PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

31 Oktober 2011

Sunat Perempuan Melanggar Nilai Kemanusiaa

Oleh Christina Yulita P

Sunat bagi laki-laki merupakan hal yang sebaiknya dilakukan untuk menghindari penyakit kelamin. Sunat ini mempunyai alasan medis untuk dilakukan. Namun sunat bagi perempuan apakah sebaik-baiknya dilakukan?

Sunat perempuan menjadi pendiskusian kembali dikalangan gerakan dan aktivis perempuan setelah muncul peraturan baru oleh Menteri Kesehatan (No 1636/MENKES/PER/XI/2010) tentang sunat perempuan pada November 2010. keluarnya Peraturan Menteri tersebut merupakan langkah mundur dari kebijakan sebelumnya yang berisi larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan, yang dikeluarkan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI pada 20 April 2006. 

Menurut WHO, definisi dari Sunat Perempuan atau Female Genital Cutting (FGC) adalah semua prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh dari bagian luar alat kelamin perempuan atau mengores alat kelamin perempuan tanpa adanya alasan medis. Ada empat tipe dari definisi sunat perempuan yaitu memotong seluruh bagian klitoris (bagian mirip penis pada tubuh pria), memotong sebagian klitoris, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi), menindik atau menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan dengan tujuan memperkencang atau mempersempit vagina.

Pendidikan seks dan sosialisasi kesehatan reproduksi yang minim diketahui oleh masyarakat menyebabkan ketidakpahaman akan dampak negatif ketika sunat perempuan dilakukan. Dampak jangka pendek yang terjadi infeksi pada seluruh organ panggul yang mengarah pada sepsis, tetanus yang menyebabkan kematian, gangrene yang dapat menyebabkan kematian, sakit kepala yang luar biasa mengakibatkan shock, retensi urine karena pembengkakan dan sumbatan pada uretra.

Sementara dampak jangka panjang yang akan dirasakan perempuan adalah Rasa sakit berkepanjangan pada saat berhubungan seks, penis tidak dapat masuk dalam vagina sehingga memerlukan tindakan operasi, disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme pada saat berhubungan seks), disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darh haid dalam rahim), dan hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam saluran tuba), infeksi saluran kemih kronis, inkontinensi urine (tidak dapat menahan kencing), bisa terjadi abses, kista dermoid, dan keloid (jaringan parut mengeras).

Itulah dasar-dasar medis yang tak terelakan untuk menolak penyunatan terhadap perempuan. Namun dibalik dasar ilmiah tersebut terdapat pandangan masyarakat yang hari ini juga menjadi kesadaran mayoritas orang tentang tradisi patriarkal. Tradisi yang membatasi perempuan untuk menahan hak seksualitasnya dengan menyunat klitoris. Bersarangnya libido dalam klitoris sebagai pusat energi psikis untuk menciptakan gairah seksual ternyata bisa dihancurkan demi mengontrol tubuh perempuan.

Kontrol atas tubuh membuat perempuan tak dapat menikmati hak seksualitas untuk mencapai orgasme yang inginkan dan itu tidak ada hubunganya dengan stereotype perempuan binal, menganggap bahwa perempuan tidak dapat mengontrol tubuhnya sendiri bahkan hingga pada level kebijakan yang diskriminatif. Inilah pandangan masyarakat patriarkal yang menganggap bahwa laki-laki superior, perempuan inferior sehingga laki-laki memiliki kuasa untuk mengontrol tubuh perempuan

Sunat perempuan telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan karena mengabaikan hak perempuan untuk menikmati orgasme. Praktek ini telah bertentangan dengan UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU No. 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) – pasal 5 tentang larangan melakukan kekerasan fisik, dan UU No. 23 tahun 2009 tentang Kesehatan – Bagian Keenam tentang Kesehatan Reproduksi. 

Tidak ada alasan apapun untuk melegalkan sunat perempuan kembali. Sunat perempuan tidak memiliki landasan ilmiah namun hanya didasarkan pada budaya patriarkal semata. Penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan lebih banyak membawa banyak korban daripada manfaatnya  dimana 100 sampai 140 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia menanggung akibat sampingan penyunatan.
Sumber-sumber data: