29 Oktober 2008
Aksi: Tolak RUU Pornografi
Jakarta (23/10). Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RUU Pornografi -- Aliansi Masyarakat Sipil Menolak RUU Pornografi adalah sebuah aliansi yang diinisiasi oleh LSM/Ormas Perempuan yang melibatkan LSM/organisasi pro demokrasi lainnya-- menggelar aksi menolak RUU Pronografi yang saat ini sedang menjadi agenda pembahasan di DPR RI. Penolakan terhadap RUU Pornografi—yang sebelumnya bernama RUU APP—yang sudah berlangsung selama empat tahun tidak membuahkan hasil karena DPR RI tetap bersikukuh untuk mensahkan ruu tersebut.
Landasan utama penolakan ruu ini adalah karena walaupun sudah banyak mengalami perubahan tetapi tetap saja secara substansial masih mendiskriditkan perempuan. Pasal yang sangat krusial adalah pasal mengenai definisi pornografi itu sendiri definisi pornografi adalah “materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Jika pasal ini masih dipertahankan ditengah situasi masih kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat maka terjadi adalah penyensoran terhadap tubuh perempuan dan mengkriminalkan banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersila dan dihiburan malam.
Aksi yang diikuti oleh 300 massa aksi bergerak dari Halte Taman Ria Senayan pada pukul 13.30 WIB tiba di depan gedung DPR RI pukul 14.00, dipimpin oleh Korlap Aksi Vivi Widyawati, massa aksi dengan semangat menyuarakan penolakan terhadap RUU Pornografi. Aksi berlangsung selama dua jam walaupun hujan mengguyur tetapi massa aksi tetap tertib sampai dengan berakhirnya aksi jam tiga sore.
Sementara itu konstalasi di DPR tidak mengalami perubahan partai-partai pendukung RUU Pornografi seperti: Partai Golkar, PKS, PPP, PBR, PAN, PBB, Partai Demokrat tak bergeming walaupun penolakan terhadap ruu ini sudah meluas sampai ke daerah-daerah. Pemerintah SBY-Kalla juga mendukung pengesahan RUU Pornografi ini tanpa mau mendengarkan aspirasi dari kelompok yang menolak pengesahannya.(VV)
15 Oktober 2008
Perempuan Masih Terbelenggu Diskriminasi
SUARA PEMBARUAN DAILY
15 September 2008
Pengantar
Munculnya peraturan daerah (perda) yang berlabel penertiban kemaksiatan atau pelacuran di sejumlah daerah, dinilai sangat mendiskriminasikan kaum perempuan. Apalagi, pasal-pasal dalam perda tersebut sangat multitafsir, sehingga selalu menempatkan perempuan pada posisi lemah. Aktivis perempuan maupun kementerian negara pemberdayaan perempuan sepakat untuk meminta para kepala daerah mencabut atau membatalkan regulasi tersebut, termasuk peraturan bupati/bupati/wali kota yang ditengarai jumlahnya mencapai 106 aturan. Wartawan SP, Willy Masaharu menuliskan permasalahan ini berikut tulisan terkait di hal 18.
SP/Alex Suban
Petugas Kecamatan Kabayoran Baru, Jakarta Selatan, memeriksa KTP para perempuan yang terjaring dalam operasi di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Operasi itu berhasil menjaring 10 perempuan dan 1 waria.
Kasus salah tangkap berlatar belakang penegakan Perda 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, Banten, beberapa tahun lalu, sepertinya masih segar dalam ingatan masyarakat. Korbannya adalah Lilis Lindawati. Dia adalah karyawan pramusaji sebuah restoran di wilayah Tangerang.
Berdalih menegakkan Perda, saat Lilis seusai bekerja dan pulang malam, petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kemudian menggelandang Lilis ke markas Satpol PP Kota Tangerang. Ironis, petugas menyangkakan Lilis sebagai pelacur.
Nasib serupa juga dialami Rosa Amalia (27). Dia bahkan sempat ditahan semalaman, karena terjaring petugas ketentraman dan ketertiban (tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang mencurigainya sebagai pelacur.
"Saya bukan pelacur. Saya ini mau mengantarkan makanan dan kunci untuk suami saya," ujar Rosa di hadapan hakim tunggal Barmen Sinurat, dalam persidangan tindak pidana ringan (tipiring) perkara penjualan minuman keras dan pelacuran sesuai Perda 7 dan 8 tahun 2005 di Tangerang, beberapa tahun lalu.
Majelis hakim akhirnya mengembalikan Rosa kepada keluarganya, sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) Perda 8 Tahun 2005 Kota Tangerang. Namun, dia dikenakan denda Rp 1.000.
Lilis dan Rosa adalah dua dari sekian banyak korban salah tangkap akibat implementasi dari Perda Antipelacuran Kota Tangerang. Sebagian masyarakat menganggap, sampai kini masih banyak Perda yang mendiskriminasikan bahkan cenderung mengkriminalkan kaum perempuan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) dan Komisi VIII, Senin (8/9) lalu juga terungkap bahwa masih ada pemerintah daerah (Pemda) yang tidak responsif gender. Sebab, sampai saat ini masih banyak Perda yang dinilai mendiskriminasikan kaum perempuan.
Perda 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran oleh Pemerintah Kota Tangerang adalah satu dari sekian Perda yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. "Perda-perda seperti itu tidak properempuan. Ini tidak responsif gender," kata Sekretaris Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Koensatwanto Inpasihardjo.
Dikatakan, pemerintah mengimbau pemda untuk segera mencabut berbagai perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Dia menerangkan, masih banyak kota dan kabupaten di Indonesia memberlakukan perda yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan bias gender.
Dia mengemukakan, perda-perda tersebut juga berdampak terhadap buruh perempuan. "Perda seperti di Tangerang berdampak buruk terhadap ekonomi buruh perempuan dan masyarakat secara umum di wilayah itu. Kini buruh-buruh perempuan resah jika masuk kerja malam atau lembur sampai malam karena takut terkena razia. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan tambahan penghasilan," katanya.
Selain itu, lanjutnya, banyaknya perda yang memojokkan perempuan dapat meningkatkan jumlah pengangguran perempuan dan pada akhirnya menambah kemiskinan.
Ditanyakan, apakah perda-perda itu akan ditinjau ulang, Koensatwanto menegaskan, KNPP mendukung dan melakukan upaya-upaya penelaah-an dan peninjauan sejumlah perda yang dinilai diskriminatif tersebut.
Dicabut
Disadari atau tidak, ternyata selama ini marginalisasi perempuan masih terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan. Terdapat banyak contoh bagaimana kaum perempuan secara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan.
Peneliti gender dari Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Arisa Agustina menegaskan, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) harus tegas dan segera mencabut sejumlah peraturan daerah (perda) yang mendiskriminasikan kaum perempuan.
"KNPP seharusnya ikut mengevaluasi dan memberikan masukan kepada Depdagri jika ada produk hukum yang dinilai masih memarginalkan kaum perempuan. Ini penting, sehingga ada keserasian antara produk hukum pusat dan daerah," katanya.
Dikatakan, marginalisasi, diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan membuat daya saing perempuan dalam berbagai aspek kehidupan menjadi sangat lemah. Arisa mengatakan, diskriminasi terhadap kaum perempuan sudah sejak lama terjadi. Selain karena ada sebagian nilai-nilai budaya yang mendorong dominasi kaum laki-laki juga kedudukan kaum perempuan.
"Biasanya, semakin miskin seseorang, khususnya kaum perempuan, maka aksesnya pun semakin sulit. Perempuanlah yang lazim terkena imbasnya," ujarnya.
Menurutnya, kondisi masyarakat yang dinamis ikut mempengaruhi perkembangan pandangan gender. Dulu, semasa perang, peran kaum perempuan sangat penting. Setelah masa itu, peran perempuan kembali mengecil. Namun, saat ini, sebenarnya negara sudah mengakomodasi peran-peran perempuan dalam pemerintahan.
"Mungkin, pimpinan di daerah yang harus lebih proaktif kembali dalam merumuskan, membuat, dan mengimplementasikan aturan yang properempuan," ucap Arisa yang juga ketua Bidang Luar Negeri Muslimat NU.
Penggiat hak-hak perempuan dari Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Dian Trisnanti berpendapat serupa. Dia mengatakan, seperti tercermin di dalam berbagai laporan sensus dan statistik pembangunan, status pekerjaan perempuan sering diidentifikasi sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik. "Sekalipun sehari-harinya perempuan juga masih ikut menitikkan keringat bekerja di luar sektor domestik tersebut," katanya, saat dihubungi, di Jakarta, Sabtu (13/9).
Stereotip yang selalu memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional dan emosional, katanya, membuat mereka kurang layak untuk menjadi pemimpin.
Ketidaksetaraan peran antara perempuan dan laki-laki ini, terangnya, dipengaruhi banyak hal. Misalnya, adanya berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat, penafsiran agama dan konstruksi sosial budaya yang mengatur alokasi peranan, atribut, stereotip, hak, kewajiban, tanggung jawab dan persepsi terhadap laki-laki maupun perempuan.
50 Perda
Informasi yang diperoleh SP, perda-perda diskriminatif itu juga bertentangan dengan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang mengamanatkan untuk mengkaji secara mendalam perundang-undangan guna menghindari diskriminasi terhadap perempuan.
Sampai saat ini, setidaknya lebih dari 50 perda yang dianggap diskriminatif. Produk itu dianggap mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU 39/1999 tentang HAM dan UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik. Penertiban terhadap kemaksiatan dan pelacuran memang harus dilakukan. Tetapi, jangan sampai perempuan yang baik-baik punmenjadi korban dan terdiskriminasi oleh aturan itu. *
15 September 2008
Pengantar
Munculnya peraturan daerah (perda) yang berlabel penertiban kemaksiatan atau pelacuran di sejumlah daerah, dinilai sangat mendiskriminasikan kaum perempuan. Apalagi, pasal-pasal dalam perda tersebut sangat multitafsir, sehingga selalu menempatkan perempuan pada posisi lemah. Aktivis perempuan maupun kementerian negara pemberdayaan perempuan sepakat untuk meminta para kepala daerah mencabut atau membatalkan regulasi tersebut, termasuk peraturan bupati/bupati/wali kota yang ditengarai jumlahnya mencapai 106 aturan. Wartawan SP, Willy Masaharu menuliskan permasalahan ini berikut tulisan terkait di hal 18.
SP/Alex Suban
Petugas Kecamatan Kabayoran Baru, Jakarta Selatan, memeriksa KTP para perempuan yang terjaring dalam operasi di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Operasi itu berhasil menjaring 10 perempuan dan 1 waria.
Kasus salah tangkap berlatar belakang penegakan Perda 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, Banten, beberapa tahun lalu, sepertinya masih segar dalam ingatan masyarakat. Korbannya adalah Lilis Lindawati. Dia adalah karyawan pramusaji sebuah restoran di wilayah Tangerang.
Berdalih menegakkan Perda, saat Lilis seusai bekerja dan pulang malam, petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kemudian menggelandang Lilis ke markas Satpol PP Kota Tangerang. Ironis, petugas menyangkakan Lilis sebagai pelacur.
Nasib serupa juga dialami Rosa Amalia (27). Dia bahkan sempat ditahan semalaman, karena terjaring petugas ketentraman dan ketertiban (tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang mencurigainya sebagai pelacur.
"Saya bukan pelacur. Saya ini mau mengantarkan makanan dan kunci untuk suami saya," ujar Rosa di hadapan hakim tunggal Barmen Sinurat, dalam persidangan tindak pidana ringan (tipiring) perkara penjualan minuman keras dan pelacuran sesuai Perda 7 dan 8 tahun 2005 di Tangerang, beberapa tahun lalu.
Majelis hakim akhirnya mengembalikan Rosa kepada keluarganya, sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) Perda 8 Tahun 2005 Kota Tangerang. Namun, dia dikenakan denda Rp 1.000.
Lilis dan Rosa adalah dua dari sekian banyak korban salah tangkap akibat implementasi dari Perda Antipelacuran Kota Tangerang. Sebagian masyarakat menganggap, sampai kini masih banyak Perda yang mendiskriminasikan bahkan cenderung mengkriminalkan kaum perempuan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) dan Komisi VIII, Senin (8/9) lalu juga terungkap bahwa masih ada pemerintah daerah (Pemda) yang tidak responsif gender. Sebab, sampai saat ini masih banyak Perda yang dinilai mendiskriminasikan kaum perempuan.
Perda 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran oleh Pemerintah Kota Tangerang adalah satu dari sekian Perda yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. "Perda-perda seperti itu tidak properempuan. Ini tidak responsif gender," kata Sekretaris Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Koensatwanto Inpasihardjo.
Dikatakan, pemerintah mengimbau pemda untuk segera mencabut berbagai perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Dia menerangkan, masih banyak kota dan kabupaten di Indonesia memberlakukan perda yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan bias gender.
Dia mengemukakan, perda-perda tersebut juga berdampak terhadap buruh perempuan. "Perda seperti di Tangerang berdampak buruk terhadap ekonomi buruh perempuan dan masyarakat secara umum di wilayah itu. Kini buruh-buruh perempuan resah jika masuk kerja malam atau lembur sampai malam karena takut terkena razia. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan tambahan penghasilan," katanya.
Selain itu, lanjutnya, banyaknya perda yang memojokkan perempuan dapat meningkatkan jumlah pengangguran perempuan dan pada akhirnya menambah kemiskinan.
Ditanyakan, apakah perda-perda itu akan ditinjau ulang, Koensatwanto menegaskan, KNPP mendukung dan melakukan upaya-upaya penelaah-an dan peninjauan sejumlah perda yang dinilai diskriminatif tersebut.
Dicabut
Disadari atau tidak, ternyata selama ini marginalisasi perempuan masih terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan. Terdapat banyak contoh bagaimana kaum perempuan secara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan.
Peneliti gender dari Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Arisa Agustina menegaskan, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) harus tegas dan segera mencabut sejumlah peraturan daerah (perda) yang mendiskriminasikan kaum perempuan.
"KNPP seharusnya ikut mengevaluasi dan memberikan masukan kepada Depdagri jika ada produk hukum yang dinilai masih memarginalkan kaum perempuan. Ini penting, sehingga ada keserasian antara produk hukum pusat dan daerah," katanya.
Dikatakan, marginalisasi, diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan membuat daya saing perempuan dalam berbagai aspek kehidupan menjadi sangat lemah. Arisa mengatakan, diskriminasi terhadap kaum perempuan sudah sejak lama terjadi. Selain karena ada sebagian nilai-nilai budaya yang mendorong dominasi kaum laki-laki juga kedudukan kaum perempuan.
"Biasanya, semakin miskin seseorang, khususnya kaum perempuan, maka aksesnya pun semakin sulit. Perempuanlah yang lazim terkena imbasnya," ujarnya.
Menurutnya, kondisi masyarakat yang dinamis ikut mempengaruhi perkembangan pandangan gender. Dulu, semasa perang, peran kaum perempuan sangat penting. Setelah masa itu, peran perempuan kembali mengecil. Namun, saat ini, sebenarnya negara sudah mengakomodasi peran-peran perempuan dalam pemerintahan.
"Mungkin, pimpinan di daerah yang harus lebih proaktif kembali dalam merumuskan, membuat, dan mengimplementasikan aturan yang properempuan," ucap Arisa yang juga ketua Bidang Luar Negeri Muslimat NU.
Penggiat hak-hak perempuan dari Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Dian Trisnanti berpendapat serupa. Dia mengatakan, seperti tercermin di dalam berbagai laporan sensus dan statistik pembangunan, status pekerjaan perempuan sering diidentifikasi sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik. "Sekalipun sehari-harinya perempuan juga masih ikut menitikkan keringat bekerja di luar sektor domestik tersebut," katanya, saat dihubungi, di Jakarta, Sabtu (13/9).
Stereotip yang selalu memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional dan emosional, katanya, membuat mereka kurang layak untuk menjadi pemimpin.
Ketidaksetaraan peran antara perempuan dan laki-laki ini, terangnya, dipengaruhi banyak hal. Misalnya, adanya berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat, penafsiran agama dan konstruksi sosial budaya yang mengatur alokasi peranan, atribut, stereotip, hak, kewajiban, tanggung jawab dan persepsi terhadap laki-laki maupun perempuan.
50 Perda
Informasi yang diperoleh SP, perda-perda diskriminatif itu juga bertentangan dengan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang mengamanatkan untuk mengkaji secara mendalam perundang-undangan guna menghindari diskriminasi terhadap perempuan.
Sampai saat ini, setidaknya lebih dari 50 perda yang dianggap diskriminatif. Produk itu dianggap mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU 39/1999 tentang HAM dan UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik. Penertiban terhadap kemaksiatan dan pelacuran memang harus dilakukan. Tetapi, jangan sampai perempuan yang baik-baik punmenjadi korban dan terdiskriminasi oleh aturan itu. *
KN-JNPM: RUU Tentang Pornografi Menghambat Pembebasan Perempuan
Ditulis oleh Hans
Rabu, 24 September 2008 19:43
Jakarta, NTT Online – Komite Nasional Jaringan Perempuan Mahardhika (KN-JNPM) menolak keras RUU Anti Pornografi karena dinilai menghambat Pembebasan Perempuan. Hal ini disampaikan Vivi Widyawati, Koordinator KN-JNPM dalam rilis hari ini. Berikut pernyataan sikapnya:
Menjelang Pemilu 2009, saat semua partai, baik itu partai-partai politik lama maupun maupun partai-partai politik baru, beramai-ramai menonjolkan program mereka untuk mendukung kesetaraan bagi kaum perempuan, mendukung kuota 30%.
TETAPI MAYORITAS (Golkar, Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, PBR, PBB, Partai Pelopor, PPP) DARI MEREKA, TIDAK ADA SATUPUN YANG MEMPUNYAI SIKAP TEGAS MENOLAK RUU TENTANG PORNOGRAFI, SEMENTARA PARTAI-PARTAI POLITIK BARU JUGA BERSIKAP MASA BODO/TIDAK MAU TAU. KELUARNYA PDIP DAN PDS BELUM MENUJUKKAN KOMITMEN YANG SERIUS TERHADAP PEMBEBASAN PEREMPUAN.
Bagi kami, jika RUU tentang Pornografi ini disahkan akan menjadi ancaman bagi pembebasan perempuan karena;
Pertama, definisi yang tertulis dalam RUU tersebut menyerang seksualitas dan politik perempuan – yang dalam masyarakat patriarkhi seksualitas pasti selalu dikaitkan dengan perempuan, kontrol terhadap seksualitas perempuan adalah cerminan masih kuatnya budaya patriarkhi dalam pemerintahan dan parlemen kita. Selama tubuh perempuan masih dalam kontrol negara maka selamanya akan menghambat kemajuan dan partisipasi politik perempuan.
Kedua, berpotensi besar untuk mengkriminalkan perempuan dan anak yang terlibat dalam industri pornografi tanpa melihat latar belakang mengapa mereka bisa terlibat industri pornografi. Banyaknya kaum perempuan dan anak yang terlibat dalam industri pornografi didorong oleh kondisi sosial, terutama kemiskinan yang semakin akut yang disebabkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan, PHK massal, pendapatan yang rendah, harga-harga naik.
Ketiga, RUU mendukung lahirnya perda-perda yang akan menghambat kemajuan kaum perempuan untuk terlibat dalam ranah publik.
Keempat, dengan adanya ruu ini pemerintah dan parlemen justru melegalkan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan mengkontrol kehidupan personal masyarakat, terlebih lagi juga melegalkan tindakan premanisme untuk mengontrol, mengatur, mengawasi bahkan merepresi kaum perem! puan dan warga negara.
Industri pornografi adalah pokok persoalan bagi komersialisasi seksualitas perempuan, dan industri ini mengeruk keuntungan dari penghancuran kemanuasiaan perempuan. Selama ini terus dilindungi oleh penguasa, demi keuntungan ekonomi, maka industri pornografi akan menyeret rakyat dalam rantai produski dan distribusi di dalamnya.
Sehingga menyerang, menghakimi dan menghukum rakyat yang mencari makan dari industri pornografi adalah politik kekuasaan yang anti rakyat, mengalihkan tanggung jawab negara atas kesalahan industri pornografi, sekaligus politik penguasa yang lepas tangan terhadap situasi rakyat yang miskin tanpa lapangan pekerjaan.
Jelas sekali, ketidakmampuan pemerintahan SBY-Kalla untuk menyejahteraan kaum perempuan ditutupi dengan mengusulkan sebuah ruu yang justru membelenggu perempuan.
Saat ini yang dibutuhkan oleh perempuan adalah lapangan pekerjaan yang layak, sembako yang murah, kesehatan gratis, pendidikan gratis, upah yang layak dan kehidupan yang lebih baik.
Dengan disahkannya ruu ini maka upaya pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pendaftaran calon legislative untuk pemilu 2009 akan kehilangan makna politiknya bagi upaya mendorong maju perempuan.
Pemilu 2009 hanya akan menjadi ajang politik dagang sapi, dan perempuan dibutuhkan hanya untuk memperbanyak suara. Pemerintah SBY-Kalla, elit politik dan partai-partai politik yang mendukung pengesahan RUU Tentang Pornografi sama saja anti kesetaraan kaum perempuan.
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika dengan tegas menolak pengesahan RUU tentang Pornografi, dan menyerukan kepada seluruh kaum perempuan dan rakyat miskin Indonesia untuk membangun persatuan tanpa terkooptasi dan independen untuk melawan politik elit yang anti perempuan dan anti rakyat miskin.
Kaum Perempuan Bersatu; Bentuk Organisasi Payung Perempuan Nasional yang Mandiri dan Non-Kooptasi!
Rabu, 24 September 2008 19:43
Jakarta, NTT Online – Komite Nasional Jaringan Perempuan Mahardhika (KN-JNPM) menolak keras RUU Anti Pornografi karena dinilai menghambat Pembebasan Perempuan. Hal ini disampaikan Vivi Widyawati, Koordinator KN-JNPM dalam rilis hari ini. Berikut pernyataan sikapnya:
Menjelang Pemilu 2009, saat semua partai, baik itu partai-partai politik lama maupun maupun partai-partai politik baru, beramai-ramai menonjolkan program mereka untuk mendukung kesetaraan bagi kaum perempuan, mendukung kuota 30%.
TETAPI MAYORITAS (Golkar, Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, PBR, PBB, Partai Pelopor, PPP) DARI MEREKA, TIDAK ADA SATUPUN YANG MEMPUNYAI SIKAP TEGAS MENOLAK RUU TENTANG PORNOGRAFI, SEMENTARA PARTAI-PARTAI POLITIK BARU JUGA BERSIKAP MASA BODO/TIDAK MAU TAU. KELUARNYA PDIP DAN PDS BELUM MENUJUKKAN KOMITMEN YANG SERIUS TERHADAP PEMBEBASAN PEREMPUAN.
Bagi kami, jika RUU tentang Pornografi ini disahkan akan menjadi ancaman bagi pembebasan perempuan karena;
Pertama, definisi yang tertulis dalam RUU tersebut menyerang seksualitas dan politik perempuan – yang dalam masyarakat patriarkhi seksualitas pasti selalu dikaitkan dengan perempuan, kontrol terhadap seksualitas perempuan adalah cerminan masih kuatnya budaya patriarkhi dalam pemerintahan dan parlemen kita. Selama tubuh perempuan masih dalam kontrol negara maka selamanya akan menghambat kemajuan dan partisipasi politik perempuan.
Kedua, berpotensi besar untuk mengkriminalkan perempuan dan anak yang terlibat dalam industri pornografi tanpa melihat latar belakang mengapa mereka bisa terlibat industri pornografi. Banyaknya kaum perempuan dan anak yang terlibat dalam industri pornografi didorong oleh kondisi sosial, terutama kemiskinan yang semakin akut yang disebabkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan, PHK massal, pendapatan yang rendah, harga-harga naik.
Ketiga, RUU mendukung lahirnya perda-perda yang akan menghambat kemajuan kaum perempuan untuk terlibat dalam ranah publik.
Keempat, dengan adanya ruu ini pemerintah dan parlemen justru melegalkan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan mengkontrol kehidupan personal masyarakat, terlebih lagi juga melegalkan tindakan premanisme untuk mengontrol, mengatur, mengawasi bahkan merepresi kaum perem! puan dan warga negara.
Industri pornografi adalah pokok persoalan bagi komersialisasi seksualitas perempuan, dan industri ini mengeruk keuntungan dari penghancuran kemanuasiaan perempuan. Selama ini terus dilindungi oleh penguasa, demi keuntungan ekonomi, maka industri pornografi akan menyeret rakyat dalam rantai produski dan distribusi di dalamnya.
Sehingga menyerang, menghakimi dan menghukum rakyat yang mencari makan dari industri pornografi adalah politik kekuasaan yang anti rakyat, mengalihkan tanggung jawab negara atas kesalahan industri pornografi, sekaligus politik penguasa yang lepas tangan terhadap situasi rakyat yang miskin tanpa lapangan pekerjaan.
Jelas sekali, ketidakmampuan pemerintahan SBY-Kalla untuk menyejahteraan kaum perempuan ditutupi dengan mengusulkan sebuah ruu yang justru membelenggu perempuan.
Saat ini yang dibutuhkan oleh perempuan adalah lapangan pekerjaan yang layak, sembako yang murah, kesehatan gratis, pendidikan gratis, upah yang layak dan kehidupan yang lebih baik.
Dengan disahkannya ruu ini maka upaya pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pendaftaran calon legislative untuk pemilu 2009 akan kehilangan makna politiknya bagi upaya mendorong maju perempuan.
Pemilu 2009 hanya akan menjadi ajang politik dagang sapi, dan perempuan dibutuhkan hanya untuk memperbanyak suara. Pemerintah SBY-Kalla, elit politik dan partai-partai politik yang mendukung pengesahan RUU Tentang Pornografi sama saja anti kesetaraan kaum perempuan.
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika dengan tegas menolak pengesahan RUU tentang Pornografi, dan menyerukan kepada seluruh kaum perempuan dan rakyat miskin Indonesia untuk membangun persatuan tanpa terkooptasi dan independen untuk melawan politik elit yang anti perempuan dan anti rakyat miskin.
Kaum Perempuan Bersatu; Bentuk Organisasi Payung Perempuan Nasional yang Mandiri dan Non-Kooptasi!
Mengaca Pada Venezuela
14 Mei 2008 Dari HOV-Indonesia
Jakarta, 13 Mei 2008. Sekelompok perempuan di Kelurahan Duripulo, Gambir, Jakarta Pusat, yang dimotori oleh Ivo dan Vivi dari Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Selasa malam tanggal 13 Mei 2008 menggelar pemutaran film dan diskusi tentang Venezuela. Acara ini digelar guna merespon rencana pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada 1 Juni nanti. Meskipun tidak seperti yang diharapkan, sekolompok perempuan yang sebagian besar ibu-ibu rumahtangga tersebut tampak serius mengikuti acara hingga akhir. “Kita telah melihat bersama peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di Venezuela dan kita bisa belajar dari sana,” kata Ivo, koordinator acara dan sekaligus pendamping komunitas perempuan tersebut.
Toni, dari Hands Off Venezuela – Indonesia, mengatakan bahwa rakyat miskin harus bersatu dan menuntut agar pemerintah menasionalisasi sumber-sumber minyak yang sekarang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang menyebabkan krisis energi di negeri ini. Toni juga menyerukan agar rakyat melawan rencana kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Juni 2008 mendatang.
Koordinator Hands Off Venezuela – Indonesia, Jesus SA, juga hadir dalam acara ini. Jesus mengatakan bahwa kita bisa belajar banyak dari rakyat miskin Venezuela yang mampu menorganisir diri dan bergerak. Menurut Jesus, kekayaan alam negeri ini (Indonesia) seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, rakyat menjadi gelandangan di negeri sendiri dan kemakmuran hanya bisa diakses oleh segelintir orang. “Jika Venezuela bisa bangkit dari krisis akibat penjajahan modal asing dan mati-matian berjuang melawan mereka, kita seharusnya juga bisa,” begitulah kata Jesus di akhir acara tersebut. (HOV-Indonesia)
12 Oktober 2008
Tuntut Kesejahteraan Bagi Petani; Tolak RUU Pornografi
KOMITE RAKYAT BERSATU
(SMI, JNPM, LMND PRM, PRP, PERSMA JOGJA, SPI, PPRM, KAMERAD, RESISTA, MASIH SEGARIS)
CP: 08566626888
BANGUN PERSATUAN GERAKAN RAKYAT YANG MANDIRI: TUNTUT KESEJAHTERAAN BAGI PETANI!! TOLAK RUU PORNOGRAFI!!
Semenjak kebijakan neoliberalisme dijalankan dan kebijakan pasar bebas di terapkan, produk-produk pertanian asing dapat masuk dengan leluasa dan dengan pajak yang kecil ke dalam negeri ini. Hal ini mengakibatkan semakin tidak lakunya hasil pertanian dalam negeri, karena harganya yang lebih mahal dibandingkan dengan produk-produk asing tersebut. Lebih mahalnya harga hasil pertanian dalam negeri ini disebabkan oleh rendahnya tehnologi pertanian dan minimnya modal produksi pertanian, disisi lain subsidi pertanian dan sosial secara perlahan-lahan dipangkas oleh pemerintah, yang menyebabkan mahalnya harga pupuk, bahan bakar, bibit, dan kebutuhan produksi yang lainnya. Pemiskinan terhadap petani ini menyebabkan petani lebih memilih menjual lahannya dan pergi ke kota untuk menjadi buruh kasar atau buruh migrant (TKI). Maka hancurlah pertanian dalam negeri, dan meningkatlah perdagangan manusia.
Neoliberalisme di bidang pertanian juga membuat negara tidak memiliki kedaulatan tehadap produk pertanian kita. Liberalisasi perdagangan membuat negara tidak mempunyai kekuasaan monopoli terhadap produksi dan distribusi pertanian. Inilah yang menyebabkan negara yang merupakan salah satu produsen minyak goreng di dunia sering mengalami kelangkaan minyak goreng. Kelangkaan ini tidak lain disebabkan karena CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit mentah justru di Ekspor keluar negeri. Hal ini pula yang menyebabkan marak terjadinya busung lapar (karena kurang gizi), karena negara tidak mampu mengontrol harga pangan sehingga bisa dijangkau oleh rakyat. Sehingga dapat kita simpulkan, hancurnya pertanian dalam negeri ini akan mengakibatkan hancurnya kesejahteraan rakyat.
Dalam situasi pertanian yang mengenaskan ini dan semakin menurunnya kesejahteraan rakyat, alih-alih berusaha meningkatkan produktifitas pertanian dalam negeri dengan menyelesaikan masalah dasarnya (tehnologi, modal, SDM yang berkualitas), pemerintah malah mengeluarkan RUU pornografi yang semakin menghambat produktifitas petani rakyat (terutama perempuan).
Kemiskinan mendorong kaum perempuan (termasuk perempuan petani) terlibat dalam industri pornografi karena tidak memiliki alternatif penghidupan. Namun bukannya berusaha menyelesaikan kemiskinan sebagai akar permasalahan, RUU Pornografi semakin membuat kaum perempuan menurun tenaga produktifnya, dengan menerapkan aturan-aturan yang membatasi gerak perempuan. Selain itu RUU Pornografi juga akan memicu munculnya perda-perda syari’ah yang akan membatasi perempuan untuk beraktivitas di wilayah publik. Padahal salah satu syarat memajukan kaum perempuan adalah dengan mendorong perempuan untuk terlibat di wilayah publik. RUU Pornografi ini adalah upaya cuci tangan pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan rakyat dengan menempatkan kaum perempuan sebagai sumber dari bobroknya moral bangsa.
Menjelang Pemilu 2009, saat semua partai beramai-ramai menonjolkan program mereka untuk mendukung kesetaraan bagi kaum perempuan, mendukung kuota 30%, tetapi mayoritas (Golkar, Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, PBR, PBB, Partai Pelopor, PPP) tidak satupun yang mempunyai sikap tegas menolak RUU Pornografi. Partai-partai politik baru juga bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu. PDS dan PDIP yang menyatakan penolakan terhadap RUU Pornografi juga belum menunjukkan keseriusan dalam upaya menggagalkan RUU ini. Bahkan dalam sejarahnya, dua partai ini juga setia mendukung kebijakan-kebijakan yang merugikan perempuan seperti kebijakan pencabutan subsidi sosial dan privatisasi industri negara. Saat megawati berkuasa, pemerintahannya juga menjadi agen setia imperialisme, ini terbukti dengan adanya kebijakan privatisasi industri negara dan pencabutan subsidi BBM yang semakin menyengsarakan kaum perempuan dalam masyarakat yang masih patriarkis (menempatkan perempuan dibawah laki-laki).
Berdasarkan situasi tersebut diatas kami dari Komite Rakyat Bersatu menegaskan:
Tuntutan Mendesak Rakyat
1. Gagalkan pengesahan RUU Pornografi
2. Turunkan harga pupuk
3. Hentikan impor barang pertanian asing
4. Sediakan tehnologi yang murah, berkualitas dan modal bagi petani
5. Pendidikan dan kesehatan gratis yang layak dan berkualitas
6. Cabut UU Penanaman Modal No.25/2207, UU No. 7/1996 tentang katahanan pangan
7. Tolak penggusuran warga parang tritis dan kulon progo
8. Batalkan kenaikan harga BBM
9. Kuota 50% perempuan di wilayah-wilayah publik
10. Jaminan kebebasan orientasi seksual
11. Lapangan kerja untuk rakyat
Musuh Rakyat:
1. Imperialisme dan agen-agennya di Indonesia (SBY-JK)
2. Reformis gadungan
3. Sisa-sisa orde baru
4. Fundamentalisme
5. Militerisme
Solusi Rakyat Indonesia untuk Negara:
1. Rebut Dan Kelola Industri Tambang Asing Dibawah Kontrol Rakyat
2. Bangun Industrialisasi Nasional Yang Kerakyatan
3. Laksanakan Reforma Agraria Sejati (Land Reform)
4. Hapus Hutang Luar Negeri
5. Sita Harta Koruptor Untuk Kesejahteraan Rakyat
6. Rebut Industri Perbankan Untuk Rakyat
Yogyakarta, 24 September 2008
Linda Sudiono
Koordinator Umum
Linda Sudiono
Koordinator Umum
Langganan:
Postingan (Atom)