PEREMPUAN KELUAR RUMAH! BANGUN ORGANISASI dan GERAKAN PEREMPUAN LAWAN PATRIARKI dan KAPITALISME untuk KESETARAAN dan KESEJAHTERAAN

07 Juli 2009

Gerakan Perempuan yang Terpasung

Sejarah Bangsa Indonesia mencatat, bahwa perempuan pernah memegang peranan penting dalam merebut kemerdekaan. Perempuan, tidak hanya menjadi bunga revolusi, namun pelaku dari revolusi itu sendiri, subyek dari perubahan. Seiring waktu melangkah, perempuan kembali terlupakan, ia terpasung oleh kekuasaan yang lalim dengan jutaan rakyat dan perempuan sebagai tumbalnya. Siapapun, tidak akan bisa menyangkal betapa tragedi pembantaian 1965 telah mematikan gerakan perempuan. Peran penting perempuan kembali dipangkas hingga titik nadir. Sejak itulah, perempuan berada di bawah titik enol. Tidak ada lagi gerakan perempuan yang dinamis, yang pernah hidup sebelumnya, seperti Gerwani maupun Perwari. Perempuan hanya dijadikan hiasan di dalam rumahnya yang sempit, sesekali ia keluar dari ranah publik hanya sebagai pendukung suami, bersaing menjadi juru masak terbaik di setiap lomba memasak di momentum hari Kartini, dengan sanggul dan kebaya. Memori, bahwa perempuan pernah maju dan progresif di masa perjuangan terhapus begitu saja. Namun, bukan berarti perempuan hari ini tidak sanggup keluar dari pasungnya. Setiap perubahan pasti akan terjadi, dan hanya kekuatan perempuan yang mampu mendobraknya.

Mendobrak sebuah tatanan social yang terlanjur mengakar kuat di suatu Negara tidaklah mudah. Ia membutuhkan kesabaran revolusioner, ketelitian, kesanggupan dan militansi tiada batas. Itulah yang dibutuhkan bagi gerakan perempuan saat ini dalam menyuguhkan perubahan. Semenjak 1998, pintu demokrasi terbuka, bukan karena kebaikan Orde Baru tapi karena kesanggupan rakyat waktu itu dalam mendobrak pintu demokrasi yang sebelumnya terkunci rapat. Dari gerakan 1998 lah, gerakan perempuan memperoleh kembali ruhnya. Organisasi perempuan mulai bermunculan dari yang berbentuk LSM, Ormas, hingga kelomok-kelompok diskusi di kampus – kampus. Meski masih berjuang di tataran legislasi, namun mesti dihargai sebagai sebuah capaian.

Setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, perempuan belum beranjak dari titik enol. Belum terdapat gerakan perempuan seperti yang pernah diraih aktivis perempuan era Orde Lama. Mayoritas aktivis perempuan masih berkutat dalam perjuangan legislasi tanpa mempunyai kaki yang kuat di basis massa perempuan. Belajar dari perjuangan perempuan di internasional maupun di negeri Indonesia sendiri, perjuangan tanpa gerakan massa perempuan tidak akan berhasil. Dari perjuangan legislasi, memang terdapat beberapa capaian. Katakanlah UU KDRT dan kuota politik 30% bagi perempuan. Hanya, sekali lagi, capaian tersebut sungguh tidak sebanding dengan kebijakan lain yang justru mematikan potensi perempuan, seperti UU PMA, Perda –perda syariah, UU pornografi, pencabutan subsidi pendidikan dan kesehatan, dan yang terbaru, pelibatan TNI dalam program KB. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Benar-benar naïf jika kita tidak mengakui bahwa kebijakan yang berdampak pada kehancuran ekonomi dalam negeri tidak merugikan kaum perempuan. Feminisasi Kemiskinan ini merupakan wujud konkrit dari dampak kebijakan ekonomi tersebut. Dengan demikian, perjuangan pembebasan perempuan semestinya diletakkan dalam perjuangan perubahan sistem ekonomi politik. Menjebakkan diri pada semata isu-isu perempuan dan memisahkannya dengan problem ekonomi politik, sama artinya dengan menegakkan benang basah.

Di ruang demokrasi yang kini terbuka, sebenarnya tidak ada lagi hambatan untuk terus membangun organisasi-organisasi perempuan, apa lagi terpasung kemandiriannya. Ironis memang, jika di tengah alam kebebasan, gerakan perempuan justru terpasung kemandiriannya dalam memperjuangkan kebebasannya sendiri. Faktanya, realita demikianlah yang sedang berlangsung. Di tengah hangar-bingar Pemilu 2009, mayoritas aktivis perempuan beramai-ramai menjadi Caleg dari partai-partai politik yang ada, demi mengisi kuota politik 30%. Salah kaprah jika memaknai kuota 30% politik, dengan mengisinya tanpa memandang partai-partai politik yang dikendaranya. Seakan kebobrokan partai-partai politik tersebut tidak berkontribusi terhadap penindasan perempuan yang berlangsung. Dari sekian partai-partai politik yang menjadi peserta pemilu mendatang, tiada satupun yang berpihak pada perempuan. Beberapa partai-partai politik tersebut tiada yang berkutik ketika UU Pornografi disahkan dan lebih menyerahkannya pada mekanisme demokrasi di parlemen, dibanding menggerakkan massa perempuan untuk menolak kebijakan itu. Atau fakta terbaru,dengan dilibatkannya kembali TNI dalam penerapan program KB. Tak ada satupun dari partai-partai politik itu, yang bersuara. Padahal pelibatan TNi dalam program KB dengan dalih menyelamatkan ketahanan Negara, sungguh tidak masuk akal. Belum lagi dengan serangkaian kebijakan ekonomi pro pemodal asing yang merugikan kepentingan rakyat, terutama perempuan. Mungkin, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Dengan masuk sebagai bagian dari partai-partai politik itu, maka mayoritas aktivis perempuan dengan sadar sedang memasungkan kemandiriannya,mengikatkan tangan dan kaki sehingga tidak memiliki kemandirian dalam meraih kebebasannya sendiri. Sekaligus, mengamini penindasan perempuan oleh partai-partai tersebut.

Melalui pemaparan di atas, bukan berarti kuota politik 30% tidak bermakna penting bagi perempuan. kuota politik 30% ini penting sebagai kebijakan affirmative guna mendorong perempuan untuk tidak semata memikirkan kesejahteraan keluarga, tetapi lebih dari sekedar itu, yakni menentukan arah bangsa, turut ambil bagian dalam menentukan kebijakan politik. Hanya saja, kuota politik 30% ini menjadi sebatas lips service, ketika tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas perempuan melalui perbaikan ekonomi politik. Bagaimana perempuan mampu mengisi kuota politik 30%, jika perempuan masih demikian bodoh, tersubordinasi, dengan kesehatan reproduksi yang rentan. Tidak bermanfaat pula, ketika mengisi kuota itu dengan terlibat dalam partai-partai politik yang menjadi aktor dari penindasan perempuan, melapangkan jalannya penindasan terhadap perempuan. Tiada jalan lain bagi gerakan perempuan sekarang ini, kecuali membangun alat perjuangan perempuan yang mandiri, tidak terpasung oleh partai-partai politik maupun elit-elit politik dan tentu saja turut serta dalam setiap gerakan sosial. Sehingga, sudah saatnya, sekarang juga perempuan menjadi Berani, Militan dan Mandiri dalam merebut kemerdekaannya.


Ditulis Oleh Dian Septi Trisnanti
Aktivis Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika

Rapat Akbar FNPBI Independen: Tolak Pemilu Elit 2009

Buruh Ajak Boikot Pilpres
http://www.surya.co.id/2009/07/06/buruh-ajak-boikot-pilpres.html

JOMBANG - SURYA-Para buruh yang tergabung dalam Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Independen sepakat memboikot dengan tidak menggunakan hak pilihnya alias golput dalam pilpres 8 Juli mendatang. Kesepakatan itu dicetuskan dalam rapat akbar di aula Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Minggu (5/7).

Para buruh berkilah, figur capres dan cawapres yang muncul saat ini telah gagal dalam memegang kendali kepemimpinan. “Mereka semua adalah elit politik yang pernah memerintah dan semuanya gagal memperjuangkan buruh,” tegas Afik Irwanto, koordinator FNPBI Independen Jatim.

Dalam rapat yang juga dihadiri sejumlah serikat buruh di Jombang itu, FNPBI Independen mengingatkan para buruh tidak mudah tertipu dan terlena oleh janji capres/cawapres.

Selain itu, para buruh juga menyuarakan enam poin tuntutan kepada pemerintah. Berupa jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), tunjangan hari raya (THR), upah lembur yang sesuai, kenaikan UMR, hapus kerja kontrak dan outsourching serta kebebasan berserikat.
“Ini harus terus kita perjuangkan,” tandas Afik, yang didaulat sebagai pembicara bersama dua orang dari aliansi buruh Jatim.

Menurut Afik, baik SBY-Boediono, Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto dipastikan karakternya masih sama seperti pada era sebelumnya. Dicontohkan, pada saat Megawati berkuasa, justru ditetapkan sistem buruh kontrak dan outsoursching melalui UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Juir dari Divisi Pendidikan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jatim menilai hingga saat ini belum ada sosok pemimpin yang bisa menjadi motor perjuangan buruh di Indonesia. “Jadi, golput kita punya tujuan jelas,” tegas laki-laki plontos ini. st8


Ribuan buruh sepakat tolak pilpres
Warta - Pemilu 2009

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=33582:ribuan-buruh-sepakat-tolak-pilpres&catid=62:pemilu-2009&Itemid=132

JOMBANG - Ribuan buruh menyatakan menolak berpartisipasi dalam pemilihan umum presiden (pilpres) 2009. Kesepakatan ini muncul dalam rapat akbar dan konsolidasi ratusan perwakilan serikat buruh di gedung Panti Sosial Bina Remaja (PSBR), hari ini.

Salah satu serikat buruh yang menyatakan penolakannya atas pilpres adalah Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Independent. Afik Irwanto, Koordinator FNPBI Independent Jawa Timur mengatakan, kegagalan sistem ekonomi kapitalis dunia telah menyisakan krisis di Indonesia .

Salah satu imbasnya adalah hancurnya sektor riil/produktif nasional. Sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar, dan mendatangkan gelombang PHK massal.

Pada akhirnya, menurut Afik, rakyat kecil dan para buruh lah yang menjadi korban. “Ini adalah bukti kegagalan pemerintah dalam pembangunan tatanan ekonomi yang mandiri, berdaulat, dan dan berpihak kepada rakyat,” ungkap Afik.

Afik melanjutkan, berbagai kebijakan yang diambil juga lebih sebagai upaya menarik simpati menjelang pilpres 2009. Bahkan mereka menyebutnya dengan istilah “sogokan politik”. Semisal, kebijakan penurunan harga BBM daru Rp 6.000 menjadi Rp 4.500, tetap tidak mampu menurunkan harga bahan pokok. “Ini dikarenakan pemerintahan saat ini masih menjalankan konsep ekonomi Neo-Liberalisme,” ungkap Afik didampingi perwakilan serikat buruh lainnya.

Afik menegaskan, puluhan ribu buruh secara nasional telah sepakat, bahwa mereka harus mempunyai kekuatan yang solid, radikal, dan sejati. Yakni sebuah persatuan serikat buruh yang independen dan bersih dari campur tangan serta pengaruh pihak lain (non-kooptasi dan non kooperasi). Agar buruh dapat menekan seluruh halangan terhadap perjuangan mereka sendiri.

Karena menurut Afik, para elit politik sudah tidak dapat menjadi kawan perjuangan buruh. Termasuk ketiga pasangan capres-cawapres yang saat ini sedang bertarung dalam pilpres 2009. Mereka dianggap masih mengantek pada kepentingan asing, dan setia pada sistem ekonomi Neo-Liberalisme. Karena itulah, ribuan buruh menyatakan menolak berpartisipasi dalam ingar bingar pilpres 2009.

“Mereka sudah terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Jadi tidak ada untungnya kami ikut serta dalam pilpres. Karena yang saat ini dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kesejahteraan dan demokrasi,” pungkasnya.


Puluhan Ribu Buruh Tolak Pilpres
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/07/05/18172225/puluhan.ribu.buruh.tolak.pilpres.

JOMBANG, KOMPAS.com - Puluhan ribu buruh yang tergabung dalam Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Independen menolak penyelenggaraan Pilpres 2009. Hal itu dipastikan usai menggelar rapat akbar organisasi buruh Jatim pada Minggu (5/7) di Kabupaten Jombang.

Koordinator FNPBI Jatim Afik Irwanto, usai memberikan orasi politiknya menyebutkan bahwa kesepak atan itu sudah dilakukan sejak Pemilu legislatif 4 April lalu. Afik memastikan, hal itu dikarenakan pihaknya menggunakan strategi non kooperasi dan non kooptasi dalam memperjuangkan kepentingan buruh.

"Secara nasional kita lakukan konsolidasi untuk menolak Pemilu elite 2009. Bukan (lagi) golput, tetapi ini (sudah) bentuk masif," kata Afik.