Aksi melawan pelecehan seksual, Minggu 4 Maret 2012, di Bunderan HI Jakarta
|
Hari Perempuan Internasional tahun ini di Indonesia ditandai dengan meningkatnya serangan terhadap perempuan. Peningkatan frekuensi kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, dan rencana pemerintah menaikkan harga BBM baru-baru ini mengancam dan membebani semua perempuan, khususnya perempuan miskin.
Perempuan Mahardhika adalah organisasi perempuan yang terus mencoba membangun suatu pergerakan perempuan melawan semua bentuk penindasan dan eksploitasi yang disebabkan oleh kapitalisme, patriarki, dan militerisme. Melawan pelecehan seksual dan kebijakan ekonomi yang semakin jauh memfeminisasi kemiskinan adalah bagian dari perjuangan penting bagi pembebasan perempuan di Indonesia.
Kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, bukanlah suatu fenomena baru. Menurut Vivi Widyawati, salah satu pimpinan Komite Nasional Perempuan Mahardhika, ia seperti suatu “kejahatan yang sunyi” yang jarang disuarakan oleh kaum kiri dan pergerakan sosial di Indonesia—dengan pengecualian organisasi-organisasi perempuan. Kejahatan ini terjadi setiap hari, disetiap bagian dan aspek kehidupan perempuan: dari rumah ke jalan ke tempat kerja, termasuk institusi-institusi negara.
Kejahatan seksual juga digunakan sebagai alat politik seperti yang banyak terjadi di daerah-daerah “rawan konflik” seperti Aceh[2] dan Papua[3], stigmatisasi dan penyalahan terhadap korban terjadi pada Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) oleh pemerintah militer Indonesia sejak 1965[4], kekerasan seksual terhadap etnis perempuan Cina selama kerusuhan 1998 di Jakarta[5], serta sebagai alat perang, seperti pada kasus perjuangan kemerdekaan Timor Leste melawan negara Indonesia[6]. Dan tentu saja, kita tidak lupa pada kejahatan terhadap Marsinah[7].
Di saat yang sama perempuan mendapatkan manfaat paling sedikit dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 6% itu. Pertumbuhan ini hampir tak berdampak pada angka kematian ibu yang rata-rata masih sama 320 per 100.000 kelahiran (masih yang tertinggi di Asia), atau angka buta huruf perempuan yang mencapai 10,5 juta jiwa berusia di bawah 15 tahun[8]. Jumlah perempuan Indonesia menurut sensus penduduk tahun 2010 sebesar 118.048.783 jiwa dari total populasi 237.556.363[9]. Secara umum, pertumbuhan ekonomi sangat sedikit dampaknya pada partisipasi perempuan di sekolah yang hanya bertambah sedikit lebih dari 1/5 dalam 29 tahun[10]. Sebelas persen perempuan di atas 10 tahun tidak pernah sekolah sama sekali.[11]
Itulah sebabnya kaum perempuan adalah yang paling banyak diperdagangkan di industry seks sebagai “perempuan penghibur” dan pelacur, serta mendominasi pekerjaan paling rendah keterampilan, bekerja dalam keadaan yang paling tidak aman, rentan, dan paling eksploitatif, seperti pekerja rumah tangga (di dalam dan di luar negeri) atau di industry manufaktur (mayoritas garmen, tekstil, dan elektronik).
Artikel ini mencoba menempatkan benang merah yang mengaitkan dua isu mendesak penindasan perempuan ini, pada peringatan hari perempuan internasional tahun ini.