Zely Ariane [1]
"...walaupun perundang-undangan merupakan sebuah permulaan penting, namun perannya tidak lebih sebagai sebuah permulaan saja. Perubahan politiklah yang akan terus berkelanjutan dan harus dilengkapi oleh perubahan ekonomi, sosial dan budaya—sebuah pendekatan yang menyeluruh bagi persoalan yang menyeluruh pula." (Sarah Wagner, dalam "Feminisme Mengubah Masyarakat, Perjuangan Pembebasan Perempuan dalam Revolusi Bolivarian Venezuela", Penerbit: Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika dan Kalyanamitra 2006)
Terima kasih kepada gerakan demokratik yang berhasil menjatuhkan Soeharto tahun 1998. Gerakan itulah yang telah memberi landasan bagi berkembangnya kesadaran, gerakan, dan organisasi-organisasi perempuan, beserta berbagai gagasannya, yang menentukan bagi arah perjuangan perempuan saat ini.
Tulisan berikut akan membahas pentingnya tuntutan kesetaraan perempuan, dalam salah satu wujudnya, yaitu, kuota terhadap perempuan di berbagai jabatan publik, sebagai salah satu landasan bagi pembebasan perempuan.
Pentingnya Demokrasi
Pembebasan perempuan sangat bergantung pada demokrasi. Karena demokrasi memberi jalan bagi perubahan masyarakat, mulai dari unitnya yang terkecil yaitu keluarga, sampai pada yang lebih besar, yaitu negara. Demokrasi mengajarkan masyarakat patriarki[2] agar toleran terhadap perempuan; bahkan turut memajukan perempuan. Sehingga kaum perempuan memiliki landasan untuk menjadi lebih setara.
Dengan demokrasi, kaum perempuan memiliki peluang untuk meningkatkan kapasitas tenaga produktifnya (ilmu pengetahuan & teknologi, serta tenaga kerja manusia), melalui akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi[3] dan politik[4] yang lebih setara. Oleh karena itu demokrasi sekaligus menciptakan prasyarat material bagi kesetaraan perempuan.
Namun demikian, demokrasi yang tidak menghendaki kesetaraan partisipasi mayoritas rakyat dan kaum perempuan; atau demokrasi yang hanya menguntungkan segelintir elit (demokrasi elit), bukanlah demokrasi yang membebaskan perempuan. Karena demokrasi yang demikian tidak akan memberi jalan bagi perubahan mendasar masyarakat; yang artinya akan menghambat perjuangan pembebasan perempuan.
Penghambat Kesetaraan Perempuan
Di dalam kapitalisme[5], demokrasi tidak sungguh-sungguh menyetarakan perempuan. Demokrasi digunakan oleh kepentingan modal untuk melanggengkan kekuasaan elit politik (baik laki-laki maupun perempuan) yang pro modal. Demokrasi hanya dikembangkan sebatas menguntungkan akumulasi modal. Tidak ada tempat bagi partisipasi rakyat dan kaum perempuan yang melawan kehendak modal[6].
Kapitalisme, dalam bentuk tertingginya yakni penjajahan modal asing (imperialisme), lewat topeng globalisasi (neoliberalisme[7]) saat ini, adalah penghambat utama kesetaraan sejati kaum perempuan di seluruh dunia, khususnya kaum perempuan di negeri-negeri miskin (dunia ketiga) yang terjajah secara ekonomi. Di negeri-negeri miskin, hanya segelintir perempuan kelas atas yang berpengetahuan dan bisa bersekolah hingga Perguruan Tinggi, mayoritas lainnya merupakan penderita buta huruf paling tinggi; berpendidikan rendah; hingga rentan terhadap pekerjaan-pekerjaan tidak produktif dan tidak bermartabat.
Ada 100 juta kaum muda perempuan di negeri dunia ketiga, yang dalam 10 tahun ke depan, akan menikah sebelum usia 18 tahun. Sehingga, setiap tahun, 14 juta remaja perempuan yang berpotensi melahirkan, berkonsekuensi meninggal, terkait komplikasi kehamilan yang resikonya 2 hingga 5 kali lebih tinggi dibanding perempuan berusia duapuluhan. Sebanyak 600 juta kaum perempuan dalam keadaan buta huruf. Setiap tahun tak kurang dari 800.000 orang diperdagangkan dan dieksploitasi secara seksual ke luar negeri, dan 80% nya adalah kaum muda perempuan. Ditengah kemajuan teknologi reproduksi dan pengobatan di dunia saat ini, tak kurang 500.000 kaum perempuan justru mati melahirkan setiap tahunnya, dan 8 juta lebih menderita sakit jangka panjang akibat komplikasi kehamilan.
Hal ini terjadi bukan saja karena pemerintah di negeri-negeri tersebut tidak punya "kehendak politik (political will) untuk memajukan perempuan; atau hambatan budaya patriarkinya yang masih kuat; namun lebih jauh lagi, negeri-negeri tersebut, sudah ‘diikat’ secara ekonomi dan politik oleh institusi–institusi keuangan internasional yang jahat, dalam berbagai skenario hutang luar negeri untuk meloloskan kebijakan neoliberal. Dan celakanya, pemerintahnya pun bermental calo, sehingga dengan sukarela menjalankannya.
Kebijakan-kebijakan itu dikenal sebagai Program-program Penyesuaian Struktural (SAP’s) atau Konsensus Washington, yang dilahirkan oleh desakan pemerintah negeri-negeri maju (utamanya Amerika Serikat/AS), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia (WB), yang pada intinya menghendaki liberalisasi/dibukanya pasar negeri-negeri dunia ketiga terhadap komoditi barang dan jasa perusahaan-perusahaan kapitalis internasional negeri-negeri maju; dibebaskannya perusahaan-perusahaan tersebut menguasai berbagai sumber daya alam (bahan mentah) negeri-negeri dunia ketiga.
Akibatnya, milyaran dolar keuntungan per hari yang dibawa pulang oleh PT. Freeport dari tanah Papua Barat, bersih dari tanggung jawab untuk membebaskan kaum perempuan Papua dari buta huruf; menyediakan lapangan kerja produktif lewat industrialisasi; perumahan yang layak; akses kesehatan yang modern untuk memerangi HIV/AIDS dan malaria. Demikian pula milyaran dolar per hari yang dibawa pulang secara bebas oleh Exxon Mobil, Nestle, Unilever, Toyota, Suzuki, Nokia, Danone, Sony Erricsson, dan seterusnya, ke kantung-kantung para pemiliknya di Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Perancis, Jerman, Inggris, dll, yang merupakan negeri-negeri tempat perputaran modal terbesar di dunia.
Oleh karena itulah negeri-negeri itu dinamakan negeri-negeri maju, atau negeri dunia pertama, dengan pendapatan perkapita rakyatnya jauh di atas 2 dolar/hari[8], sementara negeri-negeri seperti Indonesia disebut negeri miskin[9] atau dunia ketiga, dengan pendapatan riil perkapita rakyatnya jauh di bawah 2 dolar perhari[10]. Karena itu juga rakyat di negeri-negeri maju bisa lebih sejahtera—walau seiring dengan krisis kapitalisme semakin banyak pula hak-hak kesejahteraan rakyat dipotong oleh pemerintahannya[11].
Oleh sebab itu juga, tidak seperti kaum perempuan di negeri-negeri miskin, kaum perempuan di negeri maju secara politik memiliki syarat untuk dapat lebih maju lagi. Terbukti dengan meningkatnya peran mereka di bidang politik, profesional, maupun akademik dewasa ini (itupun masih timpang jika dibandingkan dengan jumlah seluruh perempuan).
Secara historis, syarat tersebut bisa terpenuhi akibat booming ekonomi kapitalisme pasca perang Dunia ke-2 yang membutuhkan penambahan jumlah tenaga kerja perempuan (walaupun dengan upah yang tidak sama dengan laki-laki, peningkatan karir yang lebih sulit, dan PHK yang lebih mudah), sehingga banyak kaum perempuan diharuskan keluar dari wilayah domestik[12]. Sejak itu pula akses terhadap pendidikan, pengetahuan, serta lapangan pekerjaan terbuka, membuat mereka memiliki kapasitas untuk menjadi lebih setara[13].
Namun, sayang, feminisme yang salah arah membuat kapasitas mereka untuk lebih maju tersebut kemudian berhenti pada sekadar ajang-ajang aktualisasi diri (kebebasan berekspresi dan hak atas tubuh semata), kesetaraan formal di berbagai jabatan publik, bahkan kompetisi antar sesama perempuan dan/atau laki-laki.
Hanya sedikit aktivis dan kelompok perempuan negeri-negeri maju yang ikut bertanggung jawab dan bersolidaritas terhadap penghidupan kaum perempuan di negeri miskin, lewat berbagai isu anti globalisasi neoliberal, seperti penghapusan hutang, perdagangan yang adil, anti sweatshops[14], penghentian invasi AS, dll. Sebagian lainnya lebih banyak terperangkap hanya pada kampanye isu-isu yang elementer, seperti hak-hak kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS; target-target pembangunan milenium (MDGs), kuota 30% perempuan di berbagai jabatan publik, dst, yang tidak mungkin dapat tercapai tanpa dibarengi dengan perlawanan terhadap globalisasi neoliberal.
Sementara untuk sekadar menuju kesetaraan formal pun, kaum perempuan di negeri-negeri miskin harus mati-matian berjuang untuk mendapatkannya. Karena syarat-syarat utama kemajuan ternaga produktif seperti akses atas pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan, menjadi semakin sulit terpenuhi jika sebagai besar anggaran negara digunakan untuk membayar hutang luar negeri. Belum lagi akses terhadap kesehatan, pendidikan, air bersih, telekomunikasi (sebagai sumber informasi), bahkan sumber makanan sehat, menjadi semakin mahal akibat liberalisasi dan privatisasi; usaha-usaha menengah-kecil gulung tikar akibat masuknya barang-barang asing; dan akibat liberalisasi keuangan, lalu lalang arus modal spekulatif lintas negara, terbebas dari tanggung jawab untuk membangun sektor-sektor produktif, sumber lapangan pekerjaan di suatu negeri. Ditengah situasi ini kesetaraan hanya ada di atas kertas dan pidato-pidato para pejabat saja[15].
Di negeri miskin seperti Indonesia, kesetaraan formal perempuan di berbagai bidang hanya mampu dijangkau oleh segelintir elit perempuan (umumnya berasal dari keluarga kapitalis dalam negeri dan sebagian klas menengah). Sementara mayoritas lainnya harus berjuang mati-matian untuk sekadar bertahan hidup dari kemiskinan akibat penjajahan modal asing. Kaum perempuanlah yang menjadi korban terbesar dari kemiskinan; dan inilah yang disebut feminisasi kemiskinan.
Feminisasi kemiskinan harus menjadi isu politik utama dalam perjuangan pembebasan perempuan, karena tidak mungkin ada kesetaraan politik mayoritas perempuan di tengah kemiskinan masyarakat.
Kemandirian Ekonomi dan Politik Kuota
Selain kapitalisme, budaya patriarki yang menganggap kedudukan perempuan tidak sama dengan laki-laki; bahwa kaum perempuan secara biologis memang lebih lemah, adalah penghambat historis kemajuan tenaga produktif perempuan. Usia patriarki ini sudah ribuan tahun lamanya, ditandai sejak berakhirnya sistem komunal primitif[16]. Sehingga tak heran jika kaum perempuan sendiri sering kali tidak sadar dan pasrah, bahkan membela anggapan bahwa ketidaksetaraan gender adalah takdir biologisnya sebagai perempuan.
Namun, perkembangan tenaga produktif memberikan jalan untuk melawan patriarki[17]. Kerja produktif (untuk kemandirian ekonomi) dan organisasi (untuk kemandirian politik) adalah dua jalan utama yang mampu memberi kaum perempuan kekuatan ekonomi dan politik untuk lepas dari dominasi kekuasaan laki-laki. Jalan lainnya adalah dengan mendukung politik kuota terhadap perempuan di berbagai jabatan publik[18].
Politik kuota bukan belas kasihan terhadap perempuan, melainkan bentuk pengakuan terhadap kenyataan sosial bahwa kaum perempuan bergerak dari titik berangkat yang sudah tidak setara secara historis dengan laki-laki. Politik kuota juga berguna untuk mendemokratisasi keluarga dan negara—membuat keduanya lebih toleran terhadap perempuan. Melalui kuota, sistem masyarakat patriarki dikondisikan untuk memberi akses politik kepada perempuan, sekaligus mendorong kaum perempuan sendiri keluar dari wilayah rumah tangga ke wilayah politik.
Seringkali kaum perempuan yang sudah terkondisikan di wilayah rumah tangga kemudian enggan atau takut terlibat dalam politik, apalagi dogmatisme tafsiran agama yang melarang perempuan menjadi pemimpin[19]. Kampanye politik kuota bermanfaat untuk melawan ketakutan dan penafsiran semacam itu, sekaligus mendorong perempuan untuk berfikir yang lebih besar dari sekadar kesejahteraan keluarga; yakni berfikir tentang arah kebijakan dan perubahan kekuasaan negara.
Politik kuota adalah bentuk perjuangan lanjutan perempuan, setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Sedangkan kuota 30% perempuan adalah sebuah affirmative action[20] yang bertujuan untuk mengatrol jumlah perempuan di lembaga-lembaga publik (utamanya parlemen), seperti yang disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi Menteri-Menteri Asia Pasifik, Konferensi Beijing, ataupun dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Angka 30% adalah pembatasan minimal yang disepakati secara internasional untuk mendorong keterwakilan perempuan. Pada prinsipnya, angka ini harus terus bergulir menuju kesetaraan penuh hingga 50% (seperti yang sudah berlaku di Venezuela dan Spanyol).
Politik kuota juga berguna untuk melawan domestifikasi[21] dan dominasi laki-laki atas perempuan, yang bukan merupakan takdir perempuan[22]. Kaum perempuan saat ini semakin banyak yang tidak lagi sekadar menjadi pendamping suami dan pengurus rumah tangga, akibat kebutuhan kapitalisme atas tenaga kerja perempuan; sekaligus dampak ketidakmampuan kapitalisme menyediakan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan[23].
Bila dilihat dari pengertian-pengertian di atas, sebenarnya, politik kuota dapat dianggap sebagai kompromi, akibat kapitalisme yang tidak mampu menyejahterakan perempuan melalui akses terhadap pekerjaan-pekerjaan produktif agar perempuan mandiri secara ekonomi; mandiri dari kekuasaan institusi keluarga patriarki; dengan demikian menjadi mandiri secara politik. Kemandirian ekonomi perempuan adalah kunci kesetaraannya di dalam keluarga dan negara.
Dalam sejarahnya, kapitalisme terpaksa memutarbalikkan nilai-nilai lama dalam institusi keluarga karena kebutuhannya akan cadangan tenaga kerja perempuan, namun di sisi lain, akibat ketidakmampuannya menyediakan lapangan kerja secara berkesinambungan, kapitalisme sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut dalam bentuk: beban ganda perempuan (bahwa perempuan pekerja tidak boleh melupakan tugas domestiknya sebagai istri dan perempuan).
Padahal, semua pekerjaan domestik saat ini sudah bisa ditangani secara sosial (tempat-tempat pemeliharaan dan pendidikan anak),dan atau melalui pemanfaatan teknologi (mesin cuci, kompor listrik, makanan sehat cepat saji, dll). Namun oleh kapitalisme pula, pelayanan sosial dan teknologi untuk menggantikan pekerjaan domestik, tidak tersedia bagi mayoritas perempuan miskin di seluruh dunia.
Memanfaatkan Politik Kuota untuk Sebanyak-banyaknya Perempuan di Parlemen?
Di dalam sistem kapitalisme dan demokrasi perwakilan (demokrasi elit pro modal), kampanye kuota tidak serta merta memberi manfaat dan atau mampu mendorong partisipasi perempuan di dalam politik—padahal partisipasi perempuan adalah kunci keberhasilan politik kuota. Bahkan, ironis, kampanye kuota digunakan sekadar untuk mendulang suara perempuan, tanpa tanggung jawab untuk mendorong kesadaran politik perempuan—dalam bentuk mobilisasi-mobilisasi perlawanan menuntut hak-hak ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Pada umumnya kampanye kuota diartikan sebagai pengharapan, bahwa, dengan bertambahnya jumlah perempuan di parlemen, maka akan mendorong kemaksimalan lahirnya produk perundang-undangan yang memberi perlindungan kepada perempuan. Padahal, untuk melahirkan kebijakan yang semacam itu, tidak cukup sekadar memenangkan pimpinan politik yang berjenis kelamin perempuan. Dalam banyak kasus, justru para pimpinan perempuan berbalik menindas perempuan.
Sebagai contoh, di era rezim Soeharto (antara tahun 1987-1992) keterwakilan perempuan di parlemen adalah yang tertinggi di dalam sistem demokrasi perwakilan Indonesia (65 perempuan dari 500 orang laki-laki, atau 13%), padahal tidak ada demokrasi di masa itu—tidak ada pemilu yang demokratis dan tidak ada calon perempuan yang dipilih secara demokratis. Produk hukum perundangan (selain ratifikasi CEDAW[24]) yang dihasilkan pun lebih banyak merugikan mayoritas rakyat dan kaum perempuan.
Bandingkan di era Soekarno dengan perwakilan perempuan ‘hanya’ 3,8-6% (antara tahun 1950-1959), padahal mobilisasi gerakan perempuan begitu gencar di dalam banyak isu politik dan gender negara[25]. Secara politik—padahal ditengah situasi ekonomi yang sangat sulit—di masa inilah justru pendirian sekolah-sekolah lebih masif dan pemberantasan buta huruf lebih signifikan, dibanding era pemerintahan manapun di Indonesia.
Apakah dengan demikian, disatu sisi, politik kuota tidak menjadi penting—asalkan kebijakan negara pro terhadap kepentingan-kepentingan perempuan? Atau disisi lain, politik kuota penting—sehingga sebanyak-banyaknya perempuan seharusnya masuk kedalam berbagai partai politik—agar sebanyak mungkin kebijakan negara menjadi lebih pro perempuan?
Sekarang ini, banyak kelompok perempuan berposisi setuju pada sebanyak-banyaknya perempuan di parlemen (titik—tidak perduli apapun alat politiknya). Apalagi UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengharuskan kuota 30% bagi perempuan di kepengurusan nasional partainya.
Menurut mereka, urgensi keterlibatan perempuan di parlemen adalah: (1) mengurusi persoalan-persoalan yang hanya dialami oleh perempuan, seperti kebijakan-kebijkan terkait reproduksi perempuan, (2) mengurusi persoalan kesejahteraan keluarga, seperti harga sembako,pendidikan, kesehatan, anak-anak, kelompok usia lanjut, dst yang diasosiasikan sebagai tugas gender perempuan, (3) mencegah diskriminasi dalam politik dan ekonomi, (4) perubahan paradigma penyelesaian konflik dengan mengutamakan perdamaian dan menghindari kekerasan—karena kekerasan adalah ‘maskulin’, dan (5) azas keadilan dalam keterwakilan[26].
Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana agar secara fundamental kaum perempuan dapat memperoleh akses teknologi reproduksi yang murah dan aman; pendidikan, kesehatan, harga yang terjangkau, pendapatan yang layak, akses pekerjaan yang setara? Berapa diantara kaum perempuan yang ada diparlemen masuk ke dalam komisi-komisi ‘maskulin’, berapa prosentasenya dibandingkan yang masuk ke dalam komisi-komisi ‘feminin’? Berapa diantaranya yang menjadi ketua komisi? Atau ketua fraksi?
Berapa diantaranya yang: menolak rencana kenaikan BBM?; menolak privatisasi dan swastanisasi perusahaan-perusahaan vital bagi hajat hidup rakyat (PDAM, PLN, Telkom, Rumah Sakit, Perguruan Tinggi, Transportasi)?; menolak membayar hutang luar negeri?; menolak UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, RUU Kesehatan, UU Perbankan, UU Pangan, memperjuangkan kuota 20% anggaran pendidikan, dst?
Apakah semua itu tidak ada kaitannya dengan persoalan yang khusus dialami perempuan—reproduksi atau kekerasan dalam rumah tangga? Apakah privatisasi rumah sakit tidak ada kaitannya dengan hak reproduksi? Apakah mahalnya harga susu tidak ada kaitannya dengan dominasi modal Nestle? Apakah mereka tidak belajar, bahwa mahalnya harga sembako akibat liberalisasi perdagangan, ditengah Indonesia yang tidak memiliki industri pangan yang kuat? Apakah mereka tidak sadar bahwa perempuan tani menjadi semakin miskin akibat liberalisasi sektor pangan? Apakah mereka berfikir tentang hal-hal sebesar itu? Hal-hal diluar ‘tugas-tugas gendernya’? Hal-hal yang, padahal, dapat membebaskannya dari ‘tugas-tugas gender’?
Memang tidak semua perempuan menutup mata atau tidak mengerti terhadap hal-hal besar tersebut. Namun sebagian yang mengerti itu pun terpaksa tidak berkutik dihadapan kekuatan partai, yang, tidak satupun mau berkompromi terhadap tuntutan-tuntutan besar fundamental semacam itu. Dan hasilnya, mereka ternyata lebih takut kepada partai daripada mati-matian membela kepentingan kaumnya.
Membela Politik Kuota; Menolak Terkooptasi demi Kuota
Dari pengalaman pemilu selama ini, masuknya perempuan ke dalam partai-partai sisa lama dan reformis gadungan, TIDAK BERHASIL memberi kontribusi signifikan bagi kemajuan dan kesejahteraan jutaan perempuan yang semakin miskin di Indonesia.
Memang, keberhasilan secara formal sudah ada, misalnya dalam melahirkan Undang-Undang Nomor 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta yang terakhir UU No.2 tahun 2008 tentang keharusan kuota 30% dalam Partai Politik.
Namun, berdasarkan hasil evaluasi, sebagian besar LSM-LSM Perempuan sendiri mengakui, bahwa penerapan aturan-aturan tersebut, dan mekanismenya, masih sangat jauh dari harapan. Produk Perda-perda Syariah, UU Migas, UU Perbankan, UU Pangan, dst, adalah bukti kegagalan perjuangan perempuan secara politik di parlemen dan partai-partai yang ada sekarang.
Hal yang samapun diakui pada penerapan kuota 30% perempuan dalam pemilu 2004 lalu. Tanpa berdaya, wakil perempuan dipecundangi oleh partai politik peserta pemilu 2004, seperti: (sebelum masuk partai) mengharuskan caleg perempuan membayar tarif pendaftaran yang tinggi; (setelah diterima sebagai caleg partai) ditempatkan di nomer sepatu, (setelah terpilih menjadi anggota parlemen) mendapatkan posisi-posisi yang tidak sentral, dst.
Sejarah 10 tahun pasca reformasi sudah membuktikan, bahwa partai-partai sisa lama dan reformis gadungan saat ini[27], serta partai-partai baru yang dipenuhi oleh pejabat-pejabat korup dan tentara palanggar HAM[28], tidak akan dan tidak punya kapasitas untuk berkutik terhadap kehendak modal asing. Semuanya tergantung pada modal asing; dan berlomba-lomba untuk menjadi agen modal asing. Mungkin sebagian diantaranya menolak Perda-perda Syariah atau mendukung UU KDRT, tapi sikap itu kontradiktif dengan dukungan mereka terhadap kehendak modal asing—yang berkontribusi pada peningkatan kemiskinan yang memicu pemberlakuan Perda Syariah dan kekerasan rumah tangga.
Partai-partai tersebut juga terbukti tidak berkepentingan untuk menegakkan HAM di Indonesia. Berbagai kasus-kasus kekerasan negara dan aparat militer, yang mengorbankan perempuan, tidak berhasil diadili hingga sekarang. Kalaupun ada peradilan, hanya mengadili para pelaku lapangan namun tidak menjangkau para Jenderal dan Pemimpin negara. Sebut saja kasus-kasus pembunuhan, pemenjaraan, pemerkosaan jutaan perempuan yang menjadi simpatisan maupun dituduh sebagai simpatisan PKI; kasus Talangsari, Kerusuhan Mei 1998, Jugun Ianfu, dst, membeku di hadapan para wakil partai di parlemen itu.
Dalam hal inilah politik kuota tidak akan memberi manfaat apapun bagi mayoritas kaum perempuan. Selagi kaum perempuan, yang mendukung kampanye politik kuota, memisah-misahkan (mengeksklusifkan) tuntutan-tuntutan gender dengan tuntutan perubahan sistem ekonomi dan politik; maka selamanya mereka akan melanggengkan ketidaksetaraan gender—memenjarakan perempuan kedalam ‘tugas-tugas gender’; selama itu pula demokrasi tidak akan meningkatkan partisipasi riil perempuan—demokrasi elit.
Politik kuota menjadi bermanfaat jika, minimal, kaum perempuan memperjuangkan: (a) pembangunan alat politik/partai alternatif yang sama sekali baru, bebas dari kekuatan sisa lama dan reformis gadungan, (a) memperjuangkan produk perundang-undangan yang membangun kemandirian ekonomi negeri, sekaligus memutus hubungan dengan IMF, Bank Dunia, dan WTO, (b) mempermudah akses bagi partisipasi langsung perempuan untuk menentukan produk perundang-undangan (misalnya melalui referendum, dengar pendapat yang melibatkan semua organisasi-organisasi perempuan, penyusunan anggaran partisipatif, dll), (c) memperjuangkan akses kaum perempuan terhadap pekerjaan-pekerjaan produktif.
Untuk contoh kasus Indonesia, program-program maksimum/strategis yang menjadi jalan keluar rakyat, yang harus mulai difikirkan kaum perempuan selain ‘tugas-tugas gender’ nya, sekaligus diperjuangkan lewat keterwakilan politik 30%, antara lain:
(1) Membangun industrialisasi nasional oleh dan untuk rakyat[29];
(2) Pemusatan pembiayaan dalam negeri[30] untuk membiayai pembangunan industri nasional dan pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat;
(3) Pemenuhan tuntutan-tuntutan mendesak rakyat[31];
(4) Kekuasaan rakyat[32];
(5) Kebudayaan yang maju[33].
Sehingga kampanye kuota 30% harus dapat dikongkritkan makna dan isi perjuangannya menjadi, misalnya:
"30% kuota perempuan di partai politik, parlemen dan semua posisi publik, untuk penghapusan utang luar negeri dan nasionalisasi perusahaan pertambangan untuk kesejahteraan rakyat; 30% kuota perempuan untuk pekerjaan produktif yang bermartabat bagi rakyat dan perempuan dengan jalan industrialisasi nasional".
Atau
"30% kuota perempuan untuk menuntut perlindungan negara atas penafsiran yang demokratis terhadap ajaran agama[34]; pemberantasan buta huruf[35], dan akses terhadap kesehatan serta pendidikan gratis untuk seluruh rakyat miskin[36]".
Gerakan Massa Perempuan & Perubahan Kekuasaan Politik
Partisipasi perempuan adalah kunci keberhasilan politik kuota. Tapi partisipasi perempuan belum tentu lahir dari kampanye politik kuota. Yang dapat mendorong partisipasi perempuan di dalam politik hanyalah organisasi dan gerakan politik perempuan. Organisasi politik perempuan adalah sekolah bagi peningkatan kesadaran dan kapasitas politik perempuan, melahirkan pimpinan-pimpinan politik perempuan, yang bertujuan untuk mengubah kebijakan dan model kekuasaan negara. Organisasi perempuan yang mendukung dan terlibat dalam pembangunan gerakan perempuan, adalah senjata paling ampuh perubahan masyarakat.
Walaupun berkembangnya gerakan perempuan tidak serta merta memberi jaminan terhadap kemenangan politik perempuan, namun gerakanlah juga satu-satunya alat yang paling berkekuatan untuk medorong kemenangan tersebut, sekaligus mempertahankannya. Ini tercermin dalam sejarah, ketika Gerwani dan gerakan perempuan lainnya tidak menghasilkan jumlah perwakilan perempuan yang signifikan di parlemen. Namun justru di masa itulah tuntutan-tuntan perempuan paling luas di dukung oleh rakyat.
Sebaliknya, tanpa gerakan perempuan progresif, kampanye kuota dapat dimanipulasi oleh segelintir elit perempuan dan partai politik busuk, yang sekadar memanfaatkan suara kaum perempuan untuk kepentingan modal di dalam parlemen. Banyaknya perwakilan perempuan di era kediktatoran Soeharto, ditengah kematian gerakan politik perempuan, adalah cermin sejarah lainnya. Seperti halnya saat ini, ketika ruang perempuan untuk membangun gerakan politik progresif sudah tersedia, tidak dimanfaatkan untuk membangkitkan partisipasi riil perempuan. Para aktivis dan tokoh-tokoh perempuan saat ini lebih banyak menjadi pragmatis (dengan pembenaran ‘harus realistis’) dengan mengkanalisasi partisipasi rakyat dan perempuan sekadar dalam bentuk kertas suara.
Yang terakhir inilah, paling banyak dijadikan pembenaran bagi para aktivis perempuan, yang saat ini beramai-ramai masuk ke dalam partai-partai peserta pemilu (dan berharap dapat menjadi caleg No.1). Pembenaran tersebut landasannya macam-macam: pertama, percaya bahwa sedikit demi sedikit—dengan semakin banyak perempuan yang terlibat—partai tersebut dapat berubah (seperti harapan bahwa rakyat dapat keluar dari kemiskinan kalau mereka berusaha lebih keras dan rajin); kedua, ajang pembuktian/aktualisasi diri/peningkatan karir/cari duit atau popularitas semata; ketiga, perubahan mendasar dapat dilakukan dari parlemen, baik lewat produk UU maupun lewat berbagai kampanye di panggung perlemen.
Mereka lupa, bahwa dalam sejarahnya, perjuangan kesetaraan dan pembebasan perempuan bukan dimulai dari parlemen; melainkan oleh karena hidupnya gerakan rakyat bersama-sama gerakan perempuan. Tidak akan ada kemenangan Hak Pilih bagi Perempuan tanpa meluasnya gerakan perempuan menuntut perbaikan kondisi kerja, kenaikan upah, dan pengurangan jam kerja, menuntut pembebasan budak di paruh pertama abad 20, termasuk perjuangan untuk Sosialisme oleh rakyat Rusia dan Jerman.
Tidak akan ada pembatasan terhadap usia perkawinan perempuan dan laki-laki, kebebasan menentukan pasangan hidup, dan kesetaraan pendidikan, tanpa pergerakan yang dilakukan oleh Istri Sedar melawan Kolonialisme; Gerakan Wanita Sedar dan Gerakan Wanita Indonesia era 50-60an melawan neo-kolonialisme. Demikian pula sumbangan gerakan penjatuhan Soeharto terhadap menjamurnya organisasi-organisasi perempuan. Begitu besarnya pengaruh gerakan pada kemajuan kesetaraan perempuan di dunia; tanpa gerakan tak ada kemajuan seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Hanya gerakan massa perempuan yang meluas dan semakin menyatu sajalah (dengan berbagai organisasi dan partai politiknya sendiri), yang mampu mengubah watak negara. Hanya gerakan semacam itu yang dapat mengubah dan mengambil alih kekuasaan negara secara fundamental.
Oleh karena itu, pembangunan gerakan perempuan (kembali), dengan menyatukan platform perjuangan politik yang anti penjajahan modal asing (imperialisme) dan patriarki (termasuk kekerasan/militerisme), mendesak untuk dilakukan. Sudah saatnya seluruh kaum perempuan lintas sektor dan kepentingan, yang memiliki kesamaan platform tersebut, berkumpul dalam sebuah kongres persatuan perempuan Indonesia. Dalam kongres tersebut kita dapat merumuskan metode pembangunan gerakan serta tujuannya: yakni, sebesar-besarnya untuk pembebasan mayoritas kaum perempuan di negeri ini, dan diseluruh dunia.***
Catatan Kaki:
[1] Koordinator Urusan Pendidikan dan Bacaan Komite Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (KN-JNPM), Koord. Departemen Pendidikan dan Propaganda Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (DHN-PPRM). Disarikan dari makalah yang dipresentasikan pada Seminar "Kuota 30% dalam Partai dan Parlemen, Solusi atau Bencana?"di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogjakarta, 27 Februari 2008, serta makalah pada Seminar "Kuota 50%: Mungkin atau Tidak?, Belajar dari Gerakan Perempuan Amerika Latin, di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 15 Mei 2008.
[2] Budaya patriarki adalah produk budaya yang menyubordinasikan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki; bahwa kedudukan perempuan tidak setara dengan laki-laki.
[3] Yaitu sosialisasi alat produksi (yaitu alat-alat yang memungkinkan proses produksi berjalan—dalam bentuk modal, tenaga kerja, sumber alam, gedung-gedung, mesin, ilmu pengetahuan, dst) yang merupakan sumber kesejahteraan rakyat dari tangan segelintir pemilik alat produksi (kapitalis), yang masih didominasi oleh laki-laki, ke tangan mayoritas rakyat dan kaum perempuan.
[4] Yaitu akses yang sama terhadap seluruh posisi/jabatan-jabatan pengambilan keputusan diberbagai sektor dan tingkatan masyarakat, termasuk hak-hak politik, sosial, budaya dan ekonomi yang setara.
[5] Sistem kapitalisme adalah sistem/corak produksi (ekonomi) yang melindungi kepemilikan terhadap alat produksi (sumber-sumber kesejahteraan rakyat) di tangan segelintir orang, dengan menghisap/memiskinkan mayoritas orang di dunia. Kapitalis adalah pemilik modal.
[6] Seperti penyiksaan dan pembunuhan terhadap Marsinah, seorang buruh perempuan yang berani melawan negara dan pemilik modal.
[7] Globalisasi neoliberal adalah dilepasnya tanggung jawab negara terhadap berbagai sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, bentuknya antara lain privatisasi (swastanisasi) perusahaan-perusahaan vital negara, liberalisasi investasi dan keuangan; pemotongan subsidi rakyat, dst, terhadap negeri-negeri dunia ketiga—tidak berlaku bagi negeri-negeri duni pertama.
[8] Angka 2 dolar perhari adalah patokan (jahat) yang dibuat oleh Bank Dunia untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu negeri dari tingkat pendapatan perkapitanya. Negeri dengan pendapatan di bawah 2 dolar/hari dinyatakan miskin. Nilai hidup manusia dunia ketiga tersebut disamakan dengan nilai subsidi seekor sapi di negeri seperti AS.
[9] Pamerintah negeri-negeri maju memperhalus istilahnya menjadi negeri berkembang, sedang berkembang dan terbelakang.
[10] Jika dibandingkan dengan kenaikan harga, nilai upah justru mengalami penurunan.
[11] Misalnya, pemerintah Jerman memotong alokasi dana untuk jaminan sosial hari tua, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah Perancis dan Belanda memperpanjang usia pensiun, memotong subsidi kesehatan, memotong subsidi untuk pelayanan sosial (termasuk tempat-tempat penitipan anak dan gaji bagi ibu-ibu rumah tangga).
[12] Itupun tidak bertahan lama, karena di era 1950-60-an, seiring krisis kapitalisme, kampanye agar perempuan kembali ke-rumah pun dikumandangkan untuk menutupi ketidakmampuan kapitalisme menyediakan lapangan kerja produktif bagi perempuan.
[13] Untuk lebih jelas, pelajari latar belakang dan ciri-ciri gerakan perempuan gelombang kedua di negeri-negeri kapitalis maju.
[14] Kampanye melawan kondisi kerja dan upah yang buruk di negeri-negeri dunia ke-3.
[15] Menjadi masuk akal kenapa CEDAW di Indonesia, dan diseluruh negeri dunia ke-3, tidak dapat terpenuhi.
[16] Lihat: The Dispossesion of Women, Pat Brewer, Resistance Book, 2000; diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lilik HS, dengan judul Menyingkirkan Perempuan, terbit di PEMBEBASAN—tabloid PRD—sebanyak 5 edisi, pada tahun 2005.
[17] Kemajuan tenaga produktif yang diikuti kemajuan kebudayaan dan sistem politik, juga sudah (dan akan) memberi jalan bagi pembebasan perempuan.
[18] Gelombang tuntutan terhadap kuota belakangan ini, merupakan bagian dari gerakan serupa di dunia. Penerapan kuota ditujukan untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam institusi-institusi politik baik berdasarkan pemilihan maupun penunjukan. Kuota tersebut meliputi tiga tipe, yakni tipe kursi yang dicadangkan, tipe kuota partai politik, dan tipe kuota legislatif untuk perempuan. Kampanye kuota sudah diadopsi dan diperdebatkan di lebih dari 100 negeri di dunia. Meskipun kursi yang dicadangkan untuk perempuan pertama kali muncul di tahun 1930-an, kuota partai politik merupakan tipe yang paling luas diterima hingga tahun 1990-an. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan proporsi perempuan di antara kandidat-kandidat partai lainnya, dan dimandatkan dengan jumlah sekitar 10% hingga 50% perempuan. (Quota Laws for Women in Politics: A New Type of State Feminism?, Mona Lena Krook, Assistant Professor of Political Science and Women and Gender Studies, Department of Political Science, Washington University, Paper presented at the European Consortium for Political Research, Joint Sessions of Workshops, Granada, Spain, April 14-19, 2005].
[19] Ingat kasus penolakan partai-partai politik Islam terhadap kepemimpinan Megawati.
[20] Tindakan khusus sementara untuk mempercepat kesetaraan.
[21] Pembatasan peran perempuan hanya pada persoalan-persoalan kerumah-tanggaan.
[22] Pada corak produksi masyarakat berburu/pengumpul makanan dan peternakan, kaum perempuan tidak berada diwilayah domestik. Bersama laki-laki, kaum perempuan juga melakukan perburuan—bahkan berkuasa atas hasil-hasil buruan.
[23] Kaum perempuan saat ini dipaksa keluar rumah dan mencari pekerjaan apapun untuk menambah penghasilan keluarga. Fenomena Tenaga Kerja Wanita dari Indonesia adalah bentuk paling nyata dari ketidakmampuan kapitalisme memeratakan lapangan pekerjaan.
[24] Itupun tanpa ratifikasi protokol optionalnya.
[25] Pada tanggal 17 Desember 1953, sejumlah organisasi perempuan melancarkan demonstrasi yang menentang Keputusan Pemerintah No.19 Tahun 1952 yang secara gamblang mensyahkan poligami bagi para pegawai. Demonstrasi ini merupakan satu-satunya yang terjadi sesudah Indonesia merdeka yang diikuti oleh kalangan luas gerakan perempuan dan yang memperjuangkan kepentingan gender perempuan. Dalam isu politik non-gender pun kaum perempuan aktif terlibat, semisal, protes terhadap gerakan 17 Oktober 1952 yang dipimpin Nasution untuk mengkudeta Soekarno, perlawanan terhadap Darul Islam, mendukung nasionalisasi perusahan Caltex milik Ingris—bersama-sama serikat buruh mengorgasir pemogokan dengan tidak mau memasak dan membersihakan rumah majikan perusahaan tersebut, mendukung berbagai aksi buruh, petani, mahasiswa, dst. [Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Saskia EW, Garba Budaya, 1999]
[26] Representasi Perempuan dalam Politik, Okti Muktini Ali, hal. 55-57, Jurnal Demokrasi, Jurnal Forum LSM DIY, Volume IINo.8Februari 2005, dengan judul "Indonesia Pasca Pemilihan Presiden".
[27] Diantaranya GOLKAR, PDIP, PAN, PKB, PPP, PKS, PBB, PD, PBR
[28] Diantaranya HANURA, Gerindra, PKPB, PPRN, Partai Republikan, dst.
[29[ Industrialisasi yang dimaksud tidak dalam makna industrialisasi ala kapitalisme—menggenjot produksi atas dasar akumulasi keuntungan bukan berdasarkan kebutuhan mayoritas rakyat, sehingga berkecenderungan eksploitatif terhadap alam. Industrialisasi yang harus diperjuangkan kaum perempuan adalah pembangunan industri dalam negeri berdasarkan kebutuhan mendesak mayoritas rakyat (dan perempuan): industri pangan; baja; serat optik; petrokimia dll, dan harus diputuskan oleh mayoritas rakyat (dan perempuan), termasuk dijalankan oleh mayoritas rakyat (dan perempuan), dengan memperhitungkan keberlangsungan lingkungan. Inilah makna industrialisasi oleh dan untuk rakyat, yang sekaligus dapat menjawab persoalan ketersediaan lapangan pekerjaan.
[30] Dengan jalan penghapusan hutang luar negeri dan penarikan kembali obligasi rekapitalisasi perbankan; mengambil alih (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan pertambangan dan energi, termasuk perbankan asing di bawah kontrol rakyat; pengenaan pajak dan royalti pada transaksi-transaksi keuangan spekulatif; penyitaan harta koruptor; dan pengenaan pajak progresif.
[31] Diantara begitu banyaknya tuntutan kesejahteraan dan demokrasi yang mendesak, ada sepuluh tuntutan utama yang dapat mempersatukan mayoritas perempuan dengan rakyat. Yakni: penurunan harga sembako, pendidikan & kesehatan gratis, kenaikan pendapatan & lapangan pekerjaan, perumahan, air bersih, energi, & transportasi murah & massal, UU Politik & pemilu yang demokratis, penulisan sejarah yang jujur untuk mengembalikan ingatan sejarah rakyat, pengadilan kejahatan HAM dan pembubaran komando teritorial tentara, pengadilan dan penyitaan harta Soeharto & kroni serta koruptor lainnya, perbaikan kerusakan lingkungan. Sementara untuk tuntutan kesetaraan gender perempuan yang harus selalu direkatkan dengan tuntutan-tuntutan mendesak rakyat rakyat lainnya, antara lain: kuota 50% perempuan untuk seluruh jabatan publik, judicial review UU Perkawinan No.1 tahun 1974, menolak kriminalisasi pelacuran, menolak poligami, upah yang sama bagi pekerja perempuan paruh waktu, upah penuh bagi perempuan pekerja yang cuti hamil, melahirkan dan memelihara anak, hak cuti haid, fasilitas penitipan dan pendidikan anak yang gratis dan berkualitas, kebebasan dan jaminan informasi bagi perempuan untuk menentukan alat kontrasepsinya, dll.
[32] Sebuah kekuasaan baru yang lebih setara dan dijalankan oleh mayoritas rakyat serta perempuan lewat berbagai organisasi-organsasi rakyat dan perempuan di dalam dewan-dewan rakyat/komunitas. Ditangan organisasi-organisasi inilah kekuasaan yang demokratik dapat dilahirkan. Dewan-dewan Perencanaan Lokal Komunitas di Venezuela; Dewan-dewan Rakyat di Kuba; dan sistem penganggaran partisipatif di Porto Alegre, Brazil, adalah bentuk-bentuk awal kekuasaan rakyat di abad ini. Kekuasaan semacam ini, bila semakin konsisten, maka tidak akan lagi mempercayakan pembagian kekuasaan dalam sistem Trias Politika, artinya perubahan fundamental atas ketata-negaraan suatu bangsa.
[33] Kebudayaan maju adalah kebudayaan yang lebih setara, adil, ilmiah, demokratik, toleran, bersolidaritas, modern, dan produktif, dibutuhkan untuk perubahan masyarakat secara fumdamental. Kebudayaan semacam ini harus diperjuangkan untuk menggantikan bagian-bagian kebudayaan lama yang mistik, tidak demokratik, dan tidak produktif, termasuk di dalamnya budaya patriarki yang menindas perempuan.
[34] Kajian-kajian demokratis terhadap ajaran agama seperti Kumpulan Hukum Islam (KHI) yang banyak mengkritisi UU Perkawinan, misalnya, tidak mendapat tempat di negeri ini—ditolak mentah-mentah oleh MUI.
[35] Dari 15,5 juta penderita buta huruf di Indonesia, 68% diantaranya adalah kaum perempuan di bawah 15 tahun. (Data Depdiknas tahun 2005).
[36] Ada 11% perempuan berusia 10 tahun ke atas yang belum pernah bersekolah sama sekali; hanya 1,5% perempuan yang sampai pada bangku Universitas; dan 70,7% perempuan tidak bersekolah lagi.
[Dipublikasikan dalam majalah "mahardhika" edisi 1, 2008]
alam sejahtera...
BalasHapussaya dikta, saya tertarik dengan profil organisasi anda, kebetulan saya mndpat tugas kampus untuk membuat profil civil society organization.. dapatkah kita bkerjasama?? buat admin. email yang sering di buka, yg mana? kalo bersedia bales di blog saya ya, atau di forum chat blog saya,.key..thanks
di tunggu...