SUARA PEMBARUAN DAILY
15 September 2008
Pengantar
Munculnya peraturan daerah (perda) yang berlabel penertiban kemaksiatan atau pelacuran di sejumlah daerah, dinilai sangat mendiskriminasikan kaum perempuan. Apalagi, pasal-pasal dalam perda tersebut sangat multitafsir, sehingga selalu menempatkan perempuan pada posisi lemah. Aktivis perempuan maupun kementerian negara pemberdayaan perempuan sepakat untuk meminta para kepala daerah mencabut atau membatalkan regulasi tersebut, termasuk peraturan bupati/bupati/wali kota yang ditengarai jumlahnya mencapai 106 aturan. Wartawan SP, Willy Masaharu menuliskan permasalahan ini berikut tulisan terkait di hal 18.
SP/Alex Suban
Petugas Kecamatan Kabayoran Baru, Jakarta Selatan, memeriksa KTP para perempuan yang terjaring dalam operasi di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Operasi itu berhasil menjaring 10 perempuan dan 1 waria.
Kasus salah tangkap berlatar belakang penegakan Perda 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, Banten, beberapa tahun lalu, sepertinya masih segar dalam ingatan masyarakat. Korbannya adalah Lilis Lindawati. Dia adalah karyawan pramusaji sebuah restoran di wilayah Tangerang.
Berdalih menegakkan Perda, saat Lilis seusai bekerja dan pulang malam, petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kemudian menggelandang Lilis ke markas Satpol PP Kota Tangerang. Ironis, petugas menyangkakan Lilis sebagai pelacur.
Nasib serupa juga dialami Rosa Amalia (27). Dia bahkan sempat ditahan semalaman, karena terjaring petugas ketentraman dan ketertiban (tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang mencurigainya sebagai pelacur.
"Saya bukan pelacur. Saya ini mau mengantarkan makanan dan kunci untuk suami saya," ujar Rosa di hadapan hakim tunggal Barmen Sinurat, dalam persidangan tindak pidana ringan (tipiring) perkara penjualan minuman keras dan pelacuran sesuai Perda 7 dan 8 tahun 2005 di Tangerang, beberapa tahun lalu.
Majelis hakim akhirnya mengembalikan Rosa kepada keluarganya, sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) Perda 8 Tahun 2005 Kota Tangerang. Namun, dia dikenakan denda Rp 1.000.
Lilis dan Rosa adalah dua dari sekian banyak korban salah tangkap akibat implementasi dari Perda Antipelacuran Kota Tangerang. Sebagian masyarakat menganggap, sampai kini masih banyak Perda yang mendiskriminasikan bahkan cenderung mengkriminalkan kaum perempuan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) dan Komisi VIII, Senin (8/9) lalu juga terungkap bahwa masih ada pemerintah daerah (Pemda) yang tidak responsif gender. Sebab, sampai saat ini masih banyak Perda yang dinilai mendiskriminasikan kaum perempuan.
Perda 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran oleh Pemerintah Kota Tangerang adalah satu dari sekian Perda yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. "Perda-perda seperti itu tidak properempuan. Ini tidak responsif gender," kata Sekretaris Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Koensatwanto Inpasihardjo.
Dikatakan, pemerintah mengimbau pemda untuk segera mencabut berbagai perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Dia menerangkan, masih banyak kota dan kabupaten di Indonesia memberlakukan perda yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan bias gender.
Dia mengemukakan, perda-perda tersebut juga berdampak terhadap buruh perempuan. "Perda seperti di Tangerang berdampak buruk terhadap ekonomi buruh perempuan dan masyarakat secara umum di wilayah itu. Kini buruh-buruh perempuan resah jika masuk kerja malam atau lembur sampai malam karena takut terkena razia. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan tambahan penghasilan," katanya.
Selain itu, lanjutnya, banyaknya perda yang memojokkan perempuan dapat meningkatkan jumlah pengangguran perempuan dan pada akhirnya menambah kemiskinan.
Ditanyakan, apakah perda-perda itu akan ditinjau ulang, Koensatwanto menegaskan, KNPP mendukung dan melakukan upaya-upaya penelaah-an dan peninjauan sejumlah perda yang dinilai diskriminatif tersebut.
Dicabut
Disadari atau tidak, ternyata selama ini marginalisasi perempuan masih terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan. Terdapat banyak contoh bagaimana kaum perempuan secara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan.
Peneliti gender dari Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Arisa Agustina menegaskan, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) harus tegas dan segera mencabut sejumlah peraturan daerah (perda) yang mendiskriminasikan kaum perempuan.
"KNPP seharusnya ikut mengevaluasi dan memberikan masukan kepada Depdagri jika ada produk hukum yang dinilai masih memarginalkan kaum perempuan. Ini penting, sehingga ada keserasian antara produk hukum pusat dan daerah," katanya.
Dikatakan, marginalisasi, diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan membuat daya saing perempuan dalam berbagai aspek kehidupan menjadi sangat lemah. Arisa mengatakan, diskriminasi terhadap kaum perempuan sudah sejak lama terjadi. Selain karena ada sebagian nilai-nilai budaya yang mendorong dominasi kaum laki-laki juga kedudukan kaum perempuan.
"Biasanya, semakin miskin seseorang, khususnya kaum perempuan, maka aksesnya pun semakin sulit. Perempuanlah yang lazim terkena imbasnya," ujarnya.
Menurutnya, kondisi masyarakat yang dinamis ikut mempengaruhi perkembangan pandangan gender. Dulu, semasa perang, peran kaum perempuan sangat penting. Setelah masa itu, peran perempuan kembali mengecil. Namun, saat ini, sebenarnya negara sudah mengakomodasi peran-peran perempuan dalam pemerintahan.
"Mungkin, pimpinan di daerah yang harus lebih proaktif kembali dalam merumuskan, membuat, dan mengimplementasikan aturan yang properempuan," ucap Arisa yang juga ketua Bidang Luar Negeri Muslimat NU.
Penggiat hak-hak perempuan dari Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Dian Trisnanti berpendapat serupa. Dia mengatakan, seperti tercermin di dalam berbagai laporan sensus dan statistik pembangunan, status pekerjaan perempuan sering diidentifikasi sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik. "Sekalipun sehari-harinya perempuan juga masih ikut menitikkan keringat bekerja di luar sektor domestik tersebut," katanya, saat dihubungi, di Jakarta, Sabtu (13/9).
Stereotip yang selalu memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional dan emosional, katanya, membuat mereka kurang layak untuk menjadi pemimpin.
Ketidaksetaraan peran antara perempuan dan laki-laki ini, terangnya, dipengaruhi banyak hal. Misalnya, adanya berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat, penafsiran agama dan konstruksi sosial budaya yang mengatur alokasi peranan, atribut, stereotip, hak, kewajiban, tanggung jawab dan persepsi terhadap laki-laki maupun perempuan.
50 Perda
Informasi yang diperoleh SP, perda-perda diskriminatif itu juga bertentangan dengan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang mengamanatkan untuk mengkaji secara mendalam perundang-undangan guna menghindari diskriminasi terhadap perempuan.
Sampai saat ini, setidaknya lebih dari 50 perda yang dianggap diskriminatif. Produk itu dianggap mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU 39/1999 tentang HAM dan UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik. Penertiban terhadap kemaksiatan dan pelacuran memang harus dilakukan. Tetapi, jangan sampai perempuan yang baik-baik punmenjadi korban dan terdiskriminasi oleh aturan itu. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar