PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

29 Maret 2012

Hari Perempuan Internasional: perjuangan untuk pembebasan*


Zely Ariane[1] 
                                                                   Aksi melawan pelecehan seksual, Minggu 4 Maret 2012, di Bunderan HI Jakarta 


Hari Perempuan Internasional tahun ini di Indonesia ditandai dengan meningkatnya serangan terhadap perempuan. Peningkatan frekuensi kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, dan rencana pemerintah menaikkan harga BBM baru-baru ini mengancam dan membebani semua perempuan, khususnya perempuan miskin.

Perempuan Mahardhika adalah organisasi perempuan yang terus mencoba membangun suatu pergerakan perempuan melawan semua bentuk penindasan dan eksploitasi yang disebabkan oleh kapitalisme, patriarki, dan militerisme. Melawan pelecehan seksual dan kebijakan ekonomi yang semakin jauh memfeminisasi kemiskinan adalah bagian dari perjuangan penting bagi pembebasan perempuan di Indonesia.


Kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, bukanlah suatu fenomena baru. Menurut Vivi Widyawati, salah satu pimpinan Komite Nasional Perempuan Mahardhika, ia seperti suatu “kejahatan yang sunyi” yang jarang disuarakan oleh kaum kiri dan pergerakan sosial di Indonesia—dengan pengecualian organisasi-organisasi perempuan. Kejahatan ini terjadi setiap hari, disetiap bagian dan aspek kehidupan perempuan: dari rumah ke jalan ke tempat kerja, termasuk institusi-institusi negara.

Kejahatan seksual juga digunakan sebagai alat politik seperti yang banyak terjadi di daerah-daerah “rawan konflik” seperti Aceh[2] dan Papua[3], stigmatisasi dan penyalahan terhadap korban terjadi pada Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) oleh pemerintah militer Indonesia sejak 1965[4], kekerasan seksual terhadap etnis perempuan Cina selama kerusuhan 1998 di Jakarta[5], serta sebagai alat perang, seperti pada kasus perjuangan kemerdekaan Timor Leste melawan negara Indonesia[6]. Dan tentu saja, kita tidak lupa pada kejahatan terhadap Marsinah[7].

Di saat yang sama perempuan mendapatkan manfaat paling sedikit dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 6% itu. Pertumbuhan ini hampir tak berdampak pada angka kematian ibu yang rata-rata masih sama 320 per 100.000 kelahiran (masih yang tertinggi di Asia), atau angka buta huruf perempuan yang mencapai 10,5 juta jiwa berusia di bawah 15 tahun[8]. Jumlah perempuan Indonesia menurut sensus penduduk tahun 2010 sebesar 118.048.783 jiwa dari total populasi 237.556.363[9]. Secara umum, pertumbuhan ekonomi sangat sedikit dampaknya pada partisipasi perempuan di sekolah yang hanya bertambah sedikit lebih dari 1/5 dalam 29 tahun[10]. Sebelas persen perempuan di atas 10 tahun tidak pernah sekolah sama sekali.[11]

Itulah sebabnya kaum perempuan adalah yang paling banyak diperdagangkan di industry seks sebagai “perempuan penghibur” dan pelacur, serta mendominasi pekerjaan paling rendah keterampilan, bekerja dalam keadaan yang paling tidak aman, rentan, dan paling eksploitatif, seperti pekerja rumah tangga (di dalam dan di luar negeri) atau di industry manufaktur (mayoritas garmen, tekstil, dan elektronik).
Artikel ini mencoba menempatkan benang merah yang mengaitkan dua isu mendesak penindasan perempuan ini, pada peringatan hari perempuan internasional tahun ini.


Politik mempersalahkan korban

Sejak tahun 1998 hingga 2010 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempiam (KOMNAS PEREMPUAN) mencatat bahwa perkosaan adalah bentuk kejahatan seksual yang paling banyak dilaporkan. Dari 8784 laporan yang sudah dipilah, 4845 terkait kasus-kasus perkosaan, dan dari 93.960 laporan yang belum terpilah, 70.115 adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga terdekat atau kerabat seperti ayah, suami, paman, pacar, kakek, dll.

Kasus-kasus perkosaan menjadi lebih disoroti belakangan ini sejak sejak angka pemerkosaan di transportasi umum meningkat signifikan[12]. Namun angka-angka itu kelihatannya “kecil” dibandingkan dengan jumlah keseluruhan perempuan. Ini terjadi karena kekerasan terhadap perempuan paling tidak terdokumentasikan oleh pemerintah.  Angka keseluruhan nasional tidak tersedia[13]. Dan ini dapat dimengerti karena  satu-satunya institusi yang didukung negara untuk mengawasi kekerasan berbasis jender, KOMNAS PEREMPUAN, hanya memiliki satu kantor, di pusat ibukota, Jakarta. Dan kita juga tahu bahwa di bawah sistem dan masyarakat patriarki kekerasan berbasis jender, khususnya seksual, seringkali disembunyikan, dan diskusi tentang itu ditindas.

Indonesia tidak punya ketentuan hukum yang mengkriminalisasi pelecehan seksual[14]. Sampai saat ini tidak ada peradilan yang adil terjadi pada orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus perkosaan yang bermotif politik dan kekerasan seksual lainnya di daerah  konflik. Kekerasan ini bahkan tidak dijadikan suatu isu politik. Bukannya meletakkan penyebab dari kekerasan ini dalam struktur masyarakat kapitalis dan patriarki, dan membuat suatu UU KUHAP baru yang bebas bias jender, negara malah mendukung setidaknya 154 peraturan daerah di tahun 2009 dan tambahan 35 di bulan September 2010, yang lebih jauh melegitimasi bagi kebijakan patriarkis yang menyalahkan korban. Contoh dari peraturan-peraturan itu antara lain Perda Syariah di Aceh dan beberapa kota lain di Jawa Barat yang mengatur cara berpakaian dan berperilaku perempuan[15]  dan UU ‘Anti Pornografi’ No 44 tahun 2008, serta berbagai peraturan “Anti Prostitusi” dan “Anti Minuman Keras’ di berbagai daerah. Peraturan-peraturan ini semakin memposisikan perempuan dalam kondisi yang semakin rentan dan membuatnya lebih mudah untuk disalahkan serta menjadi korban pelecehan seksual.

Itulah mengapa suatu pergerakan politik untuk melawan perkosaan dan menentang kecenderungan menyalahkan korban adalah tindakan yang sangat penting. Perempuan Mahardhika adalah salah satu organisasi yang secara khusus melawan politik menyalahkan korban perkosaan dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya. Kami hendak membongkar motif sebenarnya dari perbuatan tersebut, yang berakar dalam kebudayaan patriarki yang dipelihara oleh kapitalisme.  Kekerasan seksual berakar dalam syarat-syarat patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi inferior, manusia nomor dua, dan sebagai objek seksual. Kapitalisme memelihara dan bahkan memprovokasi lebih  lanjut perilaku tersebut melalui komodifikasi tubuh perempuan—membuat tubuh perempuan sebagai barang dagangan. Contohnya, iklan-iklan yang seksis membanjiri media massa kita. Secara terang-terangan mengeksploitasi perempuan dan memberi lebih banyak keuntungan pada industri seperti kosmetik, pakaian, peralatan rumah tangga, perabotan, dan elektronik. Industri seks, yang semakin merendahkan perempuan, juga merupakan industri kapitlais.

Pada hari Minggu, 4 Maret 2012, Perempuan Mahardhika menyelenggarakan aksi protes terhadap perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Di spanduknya tertulis: Dari Rumah sampai Negara Perempuan Diperkosa; Negara Mengabaikan Berbagai Kasus Pelecehan Seksual; Jangan Salahkan Korban, Lawan, Tangkap, dan Penjarakan Pelaku Pemerkosaan.” Aksi ini adalah bagian dari serangkaian kegiatan menuju Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2012. Bersama beragam organisasi perempuan dan LGBT, “Forum Keadilan Perempuan” didirikan untuk melanjutkan kampanye ini.
Perempuan Mahardhika baru saja mencetak buku berjudul “A-Z Pelecehan Seksual, Lawan dan Laporkan” sebagai semacam buku petunjuk untuk memahami definisi dan  lokus pelecehan seksual, membantu  membangun kepercayaan diri untuk melawannya, dan tahu mekanisme hukum yang ada saat ini untuk melaporkannya. Mahardhika juga mengorganisir serangkaian diskusi tentang pelecehan seksual bersama Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), yang memiliki mayoritas anggota perempuan, di kawasan industri Cakung. Menurut survey yang dilakukan oleh FBLP dan Mahardhika tahun lalu, banyak perempuan buruh mengalami berbagai tindakan pelecehan seksual di kawasan itu. Semua ini bukanlah sesuatu yang muncul “di luar”; anggota-anggota dan pendukung Mahardhika sendiri juga mengalami kekerasan seksual oleh laki-laki di berbagai organisasi sosial dan politik.

Membangun Jembatan

Beberapa serikat buruh kiri baru-baru ini menyerukan respon politik menuju Hari Perempuan Internasional 8 Maret. Pada awalnya mobilisasi direncanakan untuk  melanjutkan kampanye menaikkan upah, terkait rangkaian pemogokan buruh di beberapa kawasan industry di Bekasi, Jawa Barat [16] dan Tangerang, Propinsi Banten. Namun setelah pemerintah mengumumkan rencananya untuk menaikkan harga BBM[17] pada 1 April 2012, aliansi buruh setuju memprioritaskan isu ini pada 8 Maret.

Sekilas tampak tidak ada yang salah dengan rencana ini, sampai Jumisih, anggota FBLP dan juga anggota Perempuan Mahardhika, mengusulkan agar memberi tekanan khusus pada persoalan perempuan terkait isu-isu tersebut—apalagi mobilisasi itu sendiri direncanakan pada Hari Perempuan Internasional. Namun usulan sederhana ini tampaknya tidak serius mendapat dukungan—pentingnya tekanan isu tersebut sejauh ini tidak dimengerti oleh sebagian besar pimpinan serikat buruh (laki-laki) yang tampak tak begitu perduli, atau acuh tak acuh terhadap aspek-aspek lain hak-hak perempuan.

Tentu saja, setidaknya, 38 persen tenaga kerja perempuan adalah perempuan[18] dan mereka juga akan diuntungkan dari kenaikan upah. Namun kenaikan ini tidak otomatis setara antara perempuan dan laki-laki, apalagi berkontribusi pada berkurangnya kerja perempuan di rumah. Sampai sekarang, kaum perempuan tidak dianggap pekerja utama di rumah tangga karena laki-laki lah yang diposisikan sebagai “kepala keluarga”. Karena hanya sebagai pekerja tambahan, kaum perempuan selalu dibayar lebih murah, dan dipecat (PHK) lebih mudah daripada laki-laki.  Kenaikan harga BBM akan memicu inflasi dan memberi beban lebih berat pada perempuan karena merekalah yang mengurus keluarga dan mengatur pengeluaran rumah tangga. Dalam banyak kasus suami-suami tidak tahu  persis atau bahkan tidak perduli bagaimana perempuan mengatur ekonomi keluarga dan mengatasi inflasi. Tuntutan kenaikan upah dan harga minyak yang terjangkau tidak dengan sendirinya mengandung aspek spesifik pembebasan perempuan. Tuntutan-tuntutan itu hanyalah landasan bagi perempuan untuk berjuang agar lebih banyak hak bagi pembebasan dirinya. Dalam perjuangan ekonomi tuntutan spesifik perempuan sudah seharusnya diangkat—kalau tidak, penindasan perempuan, yang memiliki bentuk spesifik dan khusus, akan terus diabaikan.

Dalam konteks inilah, apa yang coba diangkat oleh Jumisih merupakan isu yang sangat penting bagi perjuangan perempuan, apalagi di hari milik mereka yang diakui secara internasional. Seratusan anggota FBLP mencoba memberi contoh bagaimana mengombinasikan perjuangan untuk hak-hak ekonomi dengan perlawnaan terhadap penindasan spesifik kaum perempuan dengan mengorganisir aksi di depan PT. Woojen Busana pada 14 Pebruari 2012. Para aktivis menuntut kenaikan upah, pembayaran skorsing, pengurangan jam kerja, dan menyerukan  untuk melawan pelecehan seksual verbal dan non verbal di pabrik.[19].

Memang semua ini adalah kontribusi yang masih kecil bagi perjuangan untuk hak-hak dan pembebasan perempuan di Indonesia, namun dengan  melakukan ini, setidaknya, FBLP telah berkontribusi terhadap pendidikan para anggotanya dan memberikan warna feminis pada perjuangan serikat buruh. Tentu saja ini masih jauh dari revolusi yang feminis… Namun, jika revolusi adalah cara untuk membebaskan manusia dari segala  bentuk penindasan dan eksploitasi, mengabaikan tuntutan perempuan sama dengan  menunda revolusi itu sendiri.

Selamat Hari Perempuan Internasional: lebih banyak berjuang, lebih banyak kesetaraan, lebih banyak kebahagiaan.

8 Maret 2012.

*Anggota Partai Pembebasan Rakyat dan Anggota Komite Nasional Perempuan Mahardhika 

*Artikel asli ditulis dalam bahasa Inggris pada 6 Maret 2012: http://kprm-prd-english.blogspot.com/2012/03/international-womens-day-in-indonesia.html, kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dilengkapi referensinya.


[1] Member of the National Committee of Perempuan Mahardhika (Free Women), and member of the leadership committee of People’s Liberation Party (PLP), based in Jakarta, Indonesia.
[2] http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/047/2004/en/5bb5fa00-d577-11dd-bb24-1fb85fe8fa05/asa210472004en.html
[3] http://etan.org/issues/wpapua/2011/1101wpap.htm
[4]http://komnasperempuan.or.id/publikasi/English/Komnas%20Publish/Kejahatan%20terhadap%20kemanusiaan%20berbasis%20jender-English.pdf
[5] http://www.angelfire.com/space2/light11/women/mass1.html andhttp://www.peacewomen.org/portal_resources_resource.php?id=784
[6] http://www.nytimes.com/2001/03/01/world/sexual-violence-as-tool-of-war-pattern-emerging-in-east-timor.html?pagewanted=all&src=pm
[7] http://www.minihub.org/siarlist/msg00138.html
[8] Data Depdiknas tahun 2005
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_Indonesia_2010
[10] Dikatakan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan naik 22%, dari hanya 1% di tahun1970 menjadi 23% tahun 2009—selama 29 tahun hanya naik 22%! Dari data itu, ada 11% perempuan berusia 10 tahun ke atas yang belum pernah bersekolah sama sekali sampai sekarang; hanya 1,5% perempuan yang sampai pada bangku Universitas; dan 70,7% perempuan tidak bersekolah lagi: http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/21/gender-equality-remains-a-challenge-world-bank-report.html dan dari berbagai sumber.
[11] National Education Department, year 2005.
[12] http://kprm-prd-english.blogspot.com.au/2011/10/indonesian-feminists-dont-blame-victim.html
[13] http://www.state.gov/j/drl/rls/hrrpt/2010/eap/154385.htm
[14] KUHP Indonesia masih mendefinisikan pemerkosaan dalam definisi yang sudah kuno dan tidak sesuai dengan standar internasional dalam penuntutan kasus-kasus perkosaan. Di dalamnya, pemerkosaan didefinisikan secara sempit hanya dalam bentuk pemaksaan penetrasi organ seksual. Menurut KUHAP penuntutan perkosaan membutuhkan bukti air mani melalui pemeriksaan medis (visum et repertum) dan pendukungan dari dua sumber, termasuk seorang saksi. Penuntutan hukum semacam itu membuatnya secara praktis mustahil bagi korban perempuan yang diperkosa untuk mendapatkan keadilan melalui pengadilan. Dampaknya, Indonesia tidak memiliki kerangka hukum yang efektif   yang mengkriminalisasikan bentuk penyiksaan khusus berbasis jender ini—dokumen yang diberikan pada Committee Against Torture (CAT) oleh KOMNAS PEREMPUAN, April 2008.
[15] Sebagai bagian dari perjanjian damai di Aceh, UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menetapkan bahwa Hukum Syariah ditegakkan di propinsi ini sebagai pengakuan atas status kekhusuan otonominya di dalam sistem negara Kesatuan Indonesia. Peraturan lokal ditetapkan di Aceh memiliki istilah aragnya sendiri, qanun. Melalui qanun, berpakaian Muslim adalah kewajiban bagi perempuan Muslim dan pergaulan dekat antara  perempuan yang belum menikah  dengan laki-laki yang bukan muhrimnya (khalwat) merupakan pelanggaran yang dapat dihukum dengan   is a violation punishable by public flogging–document submitted to the Committee Against Torture (CAT) by National Commission on Violence Against Women, April 2008.
[16] http://www.thejakartaglobe.com/home/minimum-wage-protests-hit-jakarta/497845 and http://www.thejakartaglobe.com/business/bekasi-wage-ruling-sparks-mass-worker-protests/493964
[17] http://www.thejakartaglobe.com/home/energy-minister-apologizes-in-advance-for-fuel-price-hike/500068
[18] http://www.tradingeconomics.com/indonesia/labor-force-female-percent-of-total-labor-force-wb-data.html
[19] http://www.tribunnews.com/2012/02/14/buruh-turun-ke-jalan-lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar