Konferensi Solidaritas Perempuan Internasional
Ketika Kaum Perempuan Venezuela Berbagi Pengalaman
Oleh: Sarah Wagner
“Solidaritas antar bangsa-bangsa, di antara rakyat, adalah hal yang pokok. Ketika masyarakatdi dunia berkembang maju, semua orang maju. Ketika suatu negeri dikalahkan, maka kita semua mundur satu langkah.” - Carmen Morente, Granada Spanyol
Pada hari Jumat, tanggal 15 April (2005—ed), perempuan dari seluruh dunia bertemu di Karakas untuk berpartisipasi dalam diskusi “Gerakan Perempuan dan Peran Pentingnya di dalam Proses Revolusioner” sebagai bagian dari Pertemuan Global untuk Solidaritas yang ketiga terhadap Revolusi Bolivarian.
Ketika sebagian pembicara memusatkan pembicaraan mengenai perjuangan kesetaraan perempuan di dalam negeri mereka masing-masing, mayoritas lainnya menempatkan perjuangan perempuan di dalam konteks yang lebih luas, yang mengakui bahwa perdamaian, sebagaimana ditegaskan oleh Yarira Kuper, anggota Federasi Perempuan Kuba, tak hanya terbatas pada ketiadaan konflik .
Persoalan solidaritas juga menjadi tema yang bergulir di dalam konferensi. Wakil Menteri Luar Negeri Venezuela untuk Amerika Utara, Mari Pili Hernández, menyatakan bahwa negerinya merupakan contoh bagi dunia dalam hal solidaritas serta proses pemenuhan hak-hak perempuan, kedua hal itu menunjukkan negerinya sebagai sebuah “kebaikan yang mengancam”.”Venezuela adalah sebuah contoh kebaikan yang mengancam. Kami sebagian dari contoh kebaikan, karena kami tidak menjiplak revolusi siapapun dan tidak memaksakan model revolusioner kami pada negeri manapun. Kami sudah menemukan jalan kami sendiri.”
Menurut Wakil Menteri, Revolusi adalah separuh dari logika, politik dan kepekaan. Ia tanyakan pada peserta: ”jika anda tidak merasakan revolusi, bagaimana anda akan mempertahankannya, atau hidup di dalamnya?” demikian Hernandez menegaskan bahwa solidaritas adalah komponen pokok di dalam Revolusi Bolivarian: “Masyarakat di Amerika Serikat tidak dapat mengerti bagaimana Venezuala menggunakan minyak sebagai suatu bentuk solidaritas. Amerika Serikat adalah sebuah negeri dimana segala hal memiliki harga (tidak cuma-cuma—ed). Tentu saja diluar bayangan mereka mengetahui Venezuela akan bersedia mempertukarkan minyak untuk dokter-dokter, daging, makanan atau tenaga ahli (professor)”.
Ia meyulut presentasinya dengan menyatakan bahwa Venezuela memiliki kehendak membangun hubungan yang sangat baik dengan seluruh negeri di dunia kecuali Amerika Serikat, karena negeri itu tidak memberi Venezuela satu hal yang dikehendakinya, yang juga berhak diperoleh negeri manapun juga, yakni: penghormatan.
Lorena Peña, seorang anggota Kongres perempuan dari El Salvador berbicara mengenai situai perempuan di negerinya. Dia menegaskan bahwa meskipun perempuan adalah mayoritas (52% penduduk El Salvador adalah perempuan), namun dalam hal pendidikan; pelayanan kesehatan; dan pendapatan justru berada pada indeks terendah. Peña menjelaskan mengenai ‘kesempatan’ kerja bagi perempuan, menegaskan bahwa mereka terkonsentrasi ke dalam pekerjaan yang berupah rendah (maquiladoras), atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau (bahkan—ed) pelacur, dengan penghasilan rata-rata 30% lebih kecil dibanding laki-laki.
“Dengan statistik seperti ini”, tegas Peña, “kita tidak bisa lagi hanya berbicara mengenai diskriminasi terhadap perempuan, kita harus bicara mengenai diskriminasi yang sistematis terhadap perempuan, mengenai sebuah sistem yang menyokong diskriminasi terhadap perempuan: yakni neoliberalisme. Sistem ini tumbuh subur dengan mengeksploitasi sektor rakyat yang paling rentan. Untuk bisa memerangi sistem ini, kita harus menyatukan feminisme dan Marxisme”.
Peña selanjutnya menyampaikan tentang konflik bersenjata di negerinya. “20% pasukan FMLN adalah perempuan. Kami percaya bahwa ketika kami mengalahkan kediktatoran, rakyat, baik laki-laki maupun perempuan, akan bangkit, bahwa kesetaraan jender akan mengiringi pembebasan perempuan. Namun, tampaknya, kepercayaan itu tak serta merta terwujud. Sebagai akibatnya, kami menyadari bahwa kaum perempuan juga di diskriminasi di antara kaum kiri. Walau demikian, jawabannya bukanlah menyalahkan kaum kiri, melainkan membetulkannya . Penting bagi kita untuk mendorong keterlibatan kaum perempuan di dalam sistem masyarakat dan memasukkan nilai-nilai jender ke dalam proposal setiap organisasi.”
Peña kemudian menggambarkan tahap-tahap yang sudah dijalankan oleh kaum perempuan untuk membetulkan pemahaman ini. “Gerakan Mujeres 94 (Perempuan 94), merupakan persatuan kaum feminis Kiri, yang bangkit untuk merespon pemilihan Presiden tahun 1994, dengan sebuah platform yang berlandaskan atas hak kami untuk memiliki kontrol atas tubuh; kesetaraan upah; serta keterwakilan politik 50:50 di dalam kantor-kantor pelayanan publik. FMLN mengadopsi semua proposal tersebut, dan pada tahun 1996 kami berhasil setelah mereka memasukkan sebuah kebijakan jender ke dalam platform partai. Sebagai contoh, saat ini, persentase kaum perempuan di dalam posisi-posisi kepemimpinan partai harus setara dengan persentase anggota perempuan yang resmi terdaftar di FLMN, dengan ketentuan bahwa tidak boleh lebih rendah dari angka 35%. Dengan kata lain, kami telah berhasil memperbaharui institusi kami.”
Anggota Kongres Perempuan itu kemudian mengakui adanya kelemahan di dalam kemajuan ini sekaligus menjelaskan pandangannya bagaimana menemukan jalan keluarnya. “Kami percaya bahwa FMLN sudah memberikan dukungan kepada kaum perempuan. Tetapi, kami memiliki banyak kelemahan, kami masih serba kekurangan. Sebagai contoh, ketika kebijakan-kebijakan yang menyangkut pembebasan perempuan telah disetujui, kebijakan-kebijakan tersebut tidak sepenuhnya dipelajari, dan oleh karena itu tidak pernah seragam diterapkan. Untuk mengatasi ketidaksetraan antara laki-laki dan perempuan kita membutuhkan tindakan-tindakan berikut ini. Kita harus meningkatkan partisipasi perempuan di dalam pemerintahan; mengukuhkan kuota di dalam (kebijakan) partai-partai politik; LSM-LSM dan entitas-entitas pendidikan. Penting bagi kita untuk membangkitkan kesadaran akan pentingya penentuan nasib sendiri; re-evaluasi nilai ekonomi dan sosial atas pekerjaan domestik; serta peran reproduksi kaum perempuan. Dan kita harus menyadari bahwa kaum perempuanlah yang lebih menderita di dalam neoliberalisme, oleh karena itu kita harus menguhubungkan perjuangan melawan neoliberalisme dengan perjuangan kaum perempuan”.
Carmen Morente, anggota Simón Bolívar Solidarity Platform Spanyol, mengawali presentasinya dengan menegaskan, ”solidaritas antar bangsa-bangsa, di antara rakyat, merupakan hal yang pokok, “ketika masyarakat di dunia berkembang maju, semua orang maju. Ketika suatu negeri dikalahkan, maka kita semua mundur satu langkah.”
Morente berpendapat bahwa kita harus berjuang melawan konsep ‘bekerja di dalam kerangka “pembenaran politik”’. Pembenaran politik, ia jelaskan, yakni mendukung berangkatnya pasukan tentara ke Irak dan mendukung penggulingan presiden yang terpilih secara demokratis di Venezuela. “Kita adalah kaum internasionalis. Dan kewajiban kita sebagai kaum internasionalis terletak pada penolakan terhadap kebijakan-kebijakan imperialis dan media yang korup yang telah menggerogoti kedaulatan sebuah bangsa seperti Venezuela. Kewajiban kita sebagai kaum internasionalis adalah memastikan bahwa proses (transformasi—ed) di Venezuela terus membentuk kesadaran demi kesadaran yang semakin matang”. Di akhir presentasinya, ia menyimpulkan dengan tegas bahwa “hanya dengan perlawanan yang terkoordinasi antar seluruh rakyat di dunia maka dunia yang lain menjadi mungkin”.
Di awal presentasinya, Yarira Kuper menyatakan bawah dia tidak akan berbicara mengenai negerinya, Kuba, melainkan mengenai kemiskinan dan ketidaksetaraan di dunia. “Selama lima puluh tahun terakhir, umat manusia sudah mengalami kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemajuan-kemuajuan tersebut belum menjamin perdamaian, tidak menjamin masa depan kemanusiaan”.
Kuper, yang merupakan anggota Federasi Perempuan Kuba (Federation of Cuban Women), menggarisbawahi bahwa neoliberalisme menghambat bangsa-bangsa untuk mewujudkan perdamaian sejati. Sehubungan dengan model ekonomi ini (neoliberalisme), ia menegaskan, setiap harinya 70.000 manusia jatuh miskin dan 35.000 anak-anak meninggal karena kelaparan dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah. Kuper mengakui bahwa kemiskinan “berwajah perempuan—kaum perempuanlah yang berpendapatan hingga 60% lebih rendah daripada rekan kerja laki-laki mereka; terpaksa bekerja dengan upah rendah (maquiladoras) dan jam kerja yang tinggi (16 jam per hari), serta lebih banyak menderita AIDS dan buta huruf”. “Model semacam ini hanya menghargai satu hal di dunia ini yakni: uang… Kita harus berjuang untuk perdamaian, sebuah perdamaian yang bukan dimaknakan dengan berkurangnya konflik militer, melainkan didasarkan pada penghapusan kemiskinan dan ketertinggalan. Orang miskin di dunia ini membutuhkan keadilan, dan keadilan dapat tercapai jika berbagai sumber daya yang di dedikasikan untuk perang segera dialihkan”.
Kuper menutup pidatonya dengan menyatakan bahwa dalam perjuangan untuk perdamaian kaum perempuan memiliki suatu peran yang sangat signifikan terkait dengan kepekaan, kreatifitas, dan kehendak yang mereka dedikasikan untuk solidaritas. “Dunia harus bercermin pada peran kaum perempuan di dalam organisasi-organisasi yang mengusung perubahan.”
Perwakilan Federasi Perempuan Internasional Demokratik (International Democratic Federation of Women) dari Palestina, Liila Ishehai, mempersoalkan makna sebagai seorang perempuan Palestina, menaggapi banyaknya perempuan di berbagai belahan dunia mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Ia memberikan penegasan menyangkut peran kaum perempuan Palestina, bahwa mereka mewakili perjuangan, sejarah, dan revolusi Palestina.
Ditegaskan oleh Ishehai bahwa perjuangan kaum perempuan di dalam “daerah pendudukan” sangat berbeda dari perjuangan kaum perempuan di dalam sebuah bangsa, menekankan bahwa perjuangan perempuan di Palestina memiliki arti tersendiri karena merekalah yang menjadi targetnya. Ketika Ishehai menjelaskan bagaimana represi yang dilakukan tentara Israel terhadap perempuan Palestina, sebagian besar perempuan peserta konferensi, yang kebanyakan dari Amerika Latin menitikkan air mata.
“Seorang mantan Perdana Menteri Israel mengatakan bahwa ia tak bisa tidur di malam hari ketika mengetahui seorang anak Palestina akan lahir esok harinya…tentara Israel membunuh janin-janin dengan meluncurkan serangan bom gas beracun. Kondisi di tenda-tenda pengungsian tak berperikemanusiaan. Kondisi di dalam penjara-penjara Israel lebih buruk lagi. Perempuan-perempuan yang mengandung, harus melahirkan bayi mereka dengan tangan dan kaki terborgol, bahkan setelahnya diabaikan dari perawatan pasca kelahiran. Anak-anak mereka adalah bayi-bayi penjara yang menjalani hukuman yang sama dengan ibu-ibunya, dimana dalam banyak kasus mayoritas kaum perempuan tidak mendapatkan kejelasan mengenai dasar-dasar hukuman terhadap mereka. Ketika mendekam di dalam penjaralah, kuku dan gigi mereka (anak-anak itu—ed) dicabut, di bakar, diperkosa, dan disiksa”.
Kemudian dia menekankan betapa sulitnya bagi pendatang (orang luar—ed) untuk memahami, dan bagi rakyat Palestina untuk berbagi kepada dunia, mengenai apa yang sedang terjadi di Palestina karena, “sebagai daerah pendudukan, media kami menghadapi banyak hambatan”. Menurut Ishehai, inilah beberapa hal yang penting disuarakan oleh pemerintah-pemerintah Barat ketika mereka bicara mengenai perempuan-perempuan Arab.
“Inilah segolongan rakyat yang membutuhkan solidaritas. Kuba merupakan salah satu dari sedikit negeri di dunia ini yang memberikan solidaritasnya terhadap rakyat Palestina. Setiap tahun, ribuan pelajar-pelajar Palestina mendapatkan bea siswa untuk belajar di Kuba... Sebuah dunia yang lebih baik sangatlah mungkin jika kita bekerja bersama dalam solidaritas. Salah satu sikap solidaritas yang paling hangat yang pernah diterima rakyat Palestina terjadi di sini, di Teater Teresa Careño Venezuela, pada tanggal 13 April, ketika semua orang berdiri dan dalam satu suara menegaskan bahwa rakyat Palestin akan menang”.
Lara Herrera dari Asosiasi Perempuan Kolombia (Assocoation of Colombian Women), menggambarkan situasi kehidupan sebagai sorang perempuan di Kolombia pada lebih dari 10 tahun terakhir ini. Ia berbicara mengenai 10.000 rakyat Kolombia yang hilang pada dekade lalu atas nama Undang-undang “Keadilan dan Perdamaian”, yang ditandantangani oleh Pemerintah Kolombia untuk melindungi tentara-tentara AS dari pengusutan atas kejahatan-kejahatannya selama mereka di Kolombia. UU ini telah dicela oleh kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia Internasional karena telah membebaskan anggota-anggota kelompok paramiliter dari pelanggaran HAM dan Undang-undang Kekebalan. Herrera kemudian mengakui dan berterima kasih kepada Venezuela dalam upayanya untuk bersolidaritas terhadap rakyat Kolombia.
Nora Castañeda, Presiden Bank Pembangunan Perempuan memulai presentasinya dengan melontarkan pertanyaan seputar tema konfrensi: “belajar dari dunia dan marilah kita berbagi”.Dia kembali menegaskan, seperti yang ditetapkan oleh Konstitusi baru Venezuela tahun 1999, menyangkut martabat kaum pribumi dan orang-orang Afrika. “Sangatlah penting untuk mengakui dunia kaum pribumi dan orang-orang Afrika, seperti halnya mengakui dunia kaum perempuan dalam membangun Revolusi Bolivarian yang masih sangat muda ini. Bibit-bibit pembangkangan masa lalu tak pernah mati bahkan mencoba kembali pada apa yang kami sebut 4th Republik”.
Menurut Castañeda, sosialisme baru abad 21 yang sedang di bangun oleh Venezuela mengambil pandangan-pandangan dari dunia yang dimarginalkan ini, dan mengakui bahwa “kecuali kita beajar dari saudara-saudara kita, kita akan bernasib serupa dengan Chile dan banyak bangsa-bangsa Afrika lainnya”.
“Kita tidak bisa menerapkan aturan yang sama terhadap mereka yang dirugikan sebagaimana yang kita terapkan terhadap mereka yang diuntungkan.” Leticia Montes; Mexico.Emma Ortega dari Ecuador dan Leticia Montes dari Meksiko, memberikan data statistik tingkat pengangguran dan representasi perempuan di dalam politik (atau dengan kata lain sedikitnya representasi perempuan di dalam politik). Ortega menekankan pada pentingnya melibatkan kaum laki-laki ke dalam perjuangan kesetaraan jender.
Anggota Dewan Pemilihan Nasional Venezuela (Venezuela’s National Electoral Council), Tibisay Lucena, menekankan, meskipun kaum perempuan membuat kemajuan yang mengesankan pada masa Republik Keempat, masih kalah mengesankan dari masyarakat pribumi di Venezuela sebelum Conquista, dimana perempuan dan laki-laki berbagi, bekerja dan berpartisipasi di dalam masyarakat dengan setara. Lucena menambahkan bahwa kaum perempuan Venezuela telah memenangkan peperangan yang paling mengesankan baru-baru ini, dengan pengesahan sebuah Konstitusi yang mengandung dan mengakui kesetaraan jender perempuan. “Konstutusi Kita”, dia menegaskan, “dilandaskan pada kesetaraan, maka untuk alasan tersebut kami tidak meminta kuota sebesat 20, 30 atau bahkan 40% melainkan untuk kesetaraan. Kami telah memenangkan pertempuran, namun belum memenangkan peperangan…, tidak akan ada kesetaraan di dunia sampai kaum perempuan diakui pada level yang sama dengan laki-laki”.
“Di sini, di Venezuela, bukan hanya pemerintah yang berkuasa melainkan rakyat dan pemerintah ”, ditegaskan María León, Presiden Instutut Nasional untuk Perempuan Venezuela (INAMUJER). Ia menambahkan, “dan kami, rakyat, harus memikul tanggung jawab dan memenuhi tugas-tugas kami”. Menurut León, rakyat Venezuela belum menyesuaikan diri terhadap apa yang sudah mereka capai. “Kami tidak perlu memenangkan kesetaraan, karena kami sudah mendapatkannya. Namun kami harus melatih kesetaraan tersebut”. María León merangkum diskusi Partisipasi Politik Perempuan dengan menyatakan bahwa, ”kita adalah mayoritas. Namun tidak akan ada perubahan (bagi kita—ed) di dunia sebelum kita bersatu.”
Sebagian besar kaum perempuan yang berasal dari kerucut paling selatan Amerika Selatan hingga Eropa mengambil bagian dalam konfrensi ini, baik sebagai pembicara maupun peserta. Kaum perempuan menghabiskan Sabtu pagi hingga sore hari untuk mengkonsolidasikan gagasan-gagasan mereka dan merumuskan sebuah proposal aksi bagi kaum perempuan Venezuela, yang bertujuan untuk memperdalam Revolusi Bolivarian serta membawa kaum perempuan selangkah lebih dekat pada kesetaraan.
Diterjemahkan oleh Vivi Widyawati