Belakangan ini, merebak wacana kontroversial di Jambi terkait usulan salah satu anggota DPRD untuk memberlakukan tes keperawanan dalam proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) di sekolah negeri. Usulan tersebut pertama kali di lontarkan oleh seorang politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang menjabat di komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi bernama Bambang Bayu Suseno. Menurut Bambang, usulan tes keperawanan bagi siswa perempuan yang akan melanjutkan ke sekolah negeri di latarbelakangi oleh keprihatinannya terhadap realita pergaulan bebas di kalangan anak muda. “ada fenomena longgarnya pengawasan orang tua. Kemudian pendidikan agama minim. Wacana ini kami gulirkan berangkat dari kegelisahan itu.” Ungkap bambang beberapa waktu lalu.
Bambang berpendapat, dalam prakteknya siswa perempuan yang sudah menikah dan siswa yang sudah tidak perawan adalah sama. Jika siswa perempuan yang sudah menikah dilarang untuk bersekolah maka hal yang sama juga seharusnya berlaku bagi mereka yang sudah tidak perawan. “idenya sederhana. Bagi yang punya anak gadis, tentu takut anak-anaknya “dirusak” sebelum waktunya. Makanya, dengan tes keperawanan sebelum melanjutkan sekolah, anak-anak gadis otomatis bisa menjaga sendiri kehormatannya.”
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar menilai wacana tes keperawanan bagi siswa SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di Jambi adalah usulan yang diskriminatif. Selain mengandung ketimpangan gender, wacana tes keperawanan bertentangan dengan hak anak untuk mendapatkan pendidikan. “ saya kira hak sekolah adalah hak anak yang sifatnya mutlak.” Kata Linda(Tempo interaktif, 28 September 2010). Kendati telah menghubungi pemerintah daerah terkait persoalan tersebut namun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak menawarkan solusi konkrit untuk mengatasi persoalan tersebut.
Sudah bukan menjadi fenomena baru, kebijakan yang dilatarbelakangi oleh konstruksi budaya dari relasi yang membatasi posisi, peran dan perilaku perempuan dalam segala pranata sosial di produksi dan atau dilanggengkan oleh pemerintah Indonesia. Wacana tes keperawanan merupakan salah satunya, dan secara jelas membuktikan lemahnya pemahaman masyarakat, bahkan para pengambil kebijakan akan seksualitas perempuan sekaligus menunjukan ketidakseriusan, ketidakpedulian dan ketidakberpihakan pemerintah terhadap persoalan yang menimpa kaum perempuan.
Jika ditelusuri secara yuridis, usulan tes keperawanan bagi siswa perempuan di Jambi merupakan bentuk pelanggaran terhadap amanah konstitusi yang memberikan jaminan hak pendidikan bagi warga negara Indonesia. Dalam Platform for Action Beijing, yang merupakan dokumen hasil Konferensi Perempuan Dunia keempat di beijing, paragraf 96 menegaskan bahwa “Hak asasi perempuan mencakup hak untuk memiliki kontrol atas dan memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Hubungan yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam relasi seksual dan reproduksi...”. Ini berarti bahwa kebebasan atas kontrol seksualitas serta penghormatan penuh atas integritas pribadi merupakan hak asasi perempuan berdasarkan penafsiran konvensi perempuan sebagai dokumen hukum yang mengikat secara internasional.
Sejarah panjang penyingkiran perempuan telah meletakkan pondasi persoalan dalam tataran ekonomi politik yang menjadi basis lahirnya kesadaran yang di pertahankan melalui institusi dari ideologi yang berkuasa. Dari landasan inilah, maka kita akan semakin tajam di hadapkan pada analisa obyektif pembebasan perempuan dalam upaya pembebasan rakyat secara keseluruhan. Prinsip patriarkal yang semakin dilanggengkan oleh negara, kebijakan anti rakyat yang juga menimpa kaum perempuan merupakan kesatuan persoalan yang saling bertautan dalam sistem negara, sehingga bagaimana mungkin mampu mencabut akar penindasan perempuan tanpa menghancurkan sistem penindasan rakyat secara keseluruhan?.(LIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar