Dari Rumah hingga Negara Perempuan Diperkosa. Pemerintah dan Parlemen
Mengabaikan Kasus Perkosaan dan Membiarkan Pelecehan Seksual.
Perempuan, Keluar Rumah dan Bangun Organisasi Perempuan untuk Wujudkan
Pemerintahan Demokratis, Adil dan Setara!
Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan
tercatat dari tahun 1998-2010 kasus perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual
yang paling banyak terjadi, yaitu 4.845 dari 8.784 kasus. Dan lebih dari ¾ dari
keseluruhan kasus kekerasan seksual (sebanyak 70.115 dari 93.960) dilakukan
oleh orang-orang terdekat korban, seperti ayah, suami, kakak laki-laki, paman,
kakek, dan pacar. Hal tersebut menyadarkan kita bahwa berada dengan orang-orang
terdekat belum memastikan bahwa perempuan akan terhindar dari tindak kekerasan
seksual.
Hal lain dan sudah jelas di depan mata adalah
kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi di ruang publik. Menurut data
Polda Metro Jaya Jakarta, terjadi peningkatan kasus perkosaan di angkutan kota
sebesar 13,33% pada tahun 2011, yang semula 60 (2010) menjadi 68 (http://megapolitan.kompas.com). Di Kawasan Berikat Nusantara (KBN)
Cakung-Jakarta Utara yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, tak jarang
perempuan mendapat tindak pelecehan seksual, seperti dipanggil “cantik”,
“manis” dengan maksud-maksud seksual (menggoda) ketika berjalan, hingga
pengajuan syarat oleh atasan untuk dekat secara fisik agar mendapat posisi aman
di tempat kerja (dari pengaduan korban). Hal tersebut merupakan sedikit contoh
dari situasi kerja tak aman yang dialami banyak perempuan di Indonesia.
Selain hal di atas, yang tak boleh kita lupakan adalah
kasus perkosaan massal yang dialami oleh perempuan akibat dari situasi konflik.
Dari peristiwa 1965, setidaknya tercatat 1.192 kasus kekerasan seksual pada
perempuan yang diduga terlibat peristiwa politik ‘65. Kemudian, setidaknya 85
perempuan Tionghoa diperkosa bahkan di depan keluarganya sendiri. Kejadian
mengerikan itu diakibatkan oleh konflik ’98 yang sangat mendiskriminasi kaum
Tionghoa (www.komnasperempuan.or.id). Selanjutnya, kejahatan seksual terhadap
pejuang buruh perempuan, Marsinah yang tak pernah disidangkan serta kekerasan
seksual perempuan di Papua yang masih berlanjut hingga sekarang. TNI, sebagai
lembaga yang paling banyak berperan dalam kasus kekerasan seksual di atas, baik
sebagai pelaku atau lembaga yang memicu tindak kekerasan seksual massal
terhadap perempuan harus ditindak.
Pemerintah justru mengabaikan segala tindak
kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan seperti disebutkan di atas. Tak
satupun penanganan kasus perkosaan akan mulus berjalan di muka pengadilan. Tak
ada niatan pula dari pemerintah untuk mengungkap kejahatan perkosaan massal
yang menimpa perempuan dalam situasi konflik seperti di atas. Definisi sempit
pasal 285 KUHP yang hanya mengartikan perkosaan hanya sebagai pemaksaan
persetubuhan (penetrasi organ seksual) menyebabkan sulitnya kasus perkosaan di
proses. Selain itu munculnya 154 perda diskriminatif terhadap perempuan semakin
mengukuhkan stigma bahwa kekerasan seksual terjadi karena kesalahan perempuan. (www.komnasperempuan.or.id).
Situasi masyarakat patriarkhi yang menempatkan
perempuan sebagai makhluk kedua / inferior “di bawah laki-laki” (artinya
hak-haknya sebagai manusia tidak setara dengan laki-laki), menyebabkan
perempuan sangat rentan terhadap situasi kekerasan yang menimpa seksualitasnya.
Perempuan dianggap tidak punya kuasa atas diri dan tubuhnya. Tubuh perempuan
dianggap bukan milik perempuan itu, tapi milik suami atau pasangannya,
masyarakat, dan negara. Situasi tersebut juga menyebabkan kasus kekerasan
seksual sulit untuk diungkap, karena korban justru khawatir akan mendapat
hujatan dari masyarakat, dianggap kejahatan seksual yang menimpa dirinya adalah
karena ia tidak bisa berperilaku seusai dengan yang masyarakat inginkan.
Situasi domestifikasi (penempatan perempuan
sebagai penanggung jawab utama rumah tangga) yang membatasi ruang gerak
perempuan di ruang publik juga menyebabkan sulitnya perempuan membangun
kekuatan untuk melawan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang
terdekat di dalam rumah. Oleh karena itu, sudah saatnya perempuan keluar rumah membangun
perkumpulan / organisasinya untuk menyatukan kekuatan melawan kekerasan seksual
dan membangun pemerintahan demokratis, adil dan setara bagi perempuan.
Setelah melihat pemaparan di atas, maka Komite Nasional Perempuan
Mahardhika menyatakan :
1.
Negara
harus mengusut tuntas kasus perkosaan, termasuk kejahatan seksual yang
dilakukan oleh Tentara masa lampau.
2.
Cabut
segala perda/kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.
3.
Berikan keadilan dan pemulihan
bagi korban kekerasan seksual
4.
Hentikan
segala bentuk pelabelan negatif pada korban.
5.
Untuk
kaum Perempuan, saatnya keluar rumah. Bangun organisasi dan gerakan perempuan
untuk wujudkan pemerintahan yang demokratis, adil dan setara.
Jangan Salahkan Korban! Tindak, Adili
dan Penjarakan Pelaku Perkosaan!
Jakarta, 4 Maret 2012
Add caption |
Komite Nasional Perempuan Mahardhika
Sekretaris
Nasional
Dian Novita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar