidaknya 85 perempuan Tionghoa diperkosa bahkan di depan keluarganya sendiri. Kejadian mengerikan itu diakibatkan oleh konflik ’98 yang sangat mendiskriminasi kaum Tionghoa (www.komnasperempuan.or.id). Selanjutnya, kejahatan seksual terhadap pejuang buruh perempuan, Marsinah yang tak pernah disidangkan serta kekerasan seksual perempuan di Papua yang masih berlanjut hingga sekarang. TNI, sebagai lembaga yang paling banyak berperan dalam kasus kekerasan seksual di atas, baik sebagai pelaku atau lembaga yang memicu tindak kekerasan seksual massal terhadap perempuan harus ditindak.

Pemerintah justru mengabaikan segala tindak kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan seperti disebutkan di atas. Tak satupun penanganan kasus perkosaan akan mulus berjalan di muka pengadilan. Tak ada niatan pula dari pemerintah untuk mengungkap kejahatan perkosaan massal yang menimpa perempuan dalam situasi konflik seperti di atas. Definisi sempit pasal 285 KUHP yang hanya mengartikan perkosaan hanya sebagai pemaksaan persetubuhan (penetrasi organ seksual) menyebabkan sulitnya kasus perkosaan di proses. Selain itu munculnya 154 perda diskriminatif terhadap perempuan semakin mengukuhkan stigma bahwa kekerasan seksual terjadi karena kesalahan perempuan. (www.komnasperempuan.or.id).

Situasi masyarakat patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kedua / inferior “di bawah laki-laki” (artinya hak-haknya sebagai manusia tidak setara dengan laki-laki), menyebabkan perempuan sangat rentan terhadap situasi kekerasan yang menimpa seksualitasnya. Perempuan dianggap tidak punya kuasa atas diri dan tubuhnya. Tubuh perempuan dianggap bukan milik perempuan itu, tapi milik suami atau pasangannya, masyarakat, dan negara. Situasi tersebut juga menyebabkan kasus kekerasan seksual sulit untuk diungkap, karena korban justru khawatir akan mendapat hujatan dari masyarakat, dianggap kejahatan seksual yang menimpa dirinya adalah karena ia tidak bisa berperilaku seusai dengan yang masyarakat inginkan.

Situasi domestifikasi (penempatan perempuan sebagai penanggung jawab utama rumah tangga) yang membatasi ruang gerak perempuan di ruang publik juga menyebabkan sulitnya perempuan membangun kekuatan untuk melawan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat di dalam rumah. Oleh karena itu, sudah saatnya perempuan keluar rumah membangun perkumpulan / organisasinya untuk menyatukan kekuatan melawan kekerasan seksual dan membangun pemerintahan demokratis, adil dan setara bagi perempuan.

Setelah melihat pemaparan di atas, maka Komite Nasional Perempuan Mahardhika menyatakan :

1.      Negara harus mengusut tuntas kasus perkosaan, termasuk kejahatan seksual yang dilakukan oleh Tentara masa lampau.
2.      Cabut segala perda/kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.
3.      Berikan keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual
4.      Hentikan segala bentuk pelabelan negatif pada korban.
5.      Untuk kaum Perempuan, saatnya keluar rumah. Bangun organisasi dan gerakan perempuan untuk wujudkan pemerintahan yang demokratis, adil dan setara.

Jangan Salahkan Korban! Tindak, Adili dan Penjarakan Pelaku Perkosaan!

Jakarta, 4 Maret 2012

Add caption

Komite Nasional Perempuan Mahardhika


Sekretaris Nasional
Dian Novita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar