PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

09 Maret 2009

KAUM PEREMPUAN KELUAR RUMAH! LAWAN PEMILU ELIT 2009!

PEREMPUAN BERSATU:
KELUAR RUMAH! BANGUN WADAH PERSATUAN GERAKAN ANTI KOOPTASI-KOOPERASI
MELAWAN PEMILU ELIT 2009!


Berjuta Perempuan Indonesia pernah KELUAR RUMAH guna membantu bangsanya, keluarganya, bahkan dirinya. Orde Baru merusaknya, hanya menjadikan perempuan Indonesia sebagai pelayan suami dan kekuasaan yang bejat.
Sampai sekarang pun belum pulih.

8 Maret kali ini: Ayo kita rebut kembali KEDAULATAN PEREMPUAN INDONESIA!

Menjelang abad 20 silam, tepatnya tanggal 8 Maret 1857, ribuan perempuan buruh di New York, Amerika Serikat, turun ke jalan memperjuangkan hak-haknya melawan kondisi kerja yang buruk, dan upah yang tidak layak. Hari bersejarah tersebut kemudian membangkitkan perjuangan perempuan di hampir seluruh dunia; yang kini diperingati sebagai hari Perempuan Internasional. Tak sekedar mengenang, namun lebih dari itu, untuk menegaskan bahwa perjuangan pembebasan perempuan tidak diraih dengan belas kasihan para penguasa, melainkan melalui perjuangan politik yang penuh militansi.

Kini, di negara- negara dunia ke tiga, seperti Indonesia, kaum perempuan masih tertindas. Jika buruh-buruh perempuan di belahan Eropa dan Amerika Serikat telah turun ke jalan dan mencapai berbagai kemenangannya, maka buruh-buruh perempuan di Indonesia masih harus berbaku hantam dengan sistem kapitalisme, yang terus menghisap tenaganya, mengeruk keuntungan darinya, mengambil sebagian dari hidupnya. Sementara, budaya patriarki yang telah ribuan tahun merasuki kesadaran massa, memasung kaum perempuan agar terus membisu, tanpa perlawanan.

Pengalaman perjuangan kaum perempuan Indonesia, pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan (hingga 1965), dipangkas habis dan tidak meninggalkan sedikitpun sisa ingatan bagi generasi perempuan berikutnya, khususnya menyangkut pentingnya perjuangan pembebasan perempuan dengan metode aksi massa dan organisasi politik perempuan yang berskala nasional, seperti Gerwani dan Perwari.

Sekarang, meski kuota politik 30% bagi perempuan telah ditetapkan, namun menjadi tiada arti ketika mayoritas perempuan Indonesia tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi kuota tersebut. Terlebih, demokrasi saat ini adalah demokrasi yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan segelintir orang, guna memuluskan jalan bagi (pe)modal (asing) untuk menguasai kekayaan alam Indonesia. Agar kapitalisme yang semakin krisis, terus bisa bernafas, serta mampu keluar (lagi) dari krisis yang membelitnya.

Krisis Kapitalisme dan Kepentingannya terhadap Pemilu 2009

Di tengah badai krisis Kapitalisme Global yang sedang melanda dunia, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terkena dampak krisis. Pengangguran menjadi momok menakutkan. Tercatat, sebanyak 66.300 orang terkena PHK dan dirumahkan per 28 November 2008. Dari jumlah tersebut, sebanyak 16.988 orang sudah di PHK, 6.597 orang sudah dirumahkan, 23.927 orang dalam rencana PHK, dan sebanyak 19.091 orang dalam rencana dirumahkan. Diprediksi, gelombang PHK akan mencapai puncaknya pada pertengahan 2009.

Siapa yang paling menderita akibat krisis kapitalisme ini? Tak lain dan tak bukan adalah mayoritas perempuan yang berada di bawah garis kemiskinan. Kapitalisme telah memberikan pil pahit berwujud feminisasi kemiskinan (perempuanlah bagian masyarakat yang paling miskin). Mustahil terwujud partisipasi politik penuh perempuan, di tengah- tengah kemiskinan.
Krisis kapitalisme global saat ini, yang dipicu oleh macetnya kredit perumahan di Amerika Serikat (AS), sebetulnya bersumber dari semakin jatuhnya daya beli rakyat (antara lain akibat besarnya jurang antara nilai riil suatu barang dengan harganya di pasar); ditengah barang-barang yang berlimpah (overproduksi), yang, sebenarnya, sudah terjadi sejak lama hingga mencapai klimaksnya di tahun 2008.

Di negara asalnya (AS), krisis ini berdampak pada meningkatnya angka pengangguran hingga 10,2 juta orang—merupakan angka pengangguran tertinggi di Amerika Serikat dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Jalan keluarnya: kerugian-kerugian para tuan modal besar ditalangi oleh negara (yang merupakan hasil kerja dan hak rakyat). Itulah kapitalisme: akan selalu menarik tangan negara untuk menolongnya ketika krisis.

Negara-negara dunia ketiga, yang merupakan sumber bahan mentah (sumber alam) dan tenaga kerja murah, adalah jalan keluar sekaligus dewa penyelamat bagi kapitalisme yang krisis di negeri-negeri asalnya. Untuk itu, cengkeraman modal asing harus terus diperkuat: pasar harus semakin dibuka, privatisasi digenjot, utang pun digenjot. Untuk itu, pergantian rejim di Indonesia (dalam momentum pemilu 2009) harus dipastikan sesuai dengan kepentingan para tuan modal asing; setia menjadi calonya.

Oleh karena itulah pemilu pada bulan April mendatang hanya terbuka bagi elit-elit politik yang bersedia menjadi hamba pemodal asing. Tercermin dalam komposisi peserta pemilu yang secara keseluruhan adalah kekuatan politik sisa lama (Orba), Reformis Gadungan, dan Tentara, yang terbukti tidak punya sejarah (rekam jejak), landasan, serta kapasitas politik untuk bisa mandiri di hadapan modal asing.

Kuota 30% (Saat Ini) & Pemilu 2009, Tak akan Merubah Nasib Perempuan

Bagi sebagian organisasi perempuan, pemilu 2009 boleh jadi dianggap penting, karena untuk pertama kalinya kepastian terhadap kuota 30% dilegitimasi dalam payung hukum. Kuota 30% merupakan kebijakan afirmatif yang diperlukan untuk mendorong kaum perempuan keluar rumah; berdaulat secara politik terhadap tubuh dan masa depan rakyatnya. Politik kuota ini penting, sebagai sebuah pengakuan bahwa, secara historis, perempuan berangkat dari posisi yang tidak setara dengan laki- laki; sekaligus memberi landasan bagi perempuan untuk tidak sebatas memikirkan kesejahteraan keluarga, namun juga turut berperan dalam perubahan kekuasaan negara: arah suatu bangsa.

Namun, lebih dari itu, kuota 30% bagi perempuan harus dilihat bukan hanya sebatas mengisi sebanyak-banyaknya perempuan di kursi-kursi parlemen, melainkan juga di seluruh jabatan publik! Sebanyak apapun perempuan mengisi parlemen, tidak akan ada artinya jika hanya menjadi penindas-penindas baru. Fakta menunjukkan, di era Orde Baru (1987- 1992), sekitar 13% perempuan telah mengisi kursi parlemen—ditengah matinya gerakan perempuan—dan jumlah itu, merupakan, prosentase terbesar di sepanjang sejarah Indonesia. Akan tetapi, di era tersebut pula kebijakan politik yang menindas kedaulatan perempuan merajalela: perempuan hanya ditempatkan sebagai pendamping suami, mengurus rumah tangga dengan pasokan ideologi “ibuisme”, bahkan ikut mengamini pembelengguan demokrasi.

Sebaliknya, di masa pemerintahan Soekarno, meskipun keterwakilan perempuan baru mencapai 3,8% - 6% (1950- 1955), namun mobilisasi gerakan perempuan, dalam berbagai isu gender dan politik, begitu masif. Di masa-masa itu pula lah, pendirian sekolah-sekolah lebih cepat dan pemberantasan buta huruf paling signifikan, dibandingkan dengan pemerintahan manapun setelahnya. Padahal, di masa itu, situasi ekonomi masih demikian sulit, dengan situasi politik yang penuh gangguan baik dari dalam maupun luar negeri.

Artinya, sebanyak apapun perempuan di parlemen bukanlah jaminan bagi kesetaraan hakiki & pembebasan perempuan. Jaminannya ada pada jalan keluar apa yang hendak diperjuangkannya, alat politik apa yang menjadi senjatanya, serta metode perjuangan seperti apa yang harus dikerjakannya.

Mayoritas aktivis perempuan yang mendukung politik kuota beranggapan bahwa, sebanyak-banyaknya keterlibatan perempuan bertujuan, secara khusus, untuk memperjuangkan isu-isu gender—seringkali terpisah dari tuntutan perubahan ekonomi dan politik secara keseluruhan. Padahal kesetaraan & pembebasan perempuan akan mustahil terwujud, di bawah sistem ekonomi politik yang tidak adil; yang menghambat kemajuan tenaga produktif perempuan.

Misalnya, pencabutan subsidi dan privatisasi pendidikan & kesehatan, sudah meningkatkan angka kematian perempuan dan membuat sedikit perempuan saja yang bisa sekolah. Rendahnya akses pendidikan ini membuat tingkat buta huruf perempuan dua kali lebih tinggi dari pada kaum lelaki. Sementara, mahalnya akses kesehatan berakibat pada tingginya resiko kematian perempuan melahirkan. Angka Kematian Ibu pada tahun 2008 (AKI), menurut survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI), malah semakin meningkat, yaitu 390 per 100.000 kelahiran—sebelumnya sekitar 320/100.000 kelahiran. Inilah wujud paling sederhana dari praktek ekonomi neoliberalisme (kapitalisme). Oleh karena itulah, perjuangan pembebasan perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan mengubah (secara mendasar) sistem ekonomi politik saat ini.

Agar tak kepalang tanggung, mayoritas aktivis perempuan penyokong politik kuota 30% saat ini, bahkan, tidak segan-segan menggunakan alat politik apapun: tak pandang bulu. Mereka berkhayal bahwa partai-partai peserta pemilu, serta sistem pemilu 2009 lebih berpihak bagi perempuan. Mereka menutup ingatan sejarah tentang bagaimana praktek politik partai-partai tersebut dalam dua kali pemilihan umum yang lewat. Seolah-olah akan banyak persoalan perempuan yang akan teratasi dengan masuknya mereka ke dalam partai-partai peserta pemilu kali ini. Sayangnya, contoh yang paling gamblang justru dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang mendorong 500 anggotanya untuk menjadi calon legislatif di berbagai partai politik.

Mari sedikit kita tengok apa yang sudah dihasilkan oleh parlemen, di tangan partai-partai tersebut, sepanjang 5 tahun lalu. Benar bahwa beberapa kebijakan politik, seperti UU KDRT dan kuota 30% perempuan, telah diloloskan, termasuk beberapa partai politik yang menolak UU Anti Pornografi. Akan tetapi, hal tersebut kontradiktif dengan serentetan kebijakan lainnya seperti UU PMA, UU privatisasi air, UU kelistrikan, UU BHP, dan kebijakan pro neoliberal lainnya yang berpihak pada kepentingan modal asing. Belum lagi paket kebijakan berwatak patriarki seperti Perda- perda syariah.

Agar tidak buta politik—sekedar riuh rendah bersaing demi masuk parlemen, maka penting kiranya kaum perempuan mempelajari kekuatan politik apa yang akan berebut kursi parlemen dan pemerintahan hasil Pemilu 2009 mendatang. Kekuatan politik dominan yang akan menghegemoni adalah: 1) Sisa Orde Baru, seperti Golkar, 2) Reformis Gadungan, dan 3) Tentara.

Sisa-sisa Orde Baru dalam wujud Golkar (dan tentara pro Cendana) masih terus bertahan dan mengilusi massa, bahwa kondisi rakyat jauh lebih baik ketika Orde Baru berkuasa. Rakyat tentu tak diberitahu, bahwa kesengsaraan rakyat hari ini adalah juga akibat warisan kejahatan ekonomi dan politik Soeharto dan seluruh kroninya. Tentu saja para tentara yang menggardainya, seperti Prabowo Subianto, R. Hartono dan Wiranto, tidak bersih dari dosa-dosa ini.

Reformis gadungan, adalah seluruh partai yang pada momentum Reformasi 1998 berpura-pura reformis, namun segera menunjukkan watak aslinya setelah reformasi: pengecut dan penipu.
Mereka adalah elit- elit politik pengecut karena tidak turut serta dalam menggalang gerakan rakyat menggulingkan Suharto; tanpa rasa malu mengaku reformis, setelah Suharto pasti terguling. Mereka tak berdaya berhadapan dengan keluarga Cendana, kroni-kroninya dan tentara sisa orba—tak berdaya menyeret mereka ke pengadilan. Bahkan PKS yang mengaku paling reformis pun, dengan bangga menjadikan Suharto sebagai pahlawan dan mendekatkan diri ke lingkaran Cendana. Reformis-reformis gadungan ini, tak ubahnya seperti benalu yang terus mengemis ceceran modal asing; berebut menjadi calo imperialis. Mereka terus menerus menipu rakyat; tidak pernah terbukti memperjuangkan kesejahteraan dan demokrasi dengan sungguh-sungguh. Mereka lebih senang menjilat satu sama lain, dan mengorupsi uang rayat.
Merekalah PDIP, PKB, PAN, Demokrat, PBR, PBB, PKS, PPP, dan partai politik lainnya yang mengaku (paling) reformis, setelah Suharto terguling.

Militer. Milliter Indonesia saat ini juga merupakan sisa kekuatan Orde Baru, yang setelah reformasi 1998 mulai mengendap-endap untuk kembali lagi ke kancah politik nasional. Secara stuktural, mereka bertanggung jawab terhadap berbagai pelanggaran HAM yang tangan-tangan para Jenderalnya berlumuran darah kaum perempuan dan rakyat korban kejahatan 1965, DOM ACEH dan PAPUA, tragedi Semanggi, Trisakti, kerusuhan Mei, Alas Tlogo, dst.

Secara historis, militer Indonesia dibentuk oleh KNIL dan PETA yang membentuk watak mereka sebagai para penjaga modal sekaligus agen imperialis yang efektif. Jenderal-jenderalnya kini kembali bermain di dalam Pemilu 2009, dalam HANURA-Wiranto, Gerindra-Prabowo, PKPB-R.Hartono, dan berbagai partai lain yang menampung oknum-oknum militer.

Melihat komposisi tersebut, mana mungkin kita bersandar pada Pemilu 2009 untuk memperjuangkan pembebasan perempuan maupun perubahan ekonomi politik yang fundamental. Alat politik yang bertarung dalam pemilu mendatang adalah para komprador yang pengecut, pelanggar HAM dan korup: merekalah musuh-musuh rakyat dan kaum perempuan.

Bagi aktivis perempuan yang progressif, kuota politik 30% akan dimanfaatkan (dan terus didorong maju hingga setara, 50%) dengan membentuk alat-alat politik (partai) yang mandiri; organisasi-organisasi politik revolusioner; yang dibangun oleh mobilisasi perempuan terorganisir dan terus menyatu dengan gerakan demokratik lainnya.

Metode Perjuangan dan Jalan Keluar yang Benar

Pelajaran penting dari perjuangan pembebasan perempuan, yang melahirkan Hari Perempuan Internasional 8 Maret, adalah: pergerakan dan mobilisasi perempuan, yang terorganisir, adalah penentu perubahan nasib perempuan. Keterwakilan perempuan, hak pilih bagi perempuan, adalah hasil gemilang dari gerakan massa dan mobilisasi perempuan, bukan sebaliknya. Kemenangan hak pilih bagi perempuan Amerika Serikat di awal abad 20, tidak diperoleh dengan metode lobi terhadap para elit politik, melainkan dengan mobilisasi kaum perempuan menentang perang, mogok makan dalam penjara, dan penggalangan kekuatan lewat organisasi-organisasi berskala nasional. Gerakan perempuan di masa itu juga berjalan beriringan sekaligus menyatu dengan gerakan sosial pembebasan budak. Hasilnya: sebuah kekuatan massa besar yang terorganisir.

Kesalahan terbesar pada waktu itu, adalah, gerakan perempuan malah memisahkan diri dari gerakan pembebasan perbudakan. Akibatnya, perempuan budak tidak ikut terbebaskan ketika pembebasan perbudakan tercapai: laki- laki budak memperoleh hak pilih, perempuan budak tidak. Tak ada metode lobi untuk menuntut jam kerja yang lebih pendek, kondisi kerja yang lebih baik, hak pilih, dan upah layak. Sekali lagi gerakan massa terorganisir dan organisasi buruh lah sebagai alatnya yang paling efektif. Rentetan perjuangan inilah yang melahirkan Hari Perempuan Internasional, dengan satu kesimpulan: bahwa gerakan massa perempuan, organisasi perempuan berskala nasional, dan persatuan demokratik, menjadi syarat bagi perjuangan pembebasan perempuan.

Di Indonesia pun demikian, gerakan perempuan pernah membesar dan turut berperan dalam perang merebut kemerdekaan serta perubahan watak kekuasaan negara. Gerakan perempuan tersebut diwakili oleh organisasi perempuan seperti Gerwani dan Perwari. Akan tetapi, pembantaian 1965 telah mematikan seluruh potensi kebangkitan gerakan politik perempuan. Orde Baru menyeret kaum perempuan kembali ke rumah; menjadi pajangan politik sebagai pendamping suami di dalam Darma Wanita dan PKK, perjuangan Kartini sekadar diperingati dengan kebaya dan sanggul.

Pasca reformasi, kaum perempuan telah dimudahkan dengan relatif terbukanya ruang-demokrasi. Namun, mayoritas kaum perempuan belum efektif terlibat di dalamnya dalam rangka mengubah kekuasaan negara; masih terkungkung di dalam politik rumah tangga. Oleh karena itu, penting bagi gerakan perempuan untuk membangun wadah-wadah perempuan sebagai alat perjuangan yang akan mendorong mayoritas perempuan keluar dari rumah; tak sekedar mengurus politik rumah tangga namun turut berfikir dan berjuang mengubah kekuasaan negara. Perubahan watak kekuasaan negara adalah basis bagi perubahan watak dan tugas-tugas rumah tangga; membuat keluarga lebih demokratis.

Dengan dasar inilah kita punya landasan untuk tidak perlu lagi mempercayai elit- elit politik yang kini berlomba dalam Pemilu 2009; saatnya perempuan dan rakyat miskin membangun wadah politik persatuan alternatif bersama yang bertugas untuk meluaskan dan menyatukan mobilisasi berbagai ekspresi perlawanan rakyat. Ekspresi perlawanan rakyat tersebut TIDAK boleh dikompromikan dengan, dan dicaplok oleh musuh-musuh rakyat, yakni: kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa-sisa ORBA dan reformis gadungan. Wadah politik persatuan alternatif ini tidak boleh terkooptasi dan berkooperasi dengan kekuatan musuh rakyat, sehingga harus dibangun secara mandiri melalui seluruh kapasitas gerakan perempuan dan rakyat. Melalui alat politik ini, dengan bersandar pada kekuatan mobilisasi massa perempuan dan rakyat yang semakin menyatu, kaum perempuan dan rakyat harus memperjuangkan:
Melawan semua Jalan Keluar krisis ala Pemerintahan Agen Penjajah & Elit Politik yang menghancurkan tenaga produktif rakyat, terutama perempuan, antara lain:
  • Pendidikan, Perumahan, dan Kesehatan Mahal;
  • Penggusuran dan Penangkapan Rakyat Miskin;
  • PB 4 Menteri dan upah murah, Kenaikan Harga, Privatisasi, Kelangkaan Pupuk;
  • Utang Luar Negeri dan Penalangan Utang/kerugian kaum Pemodal
Melawan Pemilu Elit 2009, karena tidak akan mengubah nasib rakyat dan perempuan.

Membangun wadah-wadah perempuan yang mandiri dan berskala nasional; serta memobilisasi gerakan perempuan yang terus menyatu secara politik.

Mengganti Pemerintahan Agen Penjajah & Elit Politik; membentuk Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin, dengan pekerjaan utama: (1) memusatkan seluruh pendanaan dalam negeri untuk menyelesaikan kebutuhan darurat rakyat sekaligus membangun Industrialisasi Nasional di Bawah Kontrol Rakyat. (2) Menghapuskan segala kebiijakan yang menghambat kemajuan perempuan.

Golput Tak Cukup!
Organisasikan Kekuatan Kaum Perempuan dan Rakyat ke dalam Alat Politik Persatuan Gerakan untuk Pemerintahan yang Adil/Setara, Demokratik, Maju dan Sejahtera.

KOMITE NASIONAL – JARINGAN NASIONAL PEREMPUAN MAHARDHIKA
KN-JNPM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar