Oleh Christina Yulita P
Sunat bagi laki-laki merupakan hal yang sebaiknya dilakukan untuk menghindari penyakit
kelamin. Sunat ini mempunyai alasan medis untuk dilakukan. Namun sunat bagi
perempuan apakah sebaik-baiknya dilakukan?
Sunat perempuan menjadi pendiskusian kembali dikalangan gerakan dan
aktivis perempuan setelah muncul peraturan baru oleh Menteri Kesehatan (No
1636/MENKES/PER/XI/2010) tentang sunat perempuan pada November 2010. keluarnya
Peraturan Menteri tersebut merupakan langkah mundur dari kebijakan sebelumnya
yang berisi larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan, yang dikeluarkan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen
Kesehatan RI pada 20 April 2006.
Menurut
WHO, definisi dari Sunat Perempuan atau Female Genital Cutting (FGC) adalah semua prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh
dari bagian luar alat kelamin perempuan atau mengores alat kelamin perempuan
tanpa adanya alasan medis. Ada empat tipe dari definisi sunat perempuan yaitu
memotong seluruh bagian klitoris (bagian mirip penis pada tubuh pria), memotong sebagian klitoris, menjahit atau menyempitkan mulut
vagina (infibulasi), menindik atau menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu
ke dalam vagina agar terjadi perdarahan dengan tujuan memperkencang atau
mempersempit vagina.
Pendidikan seks dan sosialisasi kesehatan reproduksi yang minim
diketahui oleh masyarakat menyebabkan ketidakpahaman akan dampak negatif ketika
sunat perempuan dilakukan. Dampak jangka pendek yang terjadi infeksi pada
seluruh organ panggul yang mengarah pada sepsis, tetanus yang
menyebabkan kematian, gangrene yang dapat menyebabkan
kematian, sakit kepala yang luar biasa mengakibatkan shock, retensi urine karena pembengkakan dan sumbatan pada uretra.
Sementara
dampak jangka panjang yang akan dirasakan perempuan adalah Rasa sakit
berkepanjangan pada saat berhubungan seks, penis tidak dapat masuk dalam vagina
sehingga memerlukan tindakan operasi, disfungsi seksual (tidak dapat mencapai
orgasme pada saat berhubungan seks), disfungsi haid yang mengakibatkan
hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darh
haid dalam rahim), dan hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam saluran tuba),
infeksi saluran kemih kronis, inkontinensi urine (tidak dapat menahan kencing),
bisa terjadi abses, kista dermoid, dan keloid (jaringan parut mengeras).
Itulah
dasar-dasar medis yang tak terelakan untuk menolak penyunatan terhadap
perempuan. Namun dibalik dasar ilmiah tersebut terdapat pandangan masyarakat
yang hari ini juga menjadi kesadaran mayoritas orang tentang tradisi patriarkal.
Tradisi yang membatasi perempuan untuk menahan hak seksualitasnya dengan
menyunat klitoris. Bersarangnya libido dalam klitoris sebagai pusat energi psikis
untuk menciptakan gairah seksual ternyata bisa dihancurkan demi mengontrol
tubuh perempuan.
Kontrol atas
tubuh membuat perempuan tak dapat menikmati hak seksualitas untuk mencapai
orgasme yang inginkan dan itu tidak ada hubunganya dengan stereotype perempuan
binal, menganggap bahwa perempuan tidak dapat mengontrol tubuhnya sendiri
bahkan hingga pada level kebijakan yang diskriminatif. Inilah pandangan
masyarakat patriarkal yang menganggap bahwa laki-laki superior, perempuan
inferior sehingga laki-laki memiliki kuasa untuk mengontrol tubuh perempuan
Sunat
perempuan telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan karena mengabaikan hak
perempuan untuk menikmati orgasme. Praktek ini telah bertentangan dengan UU
No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU No. 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) – pasal 5 tentang larangan
melakukan kekerasan fisik, dan UU No. 23 tahun 2009 tentang Kesehatan – Bagian
Keenam tentang Kesehatan Reproduksi.
Tidak
ada alasan apapun untuk melegalkan sunat perempuan kembali. Sunat perempuan tidak
memiliki landasan ilmiah namun hanya didasarkan pada budaya patriarkal semata. Penelitian
menunjukkan bahwa sunat perempuan lebih banyak membawa banyak korban daripada
manfaatnya dimana 100 sampai 140 juta
anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia menanggung akibat sampingan penyunatan.
Sumber-sumber
data: